Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme sebagaimana digodok dalam RUU Antiterorisme akan membuat aturan tumpang tindih. Koalisi menilai, pelibatan militer (TNI) dalam mengatasi terorisme sudah diatur dalam UU TNI mengenai tugas secara nyata. TNI menurut koalisi bertugas mengatasi ancaman teroris yang secara nyata mengancam kedaulatan teritorial negara.

"Keinginan presiden untuk melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sebenarnya sudah bisa dilakukan tanpa harus mengatur pelibatan militer dalam revisi UU Antiterorisme karena sudah ada dasar hukumnya di dalam UU TNI, ujar anggota koalisi dari LBH Pers, Asep Komaruddin, Selasa (30/5).

Menurut Asep dengan demikikan pelibatan militer menjadi upaya terakhir yang dapat digunakan presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi aksi terorisme. Koalisi juga meminta kepada presiden dan DPR agar revisi UU Antiterorisme tetap berada dalam kerangka yang ada.

"Mengatasi terorisme hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik negara dengan mempertimbangkan eskalasi ancaman yang berkembang dan merupakan pilihan yang terkahir. Hal inilah justru yang seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah dan juga anggota Pansus," katanya.

Sebelumnya Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menegaskan, bila pelibatan TNI dibutuhkan dalam penanganan terorisme, maka hal tersebut harus dilakukan.

"Kalau sudah mengganggu negara kenapa enggak? Begini ya, sayakan nanti tanggal 2 (Juni) kumpul lagi, setiap saya kumpul pembicaraannya teroris. Teroris itu ancaman dunia, ancaman negara. Seyogyanya tentara dilibatkan," kata Ryamizard saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (30/5).

Ryamizard mengatakan, wacana melibatkan TNI dalam RUU Terorisme tersebut saat ini sedang berproses. Presiden Jokokwi telah memerintahkan Menko Polhukam Wiranto untuk memastikan agar TNI dilibatkan dalam UU tersebut. (dtc/mfb)

BACA JUGA: