JAKARTA, GRESNEWS.COM – Dewan Perwakilan Rakyat saat ini tengah menyusun revisi Undang-Undang Pertanahan. Revisi ini dinilai penting agar UU Pertanahan memiliki keberpihakan kepada golongan masyarakat ekonomi lemah. Harus ada komposisi yang tegas untuk mengatur berapa persentase tanah yang digunakan untuk korporasi dan perorangan masyarakat.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari fraksi Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan, masalah tanah merupakan persoalan yang rumit dan kompleks. Undang-Undang (UU) Pertanahan ini juga sudah ada sejak 1960 dan belum direvisi.

"Makanya Komisi II berinisiatif melakukan revisi atau perubahan UU Pertanahan. Apalagi sekarang agraria dan tata ruang jadi satu," ujar Riza saat dihubungi gresnews.com, Rabu (26/8).

Ia menyebutkan sejumlah masalah tata ruang yang terjadi saat ini. Diantaranya soal alih fungsi lahan dan lahan pertanian yang makin tergerus karena industri, pabrik, dan perumahan serta konflik lahan. Lalu ada juga persoalan tanah adat dan tanah ulayat. "Karena itu perlu ada satu regulasi yang mampu menjadi payung hukum tata ruang," ujarnya.

Persoalan pertanahan di Indonesia memang terlanjur rumit lantaran tidak ada regulasi yang jelas ketika terjadi peralihan kekuasaan dari Belanda ke pemerintah Republik Indonesia. Hal yang sama juga terjadi ketika terjadi peralihan kekuasaan dari pemerintah Orde Lama ke Orde Baru, dan Orde Baru ke era Reformasi. Akibatnya, kini sering terjadi konflik yang diakibatkan saling klaim hak atas tanah warisan dari persoalan di masa lalu.  

Pada masa Orde Baru misalnya, penguasa sangat memiliki otoritas untuk mengklaim sebuah lahan sebagai milik pemerintah. Saat itu, masyarakat, TNI/Polri tidak berani melawan pemerintah. Persoalan menjadi rumit saat masa reformasi berlangsung, masyarakat jadi memiliki keberanian untuk menggugat tanah tersebut.

"Jadi zaman reformasi dan sekarang, konflik tanah semakin tinggi. Pengadilan juga semakin adil. Zaman dulu pengadilan lebih bersikap pada penguasa," jelas Riza.

Menurutnya, saat reformasi, sebagian hakim mulai lebih berpihak pada keadilan. Karena itu tanah-tanah yang menjadi milik masyarakat di desa dan kampung bisa dimenangkan di tingkat pengadilan tinggi dan kasasi. Hal tersebut baru sekelumit contoh terkait sengketa tanah.

TANAH UNTUK MASYARAKAT MISKIN - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengatakan, RUU Pertanahan merupakan produk legislasi yang dibuat sebagai implementasi UU Pokok Agraria (UU PA). Menurut dia, revisi UU Pertanahan bukanlah untuk menggantikan UU PA.

"Kalau dibuat untuk menggantikan tidak benar," kata Iwan saat dihubungi gresnews.com, Rabu (26/8).

Dalam UU PA diatur bahwa tanah memiliki fungsi sosial, sehingga harus diterjemahkan detail dalam RUU Pertanahan. RUU Pertanahan ini harus diterjemahkan bahwa prioritas penggunaan tanah adalah untuk golongan ekonomi lemah.

Pembuat UU harus menterjemahkan siapa saja golongan ekonomi lemah itu. "Apakah Sinarmas dan Bakrie adalah golongan ekonomi lemah sehingga harus dikasih tanah yang luas? Atau masyarakat adat?" jelasnya.

Iwan menjelaskan, tanah merupakan sumber daya yang terbatas karena tanah tidak bertambah. Ketidakadilan kepemilikan, penggunaan, pengusahaan, dan peruntukan tanah adalah sebuah kenyataan. Persoalan ini yang harus diselesaikan dengan RUU Pertanahan melalui reforma agraria.

"Jadi RUU ini akan menata soal struktur kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan agraria di Indonesia," ujar Iwan.

Menurutnya saat ini hanya sedikit orang termasuk badan usaha yang menguasai lahan yang begitu luas. Sementara, banyak petani dan masyarakat menguasai tanah yang kecil-kecil. Perbandingan ini yang harus direformasi. Lalu soal konflik agraria juga harus diatur dalam UU ini seperti konflik di Kampung Pulo.

"Kalau hanya atur investor boleh masuk atau orang asing boleh punya rumah, mending tidak ada RUU ini," ujarnya.

TANAH UNTUK KETERSEDIAAN PANGAN - Ahmad Riza Patria sendiri mengatakan, terkait masalah pertanahan ini, DPR memahami adanya ketimpangan pemilikan tanah. Riza menjelaskan saat ini banyak petani masih hidup susah. Petani terus bertani padahal tidak mendapatkan harga yang layak. "Ketika ada orang yang ingin membeli perumahan dengan harga tinggi, tanah untuk bertani tentunya akan dijua," katanyal.

Karena itu, kata Riza, UU Pertanahan ini akan mengatur regulasi soal alih fungsi lahan tersebut. "Supaya tidak semudah itu alih fungsi lahan terjadi. Kalau tidak ada regulasi itu lama-lama pertanian dan perkebunan kita habis," jelasnya.

Terkait masalah ini, Iwan Nurdin mengatakan, persoalan konversi lahan pertanian untuk industri atau infrastruktur sudah diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Jadi menurutnya, poin ini bukan isu yang harus dijawab oleh RUU Pertanahan. "Jadi tidak perlu diatur dalam UU ini,´ jelasnya.

Menanggapi soal kemungkinan tumpang tindih antara RUU ini dengan UU lainnya, Riza menuturkan akan menyinergikan RUU ini dengan UU yang sudah ada. Ia meyakini dalam membuat UU pasti akan bersinggungan dengan UU lain. Karena itu sinergi harus dilakukan agar bisa berdampak positif bagi persoalan lahan yang ada saat ini.

PEMBATASAN TANAH BAGI KORPORASI - Dalam rancangan UU Pertanahan yang sedang digarap DPR, Riza mengatakan, beleid ini juga akan mengatur soal tata ruang lahan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan yang sudah sangat berpihak pada penguasa dan pemodal.

Ketidakadilan dalam tata ruang ini menurutnya kerap menimbulkan konflik lahan antara pemerintah dengan masyarakat, antara BUMN dengan masyarakat, antara institusi pemerintah sendiri, dan antara masyarakat dengan TNI/Polri ataupun perusahaan. Yang terbaru adalah konflik antara petani dengan TNI di wilayah Urutsewu, Kebumen yang berujung pada terjadinya tindak kekerasan terhadap para petani yang menyebabkan jatuhnya korban luka di kalangan warga.

Kekerasan yang dilakukan aparat TNI AD ini mengundang kecaman dari masyarakat. Para mahasiswa dan warga mengecam aparat TNI AD yang mereka nilai brutal terhadap petani Urutsewu. Akibat tindakan TNI AD ini banyak warga yang menjadi korban karena dipukuli, diinjak-injak dan ditakut-takuti dengan senjata.

Mahasiswa menuntut agar kasus kekerasan fisik petani dan warga Urutsewu di desa Wiromartan, kecamatan Mirit, Kebumen ini diusut tuntas. Menuntut agar aparat TNI AD yang melakukan kriminalisasi kepada warga di hukum berat. Menuntut agar Dandim Kebumen dicopot atas tindakan anak buahnya tersebut. Meminta agar pagar yang membatasi petani Urutsewu dari tanahnya dirobohkan.

"Selama ini kita sering melakukan aksi protes tapi tidak terekspose, baru setelah bentrok dieskpose. Kita ingin mengawal kasus ini,"kata peserta aksi Abdul Aziz di Titik Nol Kilometer Yogyakarta.

Mereka meninginkan lebih baik wilayah Urutsewu dijadikan sebagai kawasan wisata dan pertanian. Karena selama ini petani menanam berbagai tanaman seperti semangka, sehingga bisa dijadikan agrowisata.

Persoalan ini, kata Riza, juga harus diselesaikan. "Tata ruang itu kita atur berapa kebutuhan ideal untuk pertanian, perkebunan, kehutanan baik industri dan hutan lindung. Kalau tidak diatur maka berbahaya karena makin longsor dan banjir," tutur Riza.

Dia mengatakan, untuk perusahaan hak guna usaha untuk memanfaatkan lahan juga akan di atur dalam RUU Pertanahan. Nantinya DPR akan menggunakan pendekatan yang berbeda untuk masing-masing provinsi soal komposisi tersebut.

Begitupun aturan soal komposisi tanah yang digunakan korporasi dan tanah yang dimiliki untuk masyarakat. Menurutnya, saat ini tanah yang digunakan masyarakat memang semakin berkurang, meski dia akui, bahwa data persentase pemilikan tanah antara warga dan korporasi belum ada dan baru akan disusun.

Namun, menurut Iwan Nurdin, saat ini sebagian tanah memang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Penguasaan ini terjadi ketika negara memberikan izin hak guna usaha pada perusahaan tersebut dan terus diperpanjang.

Untuk itu, kata dia, ketika izin usahanya sudah habis, maka izinnya seharusnya jangan diteruskan lagi ke perusahaan tersebut. "Dengan demikian, tanah yang dikelola perusahaan bisa diberikan ke rakyat untuk digunakan," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: