JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2017 semakin mendekat. Saat ini, para calon kepala dan wakil kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sudah melaksanakan pendaftaran calon ke Komisi Pemilihan Umum. Seperti lazimnya sebuah perhelatan politik, maka lembaga-lembaga survei politik pun bakal ikut meramaikan perhelatan Pilkada Serentak 2017 terkait masalah elektabilitas dan popularitas calon.

Nah masalahnya, saat ini banyak yang alpa bahwa sebenarnya lembaga survei tak bisa begitu saja mempublikasikan hasil surveinya ke publik. Terlebih di tengah ajang pesta demokrasi seperti pilkada, banyak juga pihak yang meragukan kesahihan data yang diolah dan disajikan oleh lembaga survei. Lemaba survei sendiri dalam kondisi seperti ini kerap tak bisa menghindari adanya tarik-menarik kepentingan.

Nah, untuk mengantisipasi hal itu, sebenarnya pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik yang berlaku sejak 26 September 1997. Nah dalam beleid itulah diatur, bahwa dalam rangka pengembangan Sistem Statistik Nasional, masyarakat wajib memberitahukan sinopsis kegiatan statistik yang telah selesai diselenggarakannya kepada Badan Pusat Statistik (BPS). Hal itu diatur dalam Pasal 20 UU Statistik.

Pasal 20 menyebutkan, penyelenggara kegiatan statistik wajib memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat untuk mengetahui dan memperoleh manfaat dari data statistik yang tersedia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika Pasal 20 ini dengan sengaja dan tanpa alasan yang sah tidak dipatuhi, maka penyelenggara dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp25 juta (Pasal 36).

Sayangnya seperti diuraikan di atas, banyak lembaga survei statistik termasuk lembaga survei politik tidak berpedoman pada aturan yang ada. Sehingga, menurut Anggota Komisi VI PDIP Darmadi Durianto perlu ada tambahan aturan guna mempertegas yang telah ada agar dijalankan.

Hal ini, kata Durianto, sangat penting sebab sejatinya sedikit banyak hasil dari lembaga survei tersebut akan mempengaruhi pilihan masyarakat. "Perlu ada badan akreditasi. Supaya punya standar yang baku," ujar Darmadi, Senin (26/9).

Dia mengusulkan selain kewajiban melapor ke BPS dijalankan, juga perlu ada semacam badan akreditasi untuk lembaga-lembaga survei. Menurutnya, akan bisa meminimalisir lembaga-lembaga survei politik yang bekerja tidak berdasar kepentingan publik. "Banyak lembaga survei enggak bener, metodologi penelitian, teknik sampling, atau yang menerima berdasarkan pesanan," jelas Darmadi.

UU Statistik sendiri sebenarnya telah mengatur secara ketat soal penyelenggaran survei statistik. Dalam Pasal 1 Ayat (1) dijelaskan, statistik adalah data yang diperoleh dengan cara pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan analisis serta sebagai sistem yang mengatur keterkaitan antarunsur dalam penyelenggaraan statistik.

Sedangkan dalam Pasal 1 Ayat (4) diuraikan bahwa kegiatan statistik adalah tindakan yang meliputi upaya penyediaan dan penyebarluasan data, upaya pengembangan ilmu statistik, dan upaya yang mengarah pada berkembangnya Sistem Statistik Nasional.

Dalam Pasal 14 diuraikan bahwa dalam rangka pengembangan Sistem Statistik Nasional, masyarakat wajib memberitahukan sinopsis kegiatan statistik yang telah selesai diselenggarakannya kepada BPS. Sinopsis tersebut berisi judul, wilayah kegiatan statistik, objek populasi, jumlah responden, waktu pelaksanaan, metode statistik, nama dan alamat penyelenggara dan abstrak.

Penyampaian pemberitahuan sinopsis dapat dilakukan melalui pos, jaringan komunikasi data atau cara penyampaian lainnya yang dianggap mudah bagi penyelenggara kegiatan statistik.

Nah dalam Pasal 35 diatur: "Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)".

Sayangnya akibat tak ada penegakan hukum yang tegas, maka banyak lembaga survei khususnya survei politik yang banyak menyajikan data statistik terkait elektabilitas dan popularitas seorang calon kepala daerah atau presiden, misalnya tidak mematuhi aturan dalam UU Statistik. Inilah yang menurut Darmadi harus diatur.

Terkait hal ini, pengamat komunikasi politik Hendri Satrio menyatakan adanya perbedaan hasil survei di setiap lembaga Survei adalah hal wajar karena akan sangat tergantung pada metode yang digunakan. Menurut pendiri lembaga survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) ini, hasil survei yang dilakukan oleh Kedai Kopi misalnya kerap tidak terlalu beda jauh dengan CSIS karena metode yang digunakan sama.

"Kalau metodologinya betul seharusnya hasilnya tidak jauh berbeda," ujar Hendri Satrio kepada gresnews.com, Senin (26/9).

Dia mengakui, hasil survei dan quick count yang dilakukan lembaga survei dipercaya sangat mempengaruhi opini publik, oleh karena itu lembaga survei perlu menjelaskan kepada masyarakat dan melaporkan kepada BPS tentang jumlah sampel, waktu pelaksanaan dan metode statistik yang digunakan.

Kedai Kopi, kata Hendri, selalu terbuka terkait hal ini. "Kedai kopi melaporkan seluruh metodologi survei ke masyarakat lewat websitenya secara terbuka," ujarnya singkat.

WACANA LAMA - Upaya untuk menertibkan lembaga survei politik ini sendiri sebenarnya merupakan sebuah wacana lama yang selalu timbul tenggelam seiring perjalanan waktu. Wacana ini sempat menguat setelah dalam ajang pemilihan presiden tahun 2014 silam, sangat kentara banyak lembaga survei yang tertarik oleh kepentingan politik kedua kubu yang bertarung.

Nah, kemudian di tahun 2015, Komisi Pemilihan Umum sempat mengadakan uji publik terkait partisipasi publik dalam peraturan KPU untuk menghadapi pilkada serentak 2015. Sosialisasi itu dilakukan terkait upaya mengatur hitung cepat yang dilakukan lembaga survei politik yang ketika itu belum diatur dalam PKPU.

Lewat aturan itu KPU ingin memastikan lembaga survei yang ikut dalam penghitungan cepat Pilkada bisa bekerja dengan mengedepankan prinsip kredibilitas. Namun sayangnya wacana ini tak berkembang lebih jauh. Pada akhirnya lembaga survei tetap saja bisa mengumumkan hasil hitung cepat mereka saat pemilihan berlangsung.

Padahal, justru dalam Pilpres 2014, hal ini menjadi persoalan karena hasil quick count yang diumumkan sebelum perhitungan resmi KPU dinilai bisa menyandera KPU.

Kemudian terkait lembaga survei sendiri sebenarnya sudah ada asosiasi yang mengatur gerak-langkah lembaga survei secara etika dan profesionalismenya. Lembaga itu adalah Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi)

Sayangnya, seperti yang pernah diungkapkan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, banyak juga lembaga survei yang tidak ingin masuk dalam wadah para lembaga survei tersebut. Alasannya, karena wadah tersebut belum bisa memperjuangkan hak para anggotanya.

Salah satu contohnya menurut Burhanudin terkait sertifikasi. Jika profesi lain seperti dokter, ataupun pengacara mempunyai sertifikasi bagi anggotanya. Tetapi lembaga survei belum ada sertifikasinya. "Sehingga hampir tidak ada perbedaan antara anggota maupun bukan," kata Burhanuddin kepada gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Selain itu, sertifikasi tersebut juga berpengaruh terhadap pemakaian jasa para lembaga survei. Seharusnya lembaga survei yang sudah tergabung dalam asosiasi memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan klien. "Kalau tidak ada sertifikasi seperti itu kan peluang mendapatkan order sama aja," terangnya.

Akibatnya jika terjadi perbedaan hasil seperti dalam penyajian hasil quick count Pilpres 2014, kata Burhanuddin, lembaga survei yang memang kredibilitasnya bisa dipertanggungjawabkan pun terkena imbasnya. "Karena masyarakat menganggap tidak ada perbedaan antara lembaga survei yang satu dengan yang lain," ujarnya menambahkan.

Apalagi tidak ada sanksi yang jelas terhadap lembaga survei yang bukan merupakan anggota asosiasi yang terbukti mempunyai kesalahan dalam penyampaian hasil baik itu dalam survei maupun quick count. "Asosiasi kurang bertaji, giginya ompong," tegas Burhanudin.

Selain itu, Burhanudin juga mengkritik KPU yang dianggap tidak konsisten dalam menetapkan aturan. Seharusnya KPU lebih tegas terhadap lembaga survei yang tidak terdaftar di KPU tetapi ikut melakukan quick count.

Pihaknya hanya bisa mendorong KPU untuk melakukan audit kepada lembaga survei tersebut. "Kita tidak bisa mengaudit, karena mereka bukan lembaga kita. Harusnya KPU lah yang mengaudit. Itu juga kalau KPU menganggap itu penting, karena hasil real count itu kan sepenuhnya hak KPU" tambahnya.

Walaupun sebenarnya hasil real count sepenuhnya wewenang KPU, tetapi dirinya berharap KPU juga mendukung kredibilitas lembaga survei yang merupakan hasil karya ilmiah para peneliti. Menurut Burhanuddin, audit kepada lembaga survei tersebut bisa dilakukan secara independen.

"KPU bisa meminta para akademisi dari Perguruan Tinggi untuk mengaudit, atau menggunakan lembaga independen. Kalau KPU meminta bantuan, kami pihaknya juga siap mengaudit lembaga survei tersebut," tandasnya.

BACA JUGA: