SENGKETA lahan yang berujung pada konflik sosial tidak bisa dibiarkan terus berlarut-larut tanpa penanganan serius bakal mengarah pada ketidakberdayaan rakyat dan apatis sehingga memicu terjadi revolusi sosial. Rakyat melihat kebijakan pemerintah lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal dan mengabaikan hak-hak rakyat.

Peringatan tersebut disampaikan Guru Besar Agraria Universitas Gajah Mada (UGM) Nurhasan Ismail dan Direktur Program Imparsial Al Araf menanggapi sengketa lahan cenderung dibiarkan tanpa penyelesaian berarti, sementara rakyat tetap tersisihkan.

"Sebenarnya soal konflik lahan, seperti halnya dokter ya, begitu ada penyakit. Ini kan penyakit. Dicari sumber penyakitnya dimana. Sekarang tinggal pihak yang mau menyelesaikan konflik, mau tidak mengobati sumber penyakitnya," kata Nurhasan kepada gresnews.com di Jakarta, Selasa (29/5).

Sumber ´penyakitnya´ kata Nurhasan adalah pada kebijakan pemerintah yang tunduk pada kekuatan ekonomi liberal yang mengutamakan kepentingan pemodal dan pasar bebas. Rakyat seakan diberikan pada pilihan sulit untuk berkompetisi dalam penguasaan lahan. "Jadi yang memperoleh kan perusahaan sedangkan orang lokal kan tidak memperoleh."

Akibat kebijakan tersebut, tambah Al Araf, rakyat menguasai tanah rata-rata hanya 0,3 hektar sementara total lahan di Indonesia dikuasai tidak lebih dari 10 orang sehingga ketimpangan ini sangat mengkhawatirkan.

Ketimpangan tersebut di mata Imparsial terjadi lantaran ditopang semangat rezim ekonomi liberal melalui upaya manipulasi hukum dan peraturan perundang-undangan, khususnya pada undang-undang sektoral yang berpihak pada pemodal seperti UU Perkebunan dan UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan.

Untuk mengatasi hal itu, Nurhasan memberi jalan keluar jangka pendek melalui renegosiasi yang dilakukan perusahaan pemilik lahan mengajak warga lokal dengan mengajak rakyat atau warga lokal untuk terlibat menggarap lahan melalui pola kemitraan.

"Sementara penyelesaian jangka panjangnya harus ada perubahan di tingkat kebijakan pertanahan termasuk koordinasi antarsektor di tingkat pemerintah. Itu harus jalan. Kalau masih ada konflik. Kalau masih ada rasa sakit yang berujung pada konflik itu, artinya pemerintah belum maksimal," ungkap Nurhasan.

Langkah jalan keluar tersebut, menurut Nurhasan harus diikuti yakni melalui negosiasi supaya ada tanah yang diserahkan kepada masyarakat lokal, kebijakan pemerintah harus diubah dengan memberi perhatian khusus terhadap warga lokal melalui dan kordinasi antarlembaga/instansi terkait.

Jalan keluar tersebut di mata Imparsial, seperti dituturkan Al Araf, haruslah menukik pada instansi terkait khususnya Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Kehutanan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang kebijakannya lebih berpihak pada pemilik modal ketimbang warga lokal.

Menurut Nurhasan, kewenangan BPN seharusnya ditambah dan diperkuat khususnya mengenai agraria. "Sekarang BPN hanya jadi salah satu baut saja di bidang pertanahan."

Namun hal itu tidak akan berdampak jangka panjang, timpal Al Araf, apabila ´regulasi induk´ yang tercermin pada UU Pokok-pokok Agraria Nomor 5/1960 yang mengurai aturan kepemilikan tanah dan Landreform malahan ´tunduk´ pada UU sektoral yang mengatur sektor kehutanan dan pertambangan.

"Tidak cuma itu, Ketetapan MPR melalui Tap MPR Nomor 9 tahun 2000 tentang Reformasi Agraria pun tidak dijalankan dan hanya berupa janji-janji manis. Padahal konflik tanah akan terus berlangsung dan sudah kritis. Apabila tidak ditangani serius, bukan tidak mungkin terjadi revolusi sosial," ungkap Al Araf.

Peringatan senada dikemukakan Nurhasan, apabila konflik lahan diabaikan yang mengarah pada kesenjangan sosial dan ketimpangan penguasaan sumber daya alam maka keinginan Aceh dan Papua untuk merdeka tidak pernah dapat diredakan.

"Saya khawatirkan soal Aceh minta merdeka, Papua masih terus. Sumbernya apa? Kesenjangan sosial, kesenjangan penguasaan sumber daya alam. Jadi saya khawatir kesenjangan ini bisa mengarah kepada persoalan ketidakberdayaan orang lokal. Saya khawatir sampai pada tingkat itu...." ungkap Nurhasan.

BACA JUGA: