JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah kebijakan Bank Indonesia (BI) yang dikeluarkan sejak awal Oktober ini berpotensi mengerem pertumbuhan penjualan properti tahun ini. Dengan kondisi perekonomian yang jeblok ditambah aturan terbaru BI maka penjualan properti bisa turun minimal 25% dari omzet tahun sebelumnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghada telah memprediksikan sejak 2009 lalu sektor properti mulai mengalami percepatan ekonomi. Dan puncaknya yakni tahun ini masa-masa properti booming. Setelah itu tahun depan baru mulai mengalami perlambatan.

Namun kondisi perekonomian Indonesia tahun ini ternyata di luar perkiraan. Terjadi gelojak nilai tukar rupiah ditambah inflasi yang membumbung tinggi. Apalagi bank sentral juga justru menerapkan beberapa aturan baru yang mengerem laju pertumbuhan properti. Sehingga tahun ini yang seharusnya masa booming properti justru masuk fase perlambatan pertumbuhan properti.

Ia menjelaskan yang dimaksud perlambatan disini bukan turunnya nilai harga. Tetapi pertumbuhan penjualan properti jauh lebih lambat dari sebelumnya. Harga rumah tidak turun namun sekedar tertahan atau naik lebih rendah dari biasanya. Misalnya di daerah BSD Serpong, sejak tahun 2009 hingga 2011 terjadi peningkatan harga rumah hingga 70% dalam setahun, namun kini tertahan hanya 25% saja per tahun.

"Pengembang tidak bisa menggoreng lagi harganya, karena permintaan sudah jenuh," ujar Ali.

Jenuhnya pasar juga tak berarti industri properti akan masuk pada fase bubble. Ali memperkirakan hingga 5 tahun kedepan properti belum masuk bubble. Yang terjadi saat ini adalah overvalue atau harga yang terlalu tinggi untuk properti di daerah tentu.

Kepala Riset Jones Lang LaSalle Indonesia, Anton Sitorus menambahkan pemerintah seharusnya lebih bijak dalam mengeluarkan aturan baru. Perlu juga melihat kondisi riil sektor properti saat menerbitkan aturan.

Kalau keinginan pemerintah menahan laju spekulan properti, menurut Anton seharusnya properti kelas menengah atas saja yang dikenai aturan. "Jangan pukul rata semua, termasuk KPR inden semua pengembang diberlakukan," kata Anton pada Gresnews.com.

Ketakutan pemerintah akan rasio penyaluran kredit terlalu tinggi juga berlebihan. Apalagi aturan tersebut dikeluarkan saat kondisi ekonomi sedang tak sehat.

Seperti diketahui, BI menyempurnakan aturan LTV dan FTV properti baik di perbankan konvensional maupun syariah. BI menyatakan, perubahan aturan ini lebih kepada nilai LTV atau FTV yang dicover oleh perbankan. Dalam aturan disebutkan, untuk pembiayaan di perbankan konvensional, kredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal 70 persen, rumah kedua 60 persen, rumah ketiga dan seterusnya 50 persen. Ketentuan serupa juga berlaku untuk Kredit Pemilikan Rumah Susun (KPRS) tipe 70 meter persegi ke atas.

"Aturan ini diterbitkannya untuk menjaga sistem keuangan dan memperkuat ketahanan perbankan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah, beberapa waktu lalu.

Sedangkan kredit rumah pertama tipe 22-70 meter persegi tidak dikenakan LTV, rumah kedua dikenakan LTV 70 persen, rumah ketiga dan selebihnya 60 persen. Dan untuk KPRS pertama dikenakan LTV 80 persen, KPRS kedua 70 persen, KPRS ketiga dan selebihnya 60 persen. Kemudian, KPRS tipe 21 meter persegi dan rumah toko (ruko) atau rumah kantor (rukan), untuk kepemilikan pertama tidak dikenakan LTV. Di kepemilikan kedua baru dikenakan LTV maksimal 70 persen, kepemilikan ketiga dan selebihnya 60 persen.

Sementara di perbankan syariah, kredit rumah pertama tipe 70 meter per segi ke atas dikenakan FTV maksimal 80 persen, rumah kedua 70 persen, rumah berikutnya 60 persen. Ini berlaku juga untuk KPRS tipe 70 meter persegi ke atas. Sedangkan untuk KPR tipe 22-70 meter persegi tak dikenakan FTV untuk kepemilikan pertama, maksimal FTV 80 persen untuk kepemilikan kedua dan maksimal FTV 70 persen untuk kepemilikan ketiga dan seterusnya.

KPRS tipe 22-70 meter persegi, FTV yang diberikan maksimal 90 persen untuk kepemilikan pertama, 80 persen untuk kepemilikan kedua dan 70 persen untuk kepemilikan ketiga dan seterusnya. Sedangkan KPRS untuk tipe 22-70 meter persegi tak dikenakan FTV untuk kepemilikan pertama. Baru kredit rumah kedua dikenakan FTV 80 persen, rumah ketiga dan selebihnya 70 persen. Hal serupa juga berlaku bagi kredit ruko dan rukan di perbankan syariah.

(GN-04)

BACA JUGA: