Jakarta - Kebijakan pemerintah yang akan membagikan lahan seluas enam juta hektar kepada masyarakat, serta program 1,2 juta lebih sertifikat untuk legalisasi aset tanah di seluruh Indonesia di tahun 2012 ini dianggap hanya isapan jempol. Realitanya, konflik agraria antara masyarakat melawan pemilik modal masih terus terjadi.

"Realitas yang ada justru menunjukkan makin masifnya penggusuran tanah rakyat dan petani oleh pihak pemodal atau korporasi yang disokong oleh tindakan represif aparatur kekuasaan seperti TNI dan Polri. Di Sumatera Utara saja ada ribuan kasus agraria. Yang sedang menghangat sekarang adalah konflik agraria PTPN II dengan masyarakat di Langkat, Sumatera Utara," ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara, Syahrul kepada gresnews.com, Jumat (6/4).

Berbagai kebijakan pemerintah yang menumbalkan kaum tani, kata Syahrul,  tidak terlepas dari haluan ekonomi neoliberal yang dianut rezim SBY-Boediono. Haluan ekonomi yang menganjurkan liberalisasi pasar pertanahan (land market) demi memacu gairah investasi swasta di sektor pertanian, perkebunan serta infrastruktur.

"Nasib jutaan kaum petani miskin semakin termarjinalkan akibat ketiadaan modal untuk bersaing dengan para investor," sesal Syahrul.

Menurut Syahrul, kalau pemerintah serius ingin mengimplementasikan enam juta hektar tanah bagi kaum miskin dan pengadaan sertifikasi 1,2 juta tanah, maka tak ada jalan lain bagi pemerintahan SBY-Boediono selain mengubah haluan ekonominya selama ini yang mengabdi pada kepentingan kapitalisme global menjadi haluan ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan konstitusi. Setelah itu barulah kebijakan reformasi agraria yang merujuk pada UU PA No.5/1960 serta TAP MPR No.IX/2001 dapat secara konsisten dijalankan.

"Tapi, apabila rezim ini tidak berganti haluan, maka land reform yang berpihak pada kaum miskin dan tani hanyalah sebatas retorika belaka," pungkas Syahrul.

BACA JUGA: