JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai penyelesaian konflik agraria belum menjadi agenda serius bagi pemerintah. Bahkan dipenghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), konflik agraria semakin massif, baik kekerasan maupun kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat Negara. Baru-baru ini saja setidanya ada dua konflik agraria, yakni di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dan Musi Banyuasin, Sumetera Selatan.

Bentrok antar warga desa Rembang dengan aparat kepolisian dan tentara terjadi saat warga menolak dengan memblokade kawasan pendirian tambang karst dan pabrik semen PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pada Senin (16/6). Dewan Nasional KPA Jawa Tengah Lukito mengungkapkan, dulur-dulur di Rembang yang melakukan aksi blokade disweeping hingga ke semak-semak oleh preman dan tentara. Hingga pukul 10.35 Wib Senin (16/6), empat orang petani ditangkap.

Pasca bentrok dengan aparat kepolisian, warga Rembang bersama Konsorsium Pembaruan Agraria mendesak  Gubernur Jawa Tengah menghentikan dan mencabut izin penambangan karst dan pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Sebab kata Lukito, Pasal 52 Ayat (5), huruf a) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional menyebutkan kawasan karst merupakan salah satu Kawasan Lindung Geologi, yaitu kawasan cagar alam geologi. Oleh karena itu, kawasan karst harus dilindungi (Pasal 53 (1), huruf b dan c).

Mereka juga mendesak agar meninjau ulang penambangan karst karena dapat merampas lahan produktif petani dan memunculkan alih fungsi lahan pertanian menjadi pertambangan karst dan pabrik semen. "Menghentikan segala bentuk kekerasan atas nama pembangunan pabrik semen yang merampas lahan warga dan merusak mata air petani," ujar  Lukito kepada Gresnews.com. Selasa (17/6).

Selain itu, KPA juga menolak pelibatan aparat kepolisian dan tentara dalam konflik agraria ini. "Lepaskan empat petani yang ditangkap tentara dan kembalikan alat-alat pers milik wartawan yang dirampas oleh preman dan tentara saat bentrok berlangsung," tegas Lukito.

Sementar di Musi Banyuasin, Sumetera Selatan, kejadian berawal pada Rabu (11/6). Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bersama dengan Polda Sumatera Selatan dan Polisi Hutan menangkap  tujuh (7) orang anggota komunitas adat Marga Tungkal Ulu dan kelompok tani Desa Simpang Tungkal, Kecamatan Tungkal Jaya, Kabupaten Musi Banyuasin. Mereka menangkap M. Nur Ja’far, M. Zulkipli, Wiwin Oktiara, Ahmad Burhanudin, Samingan, Sukisna, dan Dedi Suyanto yang bertepatan dengan dilaksanakan traning partisipatif wilayah adat.

Kepolisian Polda Sumatera Selatan beralasan ketujuh orang tersebut dibawa untuk dimintai keterangan seputar aktivitas mereka di kawasan hutan Suaka Margasatwa Dangku, Musi Banyuasin. Sehari kemudian, Polda Sumatera Selatan menetapkan enam orang sebagai tersangka dengan tuduhan telah melakukan perambahan hutan Suaka Margasatwa Dangku, Musi Banyuasin, sedangkan Wiwin diperbolehkan untuk pulang.

Ahmad Burhanudin, Samingan, Sukisna, dan Dedi Suyanto dikenai Pasal 40 (1) Jo. Pasal 19 (1) UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Mereka dituduh telah melakukan penyerobotan lahan milik BKSDA karena melakukan aktivitas pertanian. Sedangkan M. Nur Ja’far dan M.Zulkipli dikenai  Pasal 92 (1) huruf (a) dan huruf (b) dan atau Pasal 98 (1) UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

"Kedua orang ini dimintai pertanggung jawabannya selaku petinggi Kelompok Tani Desa Simpang Tungkal, atas tindakan keempat rekannya," kata Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin kepada Gresnews.com, Selasa (17/6).
 
Padahal menurut Iwan, secara historis, lahan warga desa Simpang Tungkal, seluas 28.500 hektar sudah ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan sebagai Suaka Margasatwa Dangku dengan No.410/Kpts-II/1986. Namun warga tidak berani melawan karena pemerintahan pada saat itu sangat otoriter dan kepemilikan lahan mereka diwariskan secara turun-temurun sehingga tidak mempunyai bukti yang sah secara hukum positif. Keberanian masyarakat untuk merebut kembali haknya, kata Iwan,  muncul sejak 2012 dan melawan pihak Kehutanan ketika dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 . Putusan MK ini dibacakan pada 16 Mei 2013 memutuskan hak masyarakat adat atas wilayah adat termasuk atas hutan adat.
 
Atas kejadian ini KPA menuntut kepolisian memebaskan keenam warga Desa Simpang Tungkal. Alasannya, lahan yang digarap oleh Ahmad Burhanudin, Samingan, Sukisna, dan Dedi Suyanto merupakan hak warga Desa Simpang Tungkal yang pada tahun 1986 dirampas oleh Kementerian Kehutanan. "Sedangkan tuduhan yang diberikan kepada M. Nur Ja’far dan M.Zulkipli merupakan bentuk dari pengkerdilan kelompok tani yang ada di Desa Simpang Tungkal," terangnya.
 
Karena itu, KPA mendesak segera dilakukan pemetaan ulang antara wilayah hak kelola masyarakat dan wilayah klaim Kehutanan dengan melibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Misalnya dengan membentuk tim penyelesaian konflik agraria tanpa melibatkan pihak kepolisian maupun aparat Negara lainnya. "Selama ini mereka telah terbukti melakukan pengusiran terhadap warga dan melakukan kriminaliasi terhadap tokoh masyarakat," tegasnya.  
 

BACA JUGA: