JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lama tak terdengar kabarnya, Dewan Perwakilan Rakyat ternyata masih tetap terus berupaya untuk menyoal eksistensi lembaga Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Komisi VII DPR kembali memunculkan wacana revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika mengatakan, saat ini DPR terus melakukan pembahasan revisi UU Migas dengan Pemerintah. Salah satu klausul yang ramai diperbincangkan adalah soal status kelembagaan SKK Migas.

Kardaya mengatakan, dari sisi DPR, Komisi VII punya pandangan jelas bahwa SKK Migas merupakan lembaga sementara untuk menggantikan peran BP Migas yang telah dibubarkan. Karena itu, DPR berniat untuk membubarkan lembaga ini.

"SKK Migas, ada sebagai pengganti BP Migas, tetapi hanya sementara saja, hanya enam bulan, tapi kita lihat sudah berapa tahun , buat investor jadi bingung," kata Kardaya dalam sebuah acara di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (17/11).

Kardaya mengungkapkan, status SKK Migas masih menimbulkan pro-kontra dan permasalahan hukum, sebab status kelembagaan sementara dan belum ada amandemen undang-undang untuk menetapkan statusnya jika ingin ditetapkan.

"Kalau dibubarkannya BP Migas, karena semua terkait BP Migas dicabut, bagaimana kedudukan hukum BP Migas digantikan SKK Migas? Untuk sekarang kontra belum di amademen itu yang menimbulkan masalah hukum," ujarnya.

Menurutnya, apabila SKK Migas dipermanenkan harus ada ketentuan hukum. "Kalau SKK Migas hanya sementara, tetapi kalau permanen harus ada ketentuan hukum ," kata Kardaya.

Karena itulah, DPR bersama Pemerintah terus menggodok revisi UU Migas yang salah satunya akan membahas status SKK Migas ini. Selain membahas soal status SKk Migas, tetapi UU Migas mengatur harga Bahan Bakar Minyak (BBM), perpanjangan kontrak migas dan status BPH Migas.

Dalam rancangan beleid itu, kata Kardaya, ada enam poin penting yang dibahas. Pertama, soal rencana Pemerintah menyerahkan kuasa pertambangan kepada perusahaan migas
nasional seperti PT Pertamina (Persero) .

Kedua, Pemerintah akan meniadakan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi ( BPH Migas ) dan mengembalikan tugas dan fungsinya ke Dirjen Minyak dan Gas Bumi. Ketiga, Pemerintah meniadakan SKK Migas dan meleburkannya ke dalam Pertamina.

Keempat, memberlakukan kembali konsep lex specialis di industri migas. Kelima, mempercayakan kewenangan agregasi gas bumi kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saham sepenuhnya dimiliki pemerintah.

Terakhir, memberikan hak kepada perusahaan negara untuk memonetisasi kekayaan alam atau migas yang ada di dalam perut bumi Indonesia dengan pencatatan yang transparan.

Khusus meyangkut eksistensi SKK Migas, Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi pernah mengatakan, SKK Migas tak perlu digabung dengan Pertamina. Menurutnya yang dibutuhkan SKK Migas saat ini hanya waktu untuk berbenah.

"Paling tidak lima tahun sampai 10 tahun. Itu solusi terbaik. Setelah 10 tahun bisa dipikirkan lagi," kata Amin beberapa waktu lalu.

Amin menyebut masalah pengelolaan migas di Indonesia sangatlah komplek, baik itu di sektor hulu maupun hilir. Masing-masing punya kerumitan dalam mengusi lembaga masing-masing. "Saya akui SKK Migas banyak boroknya. Saya perlu waktu, agar SKK Migas lebih cepat dan efisien. Tapi, saya lihat Kementerian ESDM juga pada posisi yang sama, Pertamina sama. Kompleks dan harus dibenahi," katanya.

Diungkapkan Amin selama ini SKK Migas bertugas mengendalikan dan mengawasi 139 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Belum lagi ada puluhan ribu kerjasama antara KKKS dengan vendor penyedia jasa di bidang pertambangan migas yang harus diawasi. "Apakah itu kerjasamanya benar atau tidak. Karena cost recovery dihitung KKKS dari jumlah yang mereka bayar ke vendor dan subvendor," katanya.

Oleh karena itu menurut Amin, jika SKK Migas dan Pertamina akan digabungkan, maka kedua lembaga tersebut harus dibenahi terlebih dahulu. Karena tidak mudah memerger keduanya. "SKK Migas dan Pertamina punya keruwetan sendiri-sendiri. Jika digabungkan malah jadi ruwet lagi. Lebih baik SKK Migas dibenahi, pertamina dibenahi," katanya.

Amin memang perlu menyampaikan argumentasi yang kuat, menyusul kuatnya dorongan menggusur posisi SKK Migas dari posisi tugas mengelola minyak dan gas. Desakan itu menyusul pembahasan revisi UU Minyak dan Gas No 22 Tahun 2001 yang tengah digarap.

Apalagi Mahkamah Konstitusi telah membatalkan sejumlah pasal dalam UU tersebut. Diantaranya Pasal 28 Ayat (2) dan (3), serta merevisi dua pasal lainnya dari UU tersebut yang terkait dengan kedudukan Badan Pelaksana (BP) Migas.

Pasal 28 Ayat (2)berbunyi: "Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar".

Sedangkan Ayat (3)-nya berbunyi: "Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu."

Dari adanya beberapa perubahan ini, DPR memang memandang perlu untuk melakukan revisi UU Migas. Namun terkait SKK Migas, arah DPR memang sepertinya bakal menggusur SKK Migas.

TOLAK JADI BUMN KHUSUS - Sebenarnya, Pemerintah sendiri sempat mengajukan opsi untuk menjadikan SKK Migas sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus untuk mempertahankan eksistensinya. Dalam draf revisi UU Migas, SKK Migas akan diubah menjadi BUMN Khusus dengan sistem kerja seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"SKK Migas jadi BUMN yang diatur UU Migas. Kebayang saja kayak LPS atau OJK. Itu kan lembaga khusus, nah kurang lebih seperti itu," ujar Menteri ESDM Sudirman Said beberapa waktu lalu.

Namun opsi itu ditentang Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi yang ikut terlibat merevisi UU Migas. Kurtubi mengatakan, seharusnya SKK Migas dileburkan ke dalam Pertamina. Dia menilai, langkah pemerintah untuk mengubah sistem SKK Migas menjadi perusahaan pelat merah akan menciptakan sistem yang lebih ribet.

"Kami menolak keras dikonversinya SKK Migas jadi BUMN khusus. Sebabini akan menciptakan sistem yang ribet," ujarnya beberapa waktu lalu.

Menurut Kurtubi untuk urusan migas, Indonesia cukup memiliki satu perusahaan pelat merah yaitu Pertamina. Jika pemerintah membentuk BUMN baru, dikhawatirkan akan menciptakan benturan kepentingan dengan Pertamina.

"Kalau dibentuk mana lapangan minyaknya, pom bensinnya, tankernya, kilangnya. Jangan-jangan BUMN ini hanya punya aset dan meja. Aneh di dunia itu enggak ada seperti ini konsepnya," kata dia.

Kurtubi tak mau Indonesia dijadikan bahan eksperimen lagi setelah BP Migas dan SKK Migas gagal.

Sementara itu, menurut Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra Harry Purnomo, Indonesia memang masih terus mencari bentuk ideal pengelolaan migas. Bongkar pasang sistem pengelolaan migas, kata dia, sebenarnya sudah berulang kali dilakukan.

Di masa Orde Lama misalnya, Indonesia punya dua BUMN yang bergerak di bidang migas, yaitu Pertamin dan Permina. "Konsep ini juga bisa dipertimbangkan. Pengolaan hulu dan hilir ini bisa dipisahkan," katanya.

Di masa rezim Orde Baru, kedua BUMN itu kemudian disatukan. Saat itu Pertamina juga membawahi Badan Pengawasan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA) yang berperan sebagai regulator pengelola migas.

Di zaman Orde Baru, Pertamina mempunyai peran ganda sebagai regulator dan pelaku bisnis. Pertamina dengan tidak banyak berpikir saat akan membangun infrastruktur di bidang migas.

Misalnya jaringan pipa gas di Cilamaya dan pembangunan kilang-kilang minyak. "Ada masa lalu yang terbukti lebih baik. Yang dipikirkan adalah soal ketahanan energi. (Kalau) sekarang, bangun kilang yang dipikirkan internal rate of return (IRR) nya, sampai mati nggak akan ketemu," kata Harry.

Di era reformasi kinerja Pertamina menurun setelah UU Migas Nomor 22 tahun 2001 diberlakukan. "Di era reformasi Pertamina jadi impoten," kata Harry.

BANYAK SOROTAN - Terlepas dari upaya Pemerintah mencari bentuk pengelolaan migas yang ideal, keberadaan SKK Migas sendiri memang cenderung banyak mengundang kontroversi. Kasus suap yang melibatkan petinggi SKK Migas dengan menteri ESDM Jero Wacik serta beberapa anggota Komisi VII DPR--diantaranya sang ketua Sutan Bhatoegana-- menjadi salah satu contohnya.

Belum lagi kasus itu berlalu, kini SKK Migas kembali disorot soal sewa gedung SKK Migas di Wisma Mulia, Gatot Subroto, Jakarta yang menghabiskan dana ratusan miliar dalam setahun. Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VII dengan SKK Migas dan Pertamina Oktober lalu.

Masalah sewa gedung dipersoalkan lantaran SKK Migas menghabiskan dana sampai Rp600 miliar untuk memperpanjang sewa beberapa lantai di Wisma Mulia. "Masa untuk sewa setahun tahun lalu Rp120 miliar, bapak habiskan Rp240 miliar buat 2 tahun doang. Uang segitu sudah bisa bangun gedung baru Wisma Mulia II. Saya nggak tahu cara pikir SKK Migas. Sampai 5 tahun, Rp600 miliar Pak dihabiskan buat sewa gedung saja," kata anggota Komisi VII DPR Fraksi Hanura Inas Nasrullah Zubir ketika itu.

Ia mengakui menjadi salah satu pihak yang menyetujui anggaran SKK Migas tahun lalu, termasuk di dalamnya sewa gedung yang menghabiskan dana ratusan miliar tersebut. "Kemarin saya kecolongan, karena anggaran digabungin sama operasional sewa gedung. Tahun depan saya waspada, kita penggal (anggaran) sepertiganya," ucap Inas.

Sewa gedung ratusan miliar di Wisma Mulia ini menjadi ironis lantaran di Pekanbaru, kantor SKK Migas tutup tiga bulan lantaran menunggak tagihan listrik. "Malu saya urusin miliaran dolar tapi manajemen nggak efisien. Coba bapak tutup saja kantor perwakilan SKK Migas di daerah, kerjanya apa? Cuma terima surat saja kerjanya di daerah," kata anggota Komisi VII Fraksi PPP Hari Purnomo.

Terkait masalah ini, Amien Sunaryadi mengatakan, pihaknya sudah berdiskusi dengan Kementerian Keuangan, kendalanya belum ada tanah yang bisa disediakan untuk SKK Migas. "Sebenarnya ada tanah di SCBD, makanya saya diskusi dengan sekjen Kemenkeu, tapi ternyata itu tanah buat OJK (Otoritas Jasa Keuangan. Tapi sama OJK belum dibangun-bangun," kata Amien.

Ia mengakui, sebelumnya sudah melakukan survei ke berbagai tempat untuk melihat sejumlah gedung yang bisa disewa SKK Migas. "Kami minimal harus ada 24.000 meter persegi luasnya. Kalau kantor sekarag 34.000 meter persegi. Kami pernah nemu gedung tapi hanya 2 lantai jadi nggak cocok. Sebelum kita putuskan sewa kami cari pembanding dari 12 gedung. Akhirnya dengan simulasi dari sis harga itu lebih baik perpanjang yang lama," ungkapnya.

Belakangan SKK Migas berhenti menyewa ruangan mewah yang luasnya setengah lapangan bola yang dihebohkan itu. Alasannya, untuk penghematan anggaran biaya operasional.

"Sehubungan dengan upaya penghematan anggaran biaya operasional SKK Migas Tahun Anggaran 2016, khususnya terkait dengan biaya sewa gedung kantor pusat SKK Migas, dengan ini disampaikan rencana kegiatan penataan ruang kantor, dalam rangka efisiensi pengelolaan kantor pusat SKK Migas," kata Amien Sunaryadi.

TETAP EKSIS - Meski banyak kontroversi dan tengah berada dalam "ancaman" untuk dibubarkan, toh SKK Migas sepertinya tetap ingin bisa eksis di bisnis hulu minyak. Nyatanya, SKK Migas tetap meneruskan program peningkatan kompetensi pekerja di industri hulu migas.

Salah satunya, dengan menginisiasi pembentukan lembaga sertifikasi profesi kegiatan usaha hulu migas (LSP Hulu Migas). Hasilnya, Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) telah menetapkan lisensi kepada LSP Hulu Migas.

Sertifikasi lisensi diserahkan Ketua BNSP Sumarna F. Abdurrahmankepada Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi dan Ketua LSP Hulu Migas, Muliana Sukardi di kantor SKK Migas, Jakarta, Jumat lalu. "Peningkatan kompetensi membuat tenaga profesional Indonesia agar dapat bersaing dengan tenaga profesional asing," kata Amien Sunaryadi, Minggu (15/11).

Menurutnya, tantangan tenaga kerja Indonesia akan semakin berat dengan berlakunya masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015. Ada sekitar 560 juta tenaga kerja di kawasan ASEAN yang akan bersaing, termasuk pekerja industri migas yang membutuhkan tenaga kerja dengan kompetensi tinggi.

Dengan kondisi ini, diperlukan percepatan dalam menciptakan tenaga terampil yang kompeten dan bersertifikasi di sektor hulu migas. Ke depan, LSP Hulu Migas akan melakukan uji kompetensi bagi pekerja di berbagai bidang disiplin ilmu yang ada di sektor hulu migas.

"LSP Hulu Migas harus mampu menjawab kepercayaan yang diberikan dalam mengembangkan dan memelihara kualitas kompetensi tenaga kerja pada sektor ini," kata Amien.

Dia menegaskan, khususnya untuk kontraktor KKS, sertifikasi kompetensi ini bukan lagi sebagai pilihan, tapi kewajiban. Mengingat lokasi operasi hulu migas berada di seluruh Indonesia, maka tempat uji kompetensi akan disebar di semua Perwakilan SKK Migas.

Tujuannya, agar lebih banyak lagi pekerja di daerah untuk memperoleh kesempatan mengikuti uji kompetensi.

Melihat sekitar 80% kegiatan eksploitasi dan eksplorasi kontraktor KKS dilakukan di lepas pantai (offshore), BNSP mendorong LSP Hulu Migas untuk melakukan percepatan sertifikasi pada SDM hulu migas yang bekerja di lepas pantai.

Dalam rangka itu, BNSP telah menjalin kerjasama OPITO sebagai lembaga sertifikasi untuk kegiatan hulu migas di lepas pantai. OPITO merupakan lembaga yang sertifikat untuk kegiatan offshore telah diakui lebih dari 135 negara di dunia.

Kerja sama yang dibangun dengan OPITO tidak saja terkait dengan adopsi standar dan sistem sertifikasinya, tetapi terkait dengan kegiatan pembangunan kapasitas (capacity building).

"Kami berkeyakinan pelaksanaan sertifikasi kompetensi SDM Hulu Migas dapat terwujud, yang akan memberi dampak positif terhadap peningkatan kapasitas nasional," katanya.

LSP menargetkan 1.000 tenaga kerja profesional di sektor hulu migas yang akan disertifikasi pada tahun 2016 mendatang. Saat ini skema sertifikasi yang dimiliki oleh LSP-Hulu Migas mencakup bidang pengelolaan rantai suplai, pengadaan, serta aset dan kepabeanan.

Diharapkan dalam perjalanannya, LSP Hulu Migas mampu mengembangkan skema sertifikasi pada bidang yang lainnya di sektor hulu migas. Berdasarkan data SKK Migas, pada 2014, tercatat 32.292 tenaga kerja Indonesia bekerja di kontraktor kontrak kerja sama (kontraktor KKS). Hanya sekitar 1.165 pekerja yang merupakan tenaga kerja asing. (Agus Irawan/Gresnews.com/dtc)

BACA JUGA: