JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta bersikap tegas terhadap lembaga-lembaga survei yang mengadakan survei terkait pemilihan umum. Sebab banyak lembaga survei justru ditunggangi dan digunakan pihak tertentu sebagai alat kampanye dini.

Desakan itu menyusul adanya polemik atas hasil survei yang dirilis oleh Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (LPP UI) pimpinan Hamdi Muluk (HM). Survei itu alih-alih menjadi rujukan, justru memunculkan polemik di masyarakat.   

Sebelumnya dalam survei LPP UI itu menyebutkan bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi tokoh paling direkomendasikan untuk menjadi gubernur pada Pilkada 2017. Hasil survei itu justru memantik kritik, pasalnya Hamdi dikenal sebagai pendukung Presiden Jokowi dan Ahok.

Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, idealnya, Hamdi terlebih dahulu menjelaskan siapa saja para pakar yang dijadikan narasumber (responden). "Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa ada pakar pada posisi pro maupun kontra tehadap perilaku politik sosok tertentu," kata Emrus, melalui pesan singkat kepada gresnews.com, Kamis (4/8) malam.

Karena itu, kalau respondennya semua atau mayoritas dari para pakar yang pro maka hasilnya dapat diprediksi merekomendasikan sosok yang didukungnya. Sedangkan bila respondennya semua atau mayoritas pakar yang kontra,  hasilnya dapat diprediksi merekomendasikan yang berbeda.

Jika para pakar berada pada salah satu posisi tersebut dijadikan sumber data (responden), sudah tidak perlu diteliti. Menurut Emrus, secara akademik, penelitian semacam itu hanya kesia-siaan, karena tanpa diteliti pun sudah dapat diketahui hasilnya. Maka analoginya sederhana, tidak perlu lagi diteliti bahwa batu itu keras, karena memang di mana-mana benda batu pasti keras.

"Jangan sampai terjadi bahwa suatu survei mempunyai agenda politik tertentu. Misalnya, untuk tujuan penggiringan opini atau membangun kesadaran palsu di ruang publik," ujarnya.

Menurutnya, bila itu yang terjadi, pelaku survei berada pada posisi kepentingan politik dari salah satu kandidat. Hal itu tidak ubahnya dia berperan sebagai konsultan politik bagi kandidat tertentu. Biasanya orang seperti ini bisa jadi ikut kebagian "kue" sebelum atau ketika yang didukung memperoleh kekuasaan.

Oleh karena itu, agar hasil survei tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, responden harus dari para pakar yang benar-benar netral, yaitu para pakar di luar pro dan kontra.

"Terutama HM (Hamdi Muluk) harus menjelaskan ke publik, bagaimana teknik dan proses penyaringan secara ketat, sehingga para pakar tersebut benar-benar berada pada posisi netral," tegasnya.

Selain itu, untuk menghasilkan responden yang tidak berpihak, terlebih dahulu Hamdi harus melakukan uji kenetralan pandangan dari para pakar sebelum diputuskan sebagai sumber data (responden).

"Menurut saya, uji kenetralan merupakan hal yang krusial dari seluruh tahapan proses penelitian survei dari apa yang dilakukan oleh HM. Bukan sekadar menyampaikan hasil," imbuhnya.

Menurutnya, jika penentuan responden tidak disaring dengan prosedur akademik secara ketat, maka rilis hasil survei ke ruang publik tersebut menjadi sangat tidak produktif dalam membangun demokrasi di Indonesia.

JADI ALAT KAMPANYE- Secara terpisah, Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Andrian Habibi, mengatakan, maraknya aktivitas lembaga survei kerap dimanfaatkan oleh pasangan calon untuk alat kampanye.

Maraknya lembaga survei menjelang pilkada akan mempengaruhi tingkat elektabilitas calon yang direkomendasikan. Kendati hal itu menjadi hal wajar dilakukan para surveyor. Tetapi, bila hasil survei yang seharusnya akademis, tapi dijadikan mainan, ini perlu ada pemantauan oleh KPU bersama-sama dengan Bawaslu.

"Hasil survei itu harus bisa dijelaskan dengan proses, bila proses tidak jelas, maka harus diiingatkan," kata Andrian kepada gresnews.com, Jumat (5/8).

Selain itu, daripada hanya membuat persentase tokoh, sebaiknya metode wawancara saat survei digunakan sosialisasi pilkada untuk menguatkan sistem demokrasi.

"Jadi survei bukan hanya menampilkan perolehan persentase tokoh," ujarnya.

Ia menambahkan jika LPP UI melaksanakan survei maka wajib terbuka. "Jadi dalam lingkup akademis, bila sang guru besar terindikasi melakukan kegiatan akademis yang jauh dari rasa keadilan dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, gelar guru besarnya berpotensi dicopot," ujarnya.

KIPP mencontohkan lembaga survei lain yang melakukan survei tentang potensi Ahok adalah lembaga Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyebutkan bahwa 36,6 persen masyarakat memilih Ahok dan 54,4 persen belum menentukan pilihan.

Dia menyebutkan, fenomena Teman Ahok yang setiap hari mengumpulkan dukungan dan sosisalisasi Ahok ternyata hanya mempengaruhi 36,6 persen suara pemilih Pilgub DKI Jakarta. Survei yang dilaksanakan pada 24-29 Juni 2016 itu menggunakan metode wawancara terhadap 820 responden. Ternyata dari jumlah itu hanya 646 responden yang dinyatakan valid dan datanya dianalisis. "Maka artinya 36,6 persen dari 646 responden yang menyatakan dukungan ke Ahok," jelasnya.

Menurut Andrian, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana perwakilan dari seluruh rakyat DKI Jakarta. "Jika hal ini dipakai sebagai dasar persentasi pemilih, bukankah terlalu tinggi menyebutkan angka 36,6 persen," ujarnya.

Persentase 36 persen ini juga tidak boleh dijadikan pijakan untuk mengukur kekuatan Ahok. "Maka patut diduga lagi-lagi lembaga survei menjadi alat kampanye kepagian atas Ahok," ungkapnya

Dia menambahkan, lembaga survei saat ini lebih baik fokus pada 54 persen pemilih yang belum menentukan pilihan. "Jumlah besar ini menunjukkan bahwa betapa rakyat DKI Jakarta membutuhkan alasan kuat untuk menggunakan hak pilih dan menyiapkan mental dalam menentukan pilihan," ujarnya.

Untuk itu KPU hasus tegas terhadap lembaga-lembaga survei yang ada, bukan hanya berkoar-koar soal independensi lembaga pemantau pemilu.

Bahkan, lembaga survei juga mesti dapat menyiapkan perangkat pendidikan demokrasi bila melaksanakan survei. Apalagi jika metode survei dilakukan dengan cara wawancara yang membuka ruang sosialisasi demokrasi dan politik Indonesia.

BACA JUGA: