JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah telah memancangkan komitmen untuk mewujudkan "bebas pekerja anak" pada tahun 2022 mendatang. Hanya saja, tekad ini sepertinya bakal sia-sia jika dalam upaya tersebut pemerintah tak melibatkan peningkatan kesadaran pada komunitas atau masyarakat tentang isu pekerja anak. Pasalnya, hingga saat ini kondisi pekerja anak di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan.

Berdasarkan survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2014 diketahui, berumur 10-17 tahun yang secara ekonomi aktif bekerja mencakup 2,77 persen dari jumlah total penduduk 10-17 tahun. Sementara bedasarkan survei Pekerja Anak yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2009 mengungkapkan, Dari jumlah keseluruhan anak berusia 5-17, sekitar 58,8 juta, 4,05 juta atau 6,9 persen di antaranya termasuk dalam kategori anak yang bekerja. Dari jumlah keseluruhan anak yang bekerja, 1,76 juta atau 43,3 persen merupakan pekerja anak.

Survei itu juga mengungkapkan, dari jumlah keseluruhan pekerja anak berusia 5-17, sejumlah 48,1 juta atau 81,8 persen masih bersekolah. Kemudian sejumlah 24,3 juta atau 41,2 persen terlibat dalam pekerjaan rumah. Sisanya sejumlah 6,7 juta atau 11,4 persen tergolong sebagai ´idle´, yaitu tidak bersekolah, tidak membantu di rumah dan tidak bekerja.

Dari survei itu juga diketahui, sekitar 50 persen pekerja anak bekerja sedikitnya 21 jam per minggu dan 25 persen sedikitnya 12 jam per minggu. Rata-rata, anak yang bekerja bekerja 25,7 jam per minggu, sementara mereka yang tergolong pekerja anak bekerja 35,1 jam per minggu. Sekitar 20,7 persen dari anak yang bekerja itu bekerja pada kondisi berbahaya, misalnya lebih dari 40 jam per minggu. Anak yang bekerja umumnya masih bersekolah, bekerja tanpa dibayar sebagai anggota keluarga, serta terlibat dalam bidang pekerjaan pertanian, jasa dan manufaktur.

Pihak Kementerian Tenaga Kerja sendiri menegaskan, pihaknya melalui program Pengurangan Pekerja Anak-Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) telah menarik sejumlah 11 ribu pekerja anak dari lingkungan kerja pada 2013. Kemudian 15.000 pekerja anak pada 2014, dan 16.000 pekerja anak pada 2015. Jika dilihat sejak 2008, pemerintah mengklam bahwa total penarikan pekerja anak hingga 2016 telah mencapai sejumlah 80.163 pekerja anak.

Angka ini memang cukup besar, namun menurut Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Novi Widyaningrum, capaian tersebut menjadi kurang efektif apabila belum ada pemahaman tentang pekerja anak dan hak anak pada level komunitas atau masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Anak, pekerja anak adalah anak yang berumur di bawah usia 18 tahun dan melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya.

Pada situasi sosial masyarakat, ada kecenderungan sikap permisif dari para orang tua terhadap anak-anaknya yang bekerja. Anak ikut bekerja dengan alasan untuk membantu beban orang tua.
"Sistemnya sudah dibuat sedemikian rupa oleh negara, tapi belum benar-benar menyentuh aspek kulturnya. Ini adalah jalan panjang, bagaimana mengubah pola pikir atau mindset terutama orang tua. Ada banyak kasus dimana anak tidak secara legal menjadi pekerja seperti di perkebunan dan bekerja atas ijin orang tua," kata Novi dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Minggu (12/6).

Novi kemudian mengingkapkan hasil studi kualitatif Kasus Pekerja Anak Perkebunan di Kabupaten yang pernah dilakukan pada 2014. Dia mengungkapkan, dari hasil penelitian itu, dari 24 informan pekerja anak yang dilibatkan dalam penelitian, sebagian besar mengaku mulai bekerja karena disuruh oleh orang tua.

Ada di antara mereka yang mendapat upah dari orang tua, ada pula yang bekerja tanpa upah. Setiap anak berpeluang untuk bekerja melalui proses internal, sebab hampir seluruh orang tua dari pekerja anak yang diwawancarai tersebut tidak memiliki lahan perkebunan tembakau sendiri.

Beberapa yang lain mengemukakan alasan bekerja berangkat dari inisiatif mereka sendiri. Faktor peer group dari para anak sendiri yang membuat mereka memutuskan untuk ikut bekerja. Aktivitas bekerja bersama teman-teman di lingkungannya rumah itu mendorong anak-anak untuk masuk dalam aktifitas ekonomi ini.

"Anak lalu sungkan jika menganggur, tidak melakukan apa-apa sementara orang tuanya bekerja di hadapan mereka. Dengan dorongan untuk bekerja bersama teman-temannya, maka, mereka dengan sukarela ikut membantu menyelesaikan pekerjaan orang tuanya," kata Novi lagi.

Terkait rentang waktu bekerja per hari, ada 33,3 persen anak-anak yang bekerja 1-3 jam, lalu 20,8 persen bekerja selama 4-6 jam, 25 persen bekerja selama 7-9 jam per hari, dan 4,2 persen bekerja lebih dari 9 jam. Ada 16,7 persen informan pekerja anak yang tidak menjawab pertanyaan terkait rentang waktu bekerja.

Selain itu, hasil studi kualitatif tersebut juga menunjukkan hampir separuh dari informan pekerja anak tidak berminat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Penghasilan yang mereka dapat dari kebun tembakau dirasa dapat memenuhi kebutuhan hidup. "Bagi mereka, masa depan akan terjamin saat telaten bekerja di kebun tembakau sehingga tak mengherankan bila ada dari mereka yang yakin untuk tidak meneruskan sekolah dan memilih bekerja," ujar Novi.

Sebanyak sepuluh informan pekerja anak tidak lagi bersekolah. Dua anak berusia sekolah dasar, enam anak berusia sekolah menengah pertama, dan dua anak berusia sekolah menengah atas.
Jika melihat alasannya, 70 persen pekerja anak yang tidak lagi bersekolah tersebut sudah tidak mau lagi memikirkan materi pelajaran sekolah (malas belajar). Sementara 30 persennya karena ketidakmampuan keluarga untuk membiayai.

Selain rendahnya minat belajar pekerja anak, pemakluman dari orang tua menjadi persoalan tersendiri. Semua informan mengatakan, para orang tua tidak bermasalah bila anak bekerja di kebun atau proses pasca panen tembakau, sebaliknya senang karena bisa ikut menyokong ekonomi keluarga.

Novi menegaskan, ketiadaan data yang valid tentang jumlah pekerja anak di Indonesia menunjukkan bahwa fenomena ini merupakan gunung es, oleh karena itu identifikasi pekerja anak harus dilakukan di level komunitas oleh masyarakat sendiri. Dia mengatakan proses musyawarah perencanaan pembangunan kini sudah melibatkan masyarakat.

"Masyarakat bisa didorong untuk mengidentifikasi adanya pekerja anak dan membuat perencanaan terkait penghapusan pekerja anak di desa atau lingkungannya. Bahwa menarik anak dari pekerjaan, khususnya di sektor-sektor yang eksploitatif idealnya dilakukan oleh masyarakat dengan pemahaman dan kesadaran yang penuh, bukan oleh pemerintah, lembaga sosial masyakarat atau lembaga lain semata," jelas Novi.

KESEHATAN TERANCAM - Melibatkan anak dalam pekerjaan selain menimbulkan problem sosial juga menimbulkan problem kesehatan yang tak kalah mengerikan. Beberapa waktu lalu, Human Rights Watch (HRW) melaporkan hasil studi mereka terkait pekerja anak di ladang tembakau. Dari laporan itu terungkap, ketika anak Indonesia bekerja di ladang tembakau mereka terpapar dalam lingkungan kerja berbahaya seperti mengangkat beban terlalu berat, panas ekstrem, menggunakan alat tajam serta pestisida, dan khususnya keracunan nikotin.

Akibatnya kesehatan dan perkembangan anak pun jadi terganggu. "Setengah anak yang kami wawancarai menunjukkan gejala seperti mual, muntah, sakit kepala, dan pusing-pusing. Gejala tersebut konsisten dengan gejala keracunan nikotin akut yang bisa mereka serap dari kulit ketika berhubungan fisik langsung dengan tembakau," kata pemimpin studi Margaret Wurth.

HRW melakukan survei pada 227 orang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat yang 132 di antaranya adalah anak-anak berusia 8 sampai 17 tahun. Dari situ diketahui kebanyakan anak mulai terlibat membantu keluarga di ladang tembakau sejak usia 12 tahun.

International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa ada 1,5 juta anak Indonesia yang bekerja dibidang agrikultur. Tapi berapa yang terlibat di pertanian tembakau tak ada angka pasti. Belum ada penelitian yang melihat dampak jangka panjang dari paparan nikotin pada anak yang bekerja di ladang tembakau. Namun menurut Margaret anak yang keracunan nikotin bisa jadi akan kewalahan dengan sekolahnya karena kerap izin sakit.

HRW menyarankan agar pemerintah dan perusahaan rokok memberikan perhatian lebih untuk hal ini. Pemerintah bisa dengan memberikan regulasi dan edukasi agar keluarga menjaga anaknya dari tembakau sementara perusahaan rokok benar-benar memastikan bahwa bahan baku tembakau yang dibeli berasal dari ladang yang tak mempekerjakan anak. "Perusahan tembakau saat ini meraup keuntungan dari tenaga dan kesehatan pekerja anak Indonesia," kata Margaret.

Andreas Harsono selaku salah satu peneliti mengatakan dari 132 pekerja anak usia 8 sampai 17 tahun yang disurvei, setengahnya mengaku alami gejala mual, muntah, sakit kepala, dan pusing-pusing ketika bersentuhan dengan daun tembakau. Nikotin diketahui memang bisa meresap masuk lewat kulit. Dampak jangka panjang keracunan nikotin pada anak belum diketahui namun untuk jangka pendek efek negatifnya adalah mereka yang sakit jadi sering izin tak masuk sekolah.

"Dari semua anak-anak yang kami wawancarai ini tidak ada yang pernah mendapatkan informasi atau training bahwa bekerja dengan daun tembakau itu mengandung risiko. Mereka ini biasanya membantu orang tua di ladang sebelum masuk sekolah dan setelah pulang sekolah, namun banyak yang absen terutama saat musim panen," kata Andreas.

Menurut Andreas edukasi tentang bahaya bekerja di ladang tembakau adalah hal yang penting untuk diberikan. Dari survei diketahui keluarga petani sebetulnya mempedulikan kesejahteraan anak hanya saja tak mengerti bagaimana cara melindunginya. "Di dalam penelitian kami menemukan ada kebiasaan tukar menukar tenaga kerja, jadi misalnya hari ini keluarga saya yang panen dibantu tetangga besoknya saya membantu tetangga panen. Tanpa melibatkan anak-anak jadi mereka tetap bisa sekolah. Ini menekankan para petani kita sebetulnya peduli pada masa depan anak-anaknya," lanjut Andreas.

LIBATKAN SWASTA - Terkait upaya pengurangan pekerja anak ini, pihak Kementerian Tenaga Kerja berharap pihak swasta juga ikut bertanggung jawab. Pelaksana Tugas Direktur Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Kemenaker Laurend Sinaga mengatakan, pihak swasta bisa membantu lewat cara menyalurkan dana corporate social responsibility (CSR) untuk bidang pendidikan demi mengurangi pekerja anak.

"Kami berharap bisa ada CSR yang kami dorong supaya bisa membantu anak-anak kita untuk mendapatkan pendidikan," kata Laurend beberapa waktu lalu.

Laurend menegaskan, perusahaan seharusnya menjalankan program-program CSR untuk membantu anak-anak mendapatkan pendidikan, dan bukan mempekerjakannya. Lewat pendidikan, dia menegaskan, anak-anak itu bisa mendapatkan peluang untuk meraih pekerjaan lebih baik di masa mendatang.

Dengan begitu, maka eksploitasi anak bisa dikurangi. Menurut Laurend, program-program CSR pendidikan itu bisa diberikan dalam berbagai macam bentuk, seperti program penyelenggaraan Kejar Paket A, B, dan C atau program bantuan untuk masuk ke perguruan tinggi.

"Pemerintah tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Untuk memutus rantai pasokan adalah tanggung jawab semua orang," katanya.

Dia mengungkapkan selama ini yang menjadi persoalan adalah banyak perusahaan yang diam-diam mempekerjakan anak karena mereka bisa digaji lebih murah. Ada beberapa kelompok sektor pekerjaan yang seringkali memperkerjakan anak yaitu, pertanian, manufaktur, dan pekerjaan domestik.

Sementara itu, Direktur ILO di Indonesia Francesco d’Ovidio mengatakan, tugas menghapus pekerja anak memang bukan merupakan pekerjaan mudah. Hal itu menuntut upaya bersama di segala bidang. Selain itu, program ini juga menuntut kesabaran serta komitmen dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pekerja, pengusaha, dan perusahaan.

"Kendati rantai terakhir dalam rantai pasokan kemungkinan terbebas dari pekerja anak, kita harus melihat rantai-rantai sebelumnya untuk memastikan tidak adanya kekerasan yang tersembuyi di sepanjang proses rantai pasokan," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: