JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah mengalami pertumbuhan luar biasa di sektor pertambangan batubara. Produksi batubara Indonesia dalam kurun waktu antara tahun 2000-2012 meningkat sebesar lima kali lipat. Tak heran jika industri batubara menggambarkan dirinya sebagai penggerak utama perekonomian Indonesia. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) sampai menggambarkan ekspor batubara adalah pendorong perekonomian Indonesia.

Bahkan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R Sukhyar mengatakan ekspor batubara akan menjadi andalan pemasukan devisa dari sektor minerba setelah diberlakukannya UU MInerba No 4 Tahun 2009 tentang Pelarangan Ekspor Mineral Mentah. Tahun 2013 kata Sukhyar devisa dari sektor mineral mencapai US$11 miliar. "Sebagian dari raw material," ujarnya beberapa waktu lalu.

Dengan adanya pelarangan ekspor mineral mentah ini, Sukhyar memperkirakan Indonesia akan mengalami kehilangan devisa sebesar US$5,5 miliar. Karena itu kata dia, pemerintah akan mengenjot ekspor batubara. "Jadi kita optimalisasikan penerimaan dari ekspor batubara, skala penerimaan batubara itu triliunan loh," ujarnya.

APBI sendiri mendorong peningkatan dukungan pemerintah kepada industri. Asosiasi mengklaim bahwa dengan lebih banyak sumber daya pemerintah untuk batubara akan dapat membantu pembangunan ekonomi.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, benarkah klaim-klaim itu? Jawabannya menurut Greenpeace Indonesia adalah tidak. hari ini, Selasa (18/3), Greenpeace meluncurkan laporan terbaru berjudul "Batubara Melukai Perekonomian Indonesia". Dalam laporan tersebut Greenpeace mengungkapkan, industri ekstraktif batubara yang diharapkan dapat menjadi penggerak utama perekonomian Indonesia, justru telah melukai ekonomi nasional, memperburuk kemiskinan, dan mengancam penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitar operasi pertambangan batubara.

Greenpeace mencatat, sejak tahun 2011, Indonesia telah menjadi pengekspor batubara terbesar di dunia, mengalahkan Australia. Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan luar biasa di sektor pertambangan batubara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Produksi batubara meningkat mencapai lebih dari 450 juta ton pada tahun 2012. Sayangnya, meskipun pertumbuhannya meningkat sangat pesat, sektor batubara menyumbang hanya 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan prospek pertumbuhan di masa depan yang lebih terbatas.

Industri ekstraktif seperti pertambangan batubara justru telah mengguncang perekonomian Indonesia, menyebabkan fluktuasi besar dalam neraca pembayaran dan nilai tukar. Dampak dari fluktuasi ini juga menghambat pembangunan jangka panjang industri dengan nilai tambah yang lebih tinggi karena mengalihkan dan menghalau investasi modal awal.

Industri batubara menggambarkan dirinya sebagai penggerak utama perekonomian Indonesia. Pada kenyataannya, batubara adalah industri bernilai rendah yang menyebabkan kerusakan berlebihan kepada mata pencaharian, memperburuk kemiskinan dan berkontribusi minim terhadap PDB secara keseluruhan, dan bahkan prospek pertumbuhan di masa depan yang lebih rendah.

Dengan kata lain, industri batubara justru telah melukai perekonomian di Indonesia. "Pengembangan batubara tidak membantu masyarakat miskin pedesaan, karena pertambangan batubara justru membawa dampak yang sangat negatif pada pertanian, perikanan dan sektor lain dimana jauh lebih banyak orang bergantung untuk penghidupannya," kata Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia kepada Gresnews.com, Selasa (18/3).


Indonesia sendiri diketahui hanya menguasai 3% cadangan batubara dunia, tetapi perusahaan yang beroperasi di sini telah mengeksploitasinya secepat mungkin. Selama dekade terakhir, produksi telah menggelembung, mencapai lebih dari 450 juta ton pada tahun 2012. Sebagian besar batubara yang dihasilkan dari tambang-tambang Indonesia diekspor ke Cina dan negara-negara Asia lainnya. Sementara konsumsi batubara dalam negeri masih relatif datar.

Perbandingan produksi batubara dengan tingkat konsumsi dalam negeri

""
Ekspor batubara yang luar biasa besar itu ternyata tidak cukup mengangkat pendapatan bersih ekspor karena sumbangsih sektor ini hanya mencapai 4 persen PDB. Sementara pertambangan merupakan bagian besar dari ekspor Indonesia, industri ini sebenarnya menyumbang sebagian kecil dari output ekonomi secara keseluruhan. The Reserve Bank of Australia memperkirakan bahwa pertambangan dan utilitas menghasilkan 11% dari PDB Indonesia pada tahun 2009, hampir 40% dari bagian ini dari minyak dan gas.

Meskipun pertumbuhan dramatis selama dekade terakhir, ekspor batubara hanya merupakan 3% dari perekonomian nasional dan penggunaan batu bara dalam negeri hanya 1%. Hal ini turut memberi kontribusi terhadap terjadinya fluktuasi besar dalam neraca pembayaran dan nilai tukar. Saat ini dari beberapa studi diketahui pendapatan bersih ekspor tidak cukup untuk menutupi pembayaran Indonesia untuk impor.

Salah satu faktor utama yang mendasari pergeseran ini adalah akhir dari masa pasang komoditas yang didorong oleh negara-negara berkembang pada tahun 2000-an. Sebagai akibat dari krisis keuangan global pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi di Cina dan negara-negara besar dunia lainnya melambat secara signifikan, dan harga komoditas turun ke tingkat yang jauh lebih rendah, terutama sejak 2011 dan seterusnya.

Permintaan impor batubara Cina cenderung melemah, dengan berbagai faktor yang mendorong turunnya permintaan. Salah satu faktornya adalah bahwa selama dua tahun terakhir, tingkat polusi di Cina telah mencapai mencapai rekor dengan tingkat PM 2,5 (polusi partikulat kecil berukuran diameter 2,5 mikrometer) pada Januari 2013.

Ini adalah lebih dari 30 kali tingkat yang aman menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 25 mikrogram per meter kubik. Selain itu kebijakan baru di 26 provinsi di China untuk memangkas produksi dan konsumsi batubara akan mengurangi permintaan batubara China secara signifikan.

Hal ini juga berdampak pada harga batubara dimana indeks harga batubara internasional utama, termasuk harga FOB Kalimantan, telah menurun sejak 2011 dan ini sangat mempengaruhi nilai ekspor batu bara Indonesia. Hal serupa juga terjadi pada harga barang ekspor andalan Indonesia lainnya seperti nikel, timah, tembaga dan lain-lain. Jatuhnya nilai barang ekspor andalan ini termasuk batubara telah berkontribusi pada bertahannya defisit transaksi berjalan.

Pada gilirannya defisit transaksi ini juga berdampak domino kepada pasar mata uang. Nilai rupiah Indonesia terhadap dolar AS telah berayun liar sejak krisis keuangan global. Perry Warjiyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia, mengatakan sejak krisis global telah berdampak langsung pada arus keluar modal besar dari Indonesia. Tekanan berat menyebabkan nilai tukar melonjak, mengancam stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan secara keseluruhan serta momentum pertumbuhan ekonomi.

Meskipun aliran modal kembali pada tahun 2012 saat pasar keuangan global membaik, tekanan terhadap nilai tukar terus terjadi pada saat transaksi berjalan masuk ke wilayah defisit seiring dengan penurunan harga komoditas global. Secara keseluruhan, rupiah terdepresiasi 6,9% dari bulan Agustus hingga Desember 2011 dan menjadi 6,6% pada tahun 2012. Rupiah adalah mata uang Asia dengan kinerja terburuk pada tahun 2013 dan turun 21%.


Keadaannya sama dengan keadaan selama krisis keuangan global pada sekitar Rp11.500-12.000 per dolar AS. Melemahnya rupiah berarti Indonesia membayar lebih untuk impor, dan ini mungkin berakibat buruk pada pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah saat bisnis dikenakan tarif masuk yang lebih tinggi.

Sebagai contoh, pada bulan Juni 2013, rupiah yang lemah menyebabkan kenaikan harga BBM besar-besaran, dengan harga bensin naik 44% dan solar naik 22%. Kenaikan ini juga tercermin dalam kenaikan tajam inflasi harga konsumen sebesar 8,3% pada Oktober 2013, naik dari 5,5% pada bulan Mei 2013.

Tak hanya melukai perekonomian Indonesia, pengembangan batubara tidak membantu masyarakat miskin pedesaan, karena memberi dampak negatif yang sangat kuat pada pertanian, perikanan dan sektor lain dimana jauh lebih banyak orang bergantung untuk penghidupannya. Arif mengatakan, pertambangan batubara menggunakan kawasan hutan dan lahan pertanian yang luas. "Di pulau Kalimantan, pusat pertambangan batu bara Indonesia, tidak jarang jarak hutan hujan tropis dan lahan sawah begitu dekat dari tambang terbuka raksasa," ujarnya.

Greenpeace mencatat, pertambangan batubara di Kalimantan Timur telah mengakibatkan kerusakan besar pada lahan pertanian, lahan basah, sungai dan hutan. Ketika tutupan vegetasi hancur, tanah tidak lagi menyerap dan mempertahankan air. Limpasan meningkatkan banjir secara dramatis. Sebagian besar pendapatan pemerintah dari pertambangan hilang karena pengeluaran yang diperlukan untuk menanggulangi banjir, serta biaya ekonomi bangunan yang hancur akibat banjir, aktivitas perekonomian kota-kota yang terkena dampak menjadi terhenti, dan bahkan korban jiwa.

Bahkan lahan pertanian yang terhindar oleh tambang itu sendiri terdampak karena sungai yang digunakan sebagai sumber air irigasi ikut rusak. Greenpeace telah mendokumentasikan beberapa desa di Kalimantan Timur di mana air yang berpotensi terkontaminasi dari tambang batu bara digunakan untuk irigasi, dan para petani melaporkan panen yang menurun dan peningkatan kebutuhan penggunaan kapur.

Karena itu Greenpeace mendesak pemerintah segera menghentikan pembangunan ekonomi yang berbasis pada energi kotor batubara. "Apabila Indonesia masih terus melanjutkan pembangunan ekonomi yang bertopang pada batubara, maka dalam jangka panjang batubara dapat melukai perekonomian Indonesia, dan menjauhkan negara ini dari jalur pembangunan ekonomi rendah karbon," kata Arif.

BACA JUGA: