Dalam dua minggu terakhir, media massa, baik cetak maupun elektronik, memuat berita terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) di DPR RI. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai terdapat 12 isu yang akan melemahkan KPK, salah satunya adalah lamanya masa penahanan oleh penyidik yang hanya lima hari. Karenanya, KPK meminta pemerintah untuk menarik RUU tersebut dari DPR RI.

Tulisan ini akan mencoba meninjau secara singkat lamanya masa penahanan dalam RUU KUHAP dibandingkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan menilainya dari standar hukum hak asasi manusia (HAM) internasional. Dengan membaca dan membandingkannya maka kemudian kita dapat menilai, benarkah lamanya masa penahanan dalam RUU KUHAP akan melemahkan pemberantasan korupsi?

Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan/Peradilan Tanpa Penundaan Yang Tidak Semestinya (Speedy Trial)
Pada awalnya, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dinilai sebagai karya agung bangsa Indonesia. Hal ini karena sebagai karya bangsa sendiri yang mampu menggantikan HIR warisan Belanda, juga karena asas-asas yang terkandung di dalamnya paralel dengan instrumen hukum internasional.

Secara khusus sistem due process of law telah dijadikan model dalam KUHAP yang membawa konsekuensi pada hubungan pihak-pihak dalam proses peradilan pidana. Tersangka/terdakwa diakui dan dijamin hak-haknya dan menjadi hal yang fundamental.

Namun demikian, dalam kenyataannya, KUHAP saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya diperlukan peninjauan ulang atas nilai-nilai dan standar-standar fair trial yang ada di dalamnya. Hal ini tidak terlepas dari tuntutan global yang menuntut proses penegakan hukum yang cepat (speedy trial), penegakan asas imparsialitas yang sesuai dengan prinsip presumption of innocence dan melemparkan jauh-jauh sikap dan citra penegakan hukum yang bercorak prejudice, penerapan advsersarial system sesuai asas beyond reasonable doubt, dan menjadikan nilai-nilai HAM sebagai ideologi universal dalam penegakan hukum.

Pada tatanan implementasi, nilai-nilai KUHAP yang telah sejalan dengan nilai-nilai HAM itu tidak berhasil diwujudkan. Terlebih, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) yang membawa konsekuensi untuk mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan yang belum sesuai dengan nilai kedua aturan tersebut. Karena itu kemudian pemerintah Indonesia mengagas pembaharuan KUHAP.

Salah satu poin penting dalam konteks perlindungan tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah asas peradilan yang cepat (speedy trial). Pasal 14 Ayat (3) huruf c ICCPR menyatakan bahwa setiap orang berhak "untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya". Ketentuan ini menandakan pentingnya hak atas persidangan yang menghasilkan keputusan akhir dan tanpa penundaan yang tidak semestinya. Proses peradilan pidana yang cepat dan sederhana merupakan tuntutan logis dari setiap tersangka dan terdakwa. Asas ini dimaksudkan untuk mengurangi sampai seminimal mungkin penderitaan tersangka atau terdakwa.

Dalam kaitan itu, peradilan cepat (speedy trial) bertujuan untuk:
1) Memperbaiki kredibilitas pengadilan dengan jalan mempersiapkan saksi-saksi secepat mungkin untuk memberi keterangan;
2) Mengurangi kekhawatiran terdakwa dalam menghadapi pengadilan dan juga untuk menghindari penahanan;
3) Untuk menghindari meluasnya hal-hal terkait mengadili sendiri oleh umum (pretrial publicity) dan sikap-sikap pejabat yang serba menduga-duga yang akan mempengaruhi hak terdakwa untuk pengadilan yang fair;
4) Untuk menghindari penundaan yang akan berdampak pada kesanggupan terdakwa dalam membela diri;

Maka konteks lamanya masa penahanan dalam sistem peradilan pidana harus ditempatkan dalam pelaksanaan asas speedy trial tersebut.

Perbandingan Masa Penahanan dalam KUHAP dan RUU KUHAP
Salah satu isu utama terkait asas speedy trial adalah masalah penahanan. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, pejabat yang berwenang melakukan penahanan dan penahanan lanjutan secara kumulatif untuk lamanya penahanan dan penahanan lanjutan berjumlah 400 hari, sedangkan untuk perpanjangan penahanan istimewa ditambah 300 hari. Lamanya masa penahanan ini bertentangan dengan prinsip peradilan yang cepat dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi tersangka/terdakwa dan berpotensi melanggar hak-hak tersangka/terdakwa.

Lamanya masa penahanan di Indonesia telah membawa pada pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa, khususnya penyiksaan. Hal ini nampak dari hasil penelitian LBH Jakarta yang mencatat 81,1% dari 639 responden di Jakarta mengaku mengalami penyiksaan ketika diperiksa polisi.

Selain masalah terjadinya penyiksaan, lamanya masa penahanan dan alasan penahanan menjadi area tawar menawar antara tersangka/terdakwa dan aparat penegak hukum (mafia hukum). Demikian halnya, penahanan dianggap menjadi keharusan bagi tersangka/terdakwa, tanpa mempertimbangkan kondisi khusus tersangka/terdakwa (hamil, menyusui, sakit atau renta) atau terhadap kasus-kasus ringan.

Dampak lain yang tidak diperhitungkan dalam kebijakan penahanan adalah over capacity dari Rumah Tahanan (Rutan) yang tentunya menjadi potensi tersendiri untuk terjadinya pelanggaran HAM. Lamanya masa penahanan ini diakui pula oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin bahwa masa penahanan di Indonesia adalah yang terlama di dunia.

Terkait masalah penahanan dalam RUU KUHAP, terdapat sejumlah isu krusial, yaitu (i) penentuan bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup; (ii) masa penahanan; (iii) tempat penahanan; (iv) syarat penahanan; dan (v) tata cara penahanan.

Berikut tabel perbandingan lamanya masa penahanan antara KUHAP dan RUU KUHAP:

""


Dari tabel di atas, secara umum tidak ada perbedaan jumlah yang mencolok antara KUHAP dan RUU KUHAP. Misalnya, untuk tahap penyidikan dalam KUHAP dan RUU KUHAP, lama masa penahanan adalah sama yaitu maksimal 60 hari. Dan untuk sampai disidangkan di persidangan tingkat pertama, RUU KUHAP justru menjadi lebih lama yakni 150 hari, dibandingkan dengan KUHAP yang hanya 110 hari. Lantas, apa yang membedakan lamanya masa penahanan di tingkat penyidikan?

Setidaknya terdapat tiga perbedaan, yaitu:
Pertama, kewenangan menahan dari penyidik hanya lima hari. Pembatasan kewenangan menahan oleh penyidik ini untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak tersangka/terdakwa dan adanya kontrol terhadap proses pemeriksaan di tingkat penyidikan. Dalam waktu lima hari, tersangka harus sudah dihadapkan kepada hakim-dalam hal ini hakim pemeriksa pendahuluan-yang akan menilai pemenuhan hak-hak tersangka dan mekanisme penyelesaiannya. Pembatasan waktu ini menuntut penyidik untuk bekerja secara profesional, mencegah terjadinya penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, meminimalisir terjadinya penyiksaan, dan mencegah menjadikan wewenang menahan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Jumlah penahanan lima hari ini bertambah dari dua hari pada draf RUU KUHAP sebelumnya dengan pertimbangan letak geografis Indonesia yang berbeda-beda.

Kedua, pengintegrasian kerja-kerja sistem peradilan pidana, yakni, polisi, jaksa, dan hakim. Penyidik kepolisian dalam RUU KUHAP diposisikan sebagai asisten dari jaksa penuntut umum (JPU), karenanya JPU memiliki kewajiban untuk terlibat sejak awal dan izin perpanjangan lima hari berikutnya dimiliki oleh JPU.

Ketiga, adanya kontrol dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP). Yaitu, jika waktu 10 hari belum cukup, perpanjangan penahanan dapat dimintakan izin kepada HPP. HPP dalam memeriksa permohonan perpanjangan penahanan harus menilai: 1) tindak pidana yang disangkakan terhadap tersangka; 2) apakah hak-hak tersangka dilanggar?; dan 3) apakah diperlukan perpanjangan penahanan/tidak.

Terkait tindak pidana yang disangkakan, HPP bisa menilai apakah tindak pidana yang disangkakan sudah tepat/tidak dan apakah penyelesaiannya harus melalui pengadilan atau cukup dilakukan melalui penyelesaian di luar pengadilan.

Untuk hak-hak tersangka, dengan dihadapkan langsung tersangka kepadanya, HPP dapat menilai dan mengkonfirmasi apakah hak-hak tersangka dilanggar atau tidak. Pada fase ini, HPP idealnya dapat menilai apakah telah terjadi kekerasan, penyiksaan, tidak mendapat bantuan hukum atau pelanggaran lainnya. Dan jika terjadi yang demikian, HPP dapat segera merekomendasikan penyelesaian dan pemenuhan hak-hak tersangka pada tahap awal ini. Sedangkan untuk menilai apakah perlu dilakukan perpanjangan penahanan, merujuk Pasal 59 Ayat (5) bahwa alasan dilakukannya penahanan adalah jika tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dan ada kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan: (i) melarikan diri; (ii) merusak dan menghilangkan alat bukti dan/atau barang bukti; (iii) mempengaruhi saksi; (iv) melakukan ulang tindak pidana; dan (v) terancam keselamatannya atas persetujuan atau permintaan tersangka atau terdakwa.

Walau kelima alasan tersebut masih membutuhkan diskusi terkait indikator untuk setiap alasannya, namun adanya pihak ketiga yang menguji penahanan ini akan menjadikan kasus-kasus seperti pencurian sandal, kakao, atau perkelahian remaja dapat diselesaikan langsung dan tidak membebani proses pengadilan. Demikian halnya bagi tersangka dengan kebutuhan khusus, seperti tersangka perempuan yang hamil, menyusui atau memiliki balita, dapat dialihkan jenis penahanannya.

Proses yang menghadapkan langsung tersangka/terdakwa kepada hakim adalah salah satu mekanisme pengawasan penggunaan kekuasaan negara terhadap warganya. Melalui proses ini pula diharapkan sistem peradilan pidana lebih transparan dan akuntabel. Dengan melihat kewenangan HPP yang akan menilai alasan-alasan penahanan maka mekanisme ini tidaklah perlu dikhawatirkan jika penyidik telah memiliki alasan penahanan yang sesuai dengan hukum.

Dari uraian di atas, dengan demikian pada tingkat penyidikan, lama masa penahanan adalah 60 hari, tingkat penuntutan adalah 90 hari, sehingga baik SPP secara umum maupun khusus (seperti KPK) memiliki waktu 150 hari untuk mempersiapkan sidang pertama pada pengadilan tingkat pertama. Kita telah menyaksikan bagaimana profesionalitas KPK dalam menanggani kasus kasus korupsi dan dalam waktu yang disediakan KUHAP (110 hari) saat ini mampu menghadapkan terdakwa ke persidangan. Kinerja yang efektif, efisien, dan profesional seperti KPK tersebut seharusnyalah yang didorong dilaksanakan dalam SPP yang umum. Namun, di sisi lain, lebih panjangnya masa penahanan sebelum persidangan dibandingkan KUHAP saat ini, dalam pandangan penulis adalah bertentangan dengan asas speedy trial, dan belum menggambarkan pandangan bahwa penahanan harus menjadi upaya terakhir.

Siti Aminah
Peneliti pada The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), anggota Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Tulisan ini dikutip dari laman kuhap.or.id berdasarkan aturan Creative Commons Attribution 3.0 Unported License

 

 

 

 

BACA JUGA: