JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme masih terus mengundang kontroversi. Ada yang setuju, ada juga yang tidak dengan berbagai alasan. Di dalam fraksi di DPR pun, tak semua fraksi bersuara seragam soal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme yang kini konsepnya tengah digodok dalam pembahasan revisi UU Terorisme.

Fraksi PDIP misalnya, setuju dengan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Namun pelibatan itu hanya sebatas perbantuan atau Bawah Kendali Operasi (BKO). "Kalau mengenai pelibatan TNI, pada prinsipnya kita mengacu pada ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Ada UU TNI yang mengatur soal operasi di luar militer," ucap anggota Panja RUU Antiterorisme F-PDIP, Risa Mariska di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (31/5).

Menurut Risa, TNI memang sudah sedari dulu dilibatkan dalam penanganan terorisme, namun hanya BKO atau perbantuan. F-PDIP ingin wewenang TNI tetap seperti itu. "Ya (BKO). Sesuai UU, tak keluar konteks itu," sebut Risa.

F-PDIP, kata Risa, berpandangan penegakan hukum yang ada selama ini akan tumpang tindih, jika TNI dilibatkan secara penuh dalam pemberantasan terorisme. "Memang (presiden) sudah menyatakan secara tegas tapi belum menentukan sejauh mana pelibatan TNI. Apakah sebatas perbantuan atau di wilayah tertentu yang mengancam negara," papar Risa.

"Kalau TNI dilibatkan secara langsung bukan perbantuan, itu akan mengubah sistem penegakan hukum. Penegakan hukum selama ini dipegang kepolisian. Kalau TNI dilibatkan secara aktif, mau penegakan hukum yang mana? TNI nggak bisa kayak Polri, akan tumpang tindih," imbuhnya.

Terkait isu lain yang menjadi kontroversi seperti ´Pasal Guantanamo´, PDIP juga punya pandangan berbeda. Ketua Panja RUU Antiterorisme, Muhammad Syafii menyebut pemerintah dan DPR sepakat pasal yang mengatur kewenangan penyidik untuk menahan seseorang terduga teroris selama 6 bulan itu dihapus.

"Kita minta itu diberi penjelasan lebih dalam lagi. Fraksi kami memahami pasal itu bukan ´Pasal Guantanamo´ tapi terduga teroris divonis, terduga dibawa ke suatu tempat selama enam bulan ini proses deradikalisasi. Bukan diasingkan tapi nanti kita dengar lah pemerintah gimana," pungkas Risa.

Berbeda dengan sikap Fraksi PDIP, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan justru setuju dengan pelibatan TNI secara penuh dalam pemberantasan Terorisme. Dia mengatakan, DPR sebenarnya tinggal mengamini permintaan presiden dan mengaplikasikannya RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kini tengah dikejar pembahasannya.

"Secara pribadi saya mendukung untuk sistem pengendalian teroris itu dilakukan secara integritas dan bersama-sama karena jangan sampai ini menjadi sesuatu keraguan antara TNI dan Polri menyikapi kejadian seperti yang kemarin," ungkap Taufik.

Pelibatan TNI dalam pemberantasan masalah terorisme memang menuai pro dan kontra. Selama ini TNI hanya menjadi bantuan kendali operasi (BKO) dalam menanggulangi terorisme. Namun maraknya aksi teror di Indonesia, membuat keterlibatan TNI dirasa perlu.

"Sepanjang definisinya jelas, dalam hal tertentu sekarang ini BKO TNI karena birokrasi yang terlalu lama ini perlu payung hukum menjadi supporting unit untuk pemberantasan dan pencegahan," sebut Taufik.

"Apalagi sudah ada statemen dari Kapolri (Jenderal Tito Karnavian, red) mendukung juga. Artinya ya sudah kalau Kapolri mendukung apalagi yang lain," imbuh politikus PAN itu.

Dengan sudah adanya kesepahaman antara Kapolri, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan presiden, kata Taufik, tak ada kata lain dari DPR selain untuk mendukung. Peran dewan pada hal ini dengan membuat aturan atau payung hukum yang jelas.

"DPR membuat membuat teori aturannya, payung hukumnya, sedangkan kawan-kawan TNI/Polri pelaksana di lapangan. Jika ini sudah menjadi komitmen bersama antara TNI, Polri, bahkan presiden sudah menginstruksikan, ya bahasanya DPR tinggal mengamini saja," tegasnya.

Meski ada banyak pro dan kontra terkait pelibatan TNI dalam masalah terorisme, Taufik mengingatkan bahwa semua harus berpulang terhadap kepentingan rakyat. DPR pun dinilai cukup lambat dalam menyelesaikan revisi uu ini, bahkan terakhir pansus masih berkutat dengan masalah mengenai definisi dari ´terorisme´ itu sendiri.

"Jangan juga terlalu lama karena ini sesuatu hal yang barangkali debatable-nya terorisme, pencegahan, penindakan, aksi pemberantasan harus menjadi defenisi jelas," kata Taufik.

KORIDOR HUKUM DAN HAM - Soal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan, hal ini dapat dilakukan. Karena pelibatan TNI terkait dengan tugas pokok selain perang yang diemban institusi tersebut.

Namun, pelibatan tersebut harus dalam koridor demokrasi serta penghormatan hukum dan HAM. Pelibatan TNI pun harus sesuai dengan pasal 7 UU TNI yaitu berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

"Komnas HAM berpendapat bahwa keterlibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme hanya dilakukan sebagai langkah terakhir sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 7 Ayat (2) UU TNI nomor 34/2004 yaitu pelaksanaan tugas pokok operasi militer selain perang. Di mana pelaksanaannya harus sesuai ketentuan Pasal 7 Ayat (3) UU TNI yaitu berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara," ujarnya.

"Penindakan tindak pidana terorisme tetap harus menggunakan pendekatan penegakan hukum dan dilaksanakan oleh Polri dengan menjamin terlindunginya HAM dari korban, keluarga korban atau tersangka atau terdakwa atau narapidana dan keluarganya," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie. Dia mengatakan, pemberantasan terorisme harus tetap dalam koridor hukum. "Intinya kita ingin menegaskan bangsa kita harus melawan terorisme. Harus dibumihanguskan. Tetapi kemarahan kita akan sesuatu itu harus ada dalam koridor aturan-aturan konstitusional," ujar pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (31/5).

Terkait pelibatan TNI, menurutnya, kerja TNI telah diatur dalam UU TNI sendiri. Berdasarkan pasal 30 Undang-undang Dasar disebutkan TNI tidak terlibat, melibatkan diri, dilibatkan diri di dalam urusan urusan non pertahanan dan keamanan dalam arti yang luas, kecuali dalam kondisi tertentu.

Keadaan tertentu tersebut, kata Jimly, berarti keadaan darurat dimana kekuatan militer bisa menjalankan fungsi sipil. Sebagai contoh, pelaksanaan pengadilan militer bisa mengambil peran pengadilan sipil di daerah-daerah perang.

"Jadi pengadilan militer, dia bisa menceraikan orang, dia bertindak sebagai pengadilan agama, dia bisa gugatan perdata, mengambil peran pengadilan negeri, dan dia juga pengadillan tata usaha negara," terangnya.

Oleh karenanya, pelibatan militer memiliki aturan dan dalam kondisi-kondisi tertentu. Terkait soal penanggulangan terorisme dan RUU Antitorisme, Jimly mengatakan pelibatan TNI bisa dilakukan asal tidak melampui ketentuan yang sudah diatur.

"Sedangkan di UU terorisme ini bisa dikategorikan dalam perang. Itu biar diperdebatkan di DPR. Saya sendiri belum pernah bicara mengenai soal peran TNI dalam menangani terorisme," ujarnya.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 2005, terorisme dianggap sebagai kejahatan luar biasa namun belum masuk dalam kategori extraordinary crime seperti genosida. (dtc)

BACA JUGA: