JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hujatan publik atas pembahasan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dinilai berbahaya karena mengandung muatan pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membuat telingga anggota DPR memerah. Mereka pun mencoba mengalihkan serangan publik itu kepada pihak lain, dalam hal ini pemerintah.  "Harus dipahami oleh publik terlebih dahulu bahwa draft utama RUU KUHAP adalah inisiatif pemerintah," kata anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari kepada Gresnews.com, Rabu (12/2).

Jadi rancangan soal wewenang baru masing-masing tugas pokok dan fungsi (tupoksi) penyidik termasuk implikasinya ke KPK, menurut Eva,  yang mendesain adalah pemerintah. "Jadi agak aneh kalau kritik selalu dialamatkan ke DPR hanya karena yang memimpin rapat adalah politisi sementara isi pembahasan adalah draft yang berasal dari pemerintah," keluhnya.

Eva juga menilai menjadi aneh jika ada elemen masyarakat sipil meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) menarik dan membatalkan draft, karena yang menyiapkan draft sebelumnya adalah Menkumham. Ia menambahkan dalam situasi draft yang telah dibahas di Panja karena sudah masuk ke program legislasi nasional (prolegnas) maka usulan-usulan perbaikan dan proses lobi menurut Eva bisa dilakukan terhadap pemerintah maupun DPR yang sama-sama tengah melakukan pembahasan.

Menurutnya seperti kelompok perempuan sering membentuk koalisi untuk melakukan intervensi proses penyusunan legislasi yang tengah dilakukan seperti pada saat dibahasnya UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) maupun imigrasi. "Apalagi pembahasan panja terbuka bagi publik jadi bisa dimonitor perkembangannya," katanya.

Sehingga elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam organisasi non pemerintah dipersilahkan untuk terlibat dalam revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. "Jangan hanya mengecam, silahkan terlibat dalam proses dan tidak menunggu di hilir saja," ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini memaklumi polemik tersebut bisa muncul karena pemerintah di Panitia Kerja (Panja) KUHAP memang terlihat kurang koordinasi terutama terhadap unsur-unsur penyidik. Hal tersebut menurut Eva terlihat dari pihak penyidik baik di institusi kepolisian maupun di tubuh kejaksaan yang sering berbeda pendapat terkait otoritas masing-masing dalam proses penegakkan hukum. "Itu belum termasuk tidak adanya unsur dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tim Panitia Khusus (Pansus) pemerintah," katanya.

Sebelumnya  sejumlah organisasi non pemerintah mengecam pembahasan RUU KUHAP yang saat ini tengah digelar DPR bersama pemerintah. Pembahasan itu menjadi polemik, selain ketersediaan waktu pembahasan yang terbatas sehingga mengancam kualitas dari produk UU tersebut. Juga karena muatan draf yang dinilai mengandung pelemahan kewenangan KPK, lembaga yang selama ini diandalkan publik untuk memerangi korupsi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan meragukan komitmen anggota Panja Komisi Hukum DPR dalam pembahasan revisi KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Koordinator Divisi Investigasi ICW Tama S Langkun mengatakan keseriusan anggota Panja DPR  dalam pembahasan RUU ini juga dipertanyakan. Sebab selama tiga kali rapat anggota Panja tidak pernah mencapai setengah dari seluruh jumlah anggota Panja. "Artinya bicara soal keseriusan mereka justru dipertanyakan," katanya

Ketidakseriusan itu menurut Tama juga diperparah dengan waktu pembahasan RUU dimaksud yang terlalu mepet mendekati suksesi pergantian anggota parlemen setelah Pemilu 2014. Menurutnya terbatasnya waktu pembahasan berpotensi menimbulkan pelemahan terhadap lembaga hukum seperti KPK. "Yang dilemahkan tidak hanya KPK, tetapi beberapa lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terancam dikebiri," ujarnya.

BACA JUGA: