JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dan DPR kembali melanjutkan pembahasan RUU Terorisme, Selasa (31/5) lalu di Ruang Rapat Panja RUU Terorisme DPR. Pembahasan masih berkutat pada pembahasan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) terkait masa penangkapan yang diusulkan pemerintah di RUU Terorisme. Dalam RUU Terorisme yang disusun pemerintah, masa penangkapan diubah bertambah dari pengaturan sebelumnya yang 7 hari menjadi 30 hari dalam RUU tersebut.

Dari hasil pemantauan terakhir yang dilakukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), perdebatan dan pembahasan terkait masa penangkapan berjalan cukup alot. Fraksi-fraksi di DPR mempertanyakan dan menganggap waktu 30 hari terlalu lama dan mengusulkan adanya perubahan berupa pengurangan masa penangkapan.

"ICJR dalam posisinya sejak awal sudah meminta DPR dan Pemerintah untuk mempertimbangkan ulang seluruh kondisi dan risiko yang ada akibat penambahan masa penangkapan tersebut," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono kepada gresnews.com, Kamis (2/6).

ICJR, kata Supriyadi, menaruh beberapa catatan penting terkait penangkapan di RUU Terorisme. Pertama, penangkapan bukanlah penahanan, sehingga esensi dan pemahamannya sangat berbeda. Merujuk pada Pasal 1 angka 20 KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa: "pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa".

"Itu artinya masa penangkapan adalah masa dimana tersangka dan terdakwa ´sudah´ berada dalam ´pengekangan´ atau dalam bahasa awam bisa disebut sudah berada bersama penyidik, untuk kemudian berdasarkan bukti permulaan yang cukup selama 1 hari (dalam KUHAP) atau 7 hari (dalam UU Terorisme) dilakukan langkah lain guna kepentingan penyedikan, seperti melanjutkan pada penahanan dan lain sebagainya," terang Supriyadi.

Masa penangkapan tidak dan bukan termasuk "proses" mengejar atau menangkap pelaku. "Proses mengejar dan menangkap adalah dua hal berbeda dengan masa penangkapan yang diatur baik dalam KUHP atau UU Terorisme," tegasnya.

Berdasarkan pemantauan ICJR, terdapat sedikit pergeseran pemahaman dan esensi dari penangkapan dalam pembahasan di DPR, argumen dari Pemerintah terkait sulitnya akses penangkapan pelaku terorisme seakan-akan menyamakan masa penangkapan dengan proses mengejar dan menangkap. "Proses mengejar dan menangkap tidak dibatasi waktu dalam hukum acara, namun setelah tersangka atau terdakwa tertangkap, barulah masa penangkapan dihitung lalu dilanjutkan pada proses berikutnya," ujar dia.

Kedua, ICJR pada dasarnya mempersilakan baik Pemerintah atau DPR untuk mengevaluasi masa penangkapan dalam UU Terorisme. Namun, ICJR meminta agar terhadap rencana penambahan atau pengurangan masa penangkapan tersebut didasarkan pada kajian dan perhitungan yang dapat dibuktikan. Perlu untuk dicatat bahwa masa 7 hari penangkapan yang ada dalam UU Terorisme saat ini juga merupakan penambahan dari masa penangkapan 1 hari dalam KUHAP.

"Ketika UU Terorisme pertama disusun, alasan dari pemerintah juga cenderung sama, yakni dibutuhkan waktu lebih dalam masa penangkapan terorisme karena kasus yang cukup sulit," kata Supriyadi.

Berdasarkan hasil pemantauan ICJR, waktu 7 hari yang ada dalam UU terorisme dirasa sudah cukup, kesimpulan ini dapat dirujuk dari efektifitas penanganan kasus yang dilakukan dalam UU Terorisme. "Dalam catatan ICJR, belum ada tersangka atau terdakwa kasus terorisme yang tidak diputus bersalah, sehingga dalam kaca mata hukum acara, maka proses yang saat ini ada sudah efektif untuk melakukan pembuktian, termasuk masa penangkapan 7 hari yang sudah cukup lama," tambahnya.

Ketiga, penangkapan lama bisa berakibat fatal pada pelanggaran hak asasi manusia. Selama ini, masa penangkapan 7 hari berpotensi menimbulkan praktik penyiksaan dalam proses peradilan kasus terorisme. "Hal ini karena masa penangkapan yang melebihi waktu normal tersebut berpotensi adanya penahanan incommunicado atau penahanan/penempatan seseorang tanpa akses terhadap dunia luar. Kondisi tidak adanya akses ini membuka peluang besar adanya penyiksaan," ujar Supriyadi.

ICJR menilai bahwa praktik penyiksaan justru akan merusak profesionalisme dan integritas aparat penegak hukum karena pencarian alat bukti atau pengungkapan kasus akan ditempuh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan prinsip hukum pidana dan hak asasi manusia. Atas dasar itu, kata Supriyadi, ICJR meminta agar DPR dan Pemerintah kembali melihat esensi dari penangkapan, sehingga tidak menyamakan penangkapan dengan masa pengejaran atau proses untuk menangkap tersangka dan terdakwa.

"Dengan pemahaman ini, maka nantinya perdebatan terkait penangkapan akan lebih mudah dilakukan dengan dasar yang sudah kuat," ujarnya.

Lebih dari itu, ICJR meminta agar Pemerintah dan DPR berhati-hati dalam menentukan masa penahanan. "Keputusan untuk menambah masa penahanan dalam RUU Terorisme harus dapat dibuktikan dan diuji, penambahan yang tidak memiliki dasar justru akan menambah persoalan lain nantinya," pungkas Supriyadi.

BERUBAH PIKIRAN - Sebelumnya, dalam draf RUU Antiterorisme, pemerintah mengusulkan masa penangkapan terduga teroris selama 30 hari. Pemerintah kemudian mengubah sikap.

"Kami memandang penangkapan tidak 30 hari, berubah menjadi 14 hari, ujar Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkum HAM, Enny Nurbaningsih saat rapat di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (31/5).

Eni lalu menjelaskan soal perubahan Pasal 28 dalam RUU Antiterorisme ini. Ada beberapa perubahan lagi serta alasan di baliknya. "Kemudian Ayat (2). Dalam hal waktu penangkapan, sebagaimana dimaksud Ayat (1) tak cukup, penyidik dapat mengajukan ke Kejagung paling lama 14 hari. Kenapa? Karena tindak pidana terorisme terorganisasi sehingga harus dicari sel aktifnya," sambung Eni.

Usulan pemerintah ini mendapat kemudian ditanggapi Panja DPR. Mereka mempunyai usulan berbeda. "Menurut saya 7 hari itu, menurut NasDem, waktu cukup. Tujuh hari diperpanjang 7 hari atas izin dari jaksa," kata politikus NasDem, Akbar Faizal.

Beberapa fraksi punya pandangan sama dengan NasDem. Seperti PPP, Gerindra, PAN. PKS kukuh masa penangkapan terduga teroris hanya selama 7 hari tanpa penambahan. PDIP setuju dengan pemerintah.

Politisi PKB Muhammad Toha kemudian meminta perwakilan Densus 88 menjelaskan alasan penangkapan 14 hari ditambah 14 hari masa penahanan. Densus 88 pun menjawab. "Selama ini, dari tahun 2000 sampai sekarang, 7 hari itu kurang cukup. Pertama, strategi penyidikan, saksinya cuma mereka. Saksi jadi tersangka, tersangka jadi saksi," sebut Wakil Kepala Densus 88, Brigjen Eddy Hartono.

"Ketika proses, kita mendapatkan sumber informasi dari tersangka ditangkap. Belum faktor geografis. Misal di Kalimantan, tak mungkin membawa pakai pesawat karena ada maskapai yang menolak membawa tersangka. Itu kendala, kecuali polisi punya pesawat banyak," sambungnya.

Eddy lalu menjelaskan alasan lain. Salah satunya masih minimnya alat penyidikan Densus 88. "Belum lagi mengecek identitas. Tersangka ini pakai inisial. Kita nyari dulu ke kelurahan, belum lagi e-KTP bermasalah. Cari nama si A cocok nggak, ini manual kita kerja. Pakek alias semua, ini butuh waktu," jelas dia. (dtc)

 

BACA JUGA: