JAKARTA, GRESNEWS.COM - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menaksir potensi kerugian negara dari penjualan kondensat seluruhnya mecapai Rp8,5 triliun lebih. Kerugian itu berasal dari penjualan kondensat PT Pertamina Rp6 triliun, SKK Migas Rp2 triliun dan PLN Rp699 miliar.

"Untuk semuanya, potensi kerugiannya sekitar itu (Rp8,5 triliun)," kata anggota BPK Achsanul Qosasih kepada Gresnews.com, Rabu (13/5).

Sementara untuk kasus penjualan kondensat yang saat ini ditangani Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, BPK sendiri belum melakukan penghitungan kerugian negara. Hingga kini BPK menunggu konstruksi hukum kasus dugaan korupsi penjualan Kondensat milik negara oleh BP Migas (kini SKK Migas) kepada PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI).

BPK mengaku masih belum penerima permintaan resmi dari Bareskrim untuk melakukan penghitungan kerugian negaranya. "Belum ada surat dari Polri," kata Ketua BPK Hary Azhar Azis.

Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI ini mengatakan, angka Rp2 triliun seperti disampaikan Bareskrim Polri baru potensi. BPK sendiri belum melakukan audit investigasi unsur kerugian negara. "Itu baru potensi, kita tunggu surat dari Polri," kata Hary.

Dalam kasus korupsi ini, penyidik sudah menetapkan tiga tersangka berinisial DH (Djoko Harsono), HW (Honggo Windratmo), dan RP (Raden Prijono). Namun ketiganya belum dijadwalkan pemeriksaan sebagai tersangka, karena polisi akan memeriksa sejumlah saksi terlebih dahulu.

Bareskrim menduga korupsi kondensat dan pencucian uang tersebut senilai US156 juta atau sekitar Rp2 triliun. Kasus terjadi ketika ada penjualan kondensat bagian negara oleh SKK Migas kepada PT TPPI pada kurun waktu 2009 hingga 2010 dengan penunjukan langsung.

Hasil audit BPK menyebutkan bahwa Djoko Harsono saat itu menjabat Deputi Finansial Ekonomi Pemasaran BP Migas merupakan pejabat yang menandatangi kerjasama dengan PT TPPI. Ketika itu, PT TPPI ditunjuk langsung oleh BP Migas era kepemimpinan Raden Priyono. Djoko Harsono menetapkan pertama kali PT TPPI sebagai penjual kondensat, melalui surat kepada Direktur Utama PT TPPI nomor 011/BP00000/2009/S2 tertanggal 12 Januari 2009 tentang penunjukan PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara.

Sejumlah dugaan pelanggaran pun disinyalir terjadi dalam kerjasama itu. Diantaranya, tidak terdapat keputusan atau dokumen formal yang menyatakan surat penunjukan PT TPPI. Selain itu surat penunjukan sebagai penjual kondensat dari Deputi Finansial Ekonomi Pemasaran BP Migas telah dicabut  dan dinyatakan tidak berlaku sejak diterbitkan surat BP Migas nomor 0267/BP00000/2009/S2 tanggal 18 Maret 2009 kepada PT TPPI. Namun kenyataan meski keputusan itu dicabut TPPI masih melakukan penjualan kondensat.

Sesuai dengan pedoman tata kerja BP Migas, penetapan penjualan kondensat melalui mekanisme penunjukan langsung dilakukan hanya oleh Kepala BP Migas. Proses yang ada diduga melanggar Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-20/BP00000/2003-SO, tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjualan Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara, dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BPO0000/2003-SO tentang pembentukan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bigjen Viktor Simanjuntak menyatakan telah memeriksa pejabat SKK Migas, PT TPPI dan Kementerian Keuangan. Fokus pemeriksaan terhadap saksi masih seputar jabatan dan wewenang para saksi dan meminta keterangan terkait mekanisme penjualan Kondensat. Bahkan Viktor akan memeriksa mantan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro.

"Ini kan baru pemeriksaan pertama jadi baru mengorek soal apa jabatan dia, wewenangnya apa, dan bagaimana penunjukan pembuatan dokumen dalam penjualan kondensat, dan lain-lain," jelas Viktor.

Dia mengatakan jumlah tersangka dalam kasus tersebut belum bertambah. Namun, menurutnya tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru. "Tiga, belum bertambah. Nah, makanya kita harus cari kemungkinan-kemungkinan itu. Kan itu dari keterangan saksi-saksi itu kita baru liat apakah ada tersangka lainnya atau tidak. Yang jelas, kami tidak mau diam di tiga tersangka itu saja. Kita harus kembangkan agar kasus ini terungkap," demikian Victor.

BACA JUGA: