JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi, Jakarta menghukum Muhtar Ependy dengan pidana penjara 5 tahun dan denda Rp200 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan. Muhtar dianggap bersalah mempengaruhi saksi dalam proses penyelidikan dan penyidikan perkara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sesuai dengan dakwaan pertama.

Tak hanya itu, Majelis Hakim juga menganggap ia bersalah karena memberikan kesaksian palsu saat memberi keterangan sebagai saksi dalam kasus Akil Mochtar baik di persidangan maupun pada saat proses penyidikan. Untuk itu, dakwaan kedua Jaksa Penuntut Umum juga telah terbukti.

"Mengadili, menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut sebagaimana dakwaan pertama Pasal 21 juncto Pasal 64 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terdakwa juga terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan kedua Pasal 22 Juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Ketua Majelis Hakim Supriyono, Kamis (5/3).

Dalam memberikan putusan, Hakim Ketua Supriyono juga mempunyai berbagai pertimbangan. Untuk yang memberatkan, Muhtar dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menghalangi proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pemilik PT Promix ini juga dianggap menciderai kehormatan lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi. Dan unsur memberatkan yang ketiga, Muhtar juga tidak mengakui segala perbuatannya saat menjadi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

"Hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum, sopan dalam persidangan dan mempunyai tanggungan keluarga," ujar Hakim Ketua Supriyono.

Dalam analisa yuridisnya Majelis Hakim juga mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang tertuang dalam persidangan. Muhtar dianggap mempengaruhi saksi-saksi seperti Walikota Palembang Romi Herton dan istrinya Masyito, supirnya Srino, dan pejabat Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat (BPD Kalbar) Iwan Sutaryadi dan juga para stafnya Rika Fatmawati serta Risna Hasrilianti.

Muhtar meminta Masyito dan Romi untuk memberikan keterangan tidak mengenal dirinya. Dan khusus untuk Masyito juga diminta Muhtar untuk tidak mengakui pernah datang ke BPD Kalbar untuk menyetor uang sebesar Rp15 miliar. Sebabnya, uang tersebut merupakan suap yang ditujukan kepada Akil untuk membatalkan keputusan KPUD Palembang mengenai Pilkada Kota Palembang.

"Terdakwa menyuruh istrinya Lia agar menelepon Masyitoh dan menyampaikan dirinya tetap konsisten (tidak mengenal Muhtar) dalam  keterangannya sesuai dengan BAP dan Lia juga meminta hal itu disampaikan ke Romi Herton," tutur Hakim Supriyono.

Kemudian, Muhtar juga memanggil Srino ke rumahnya di kawasan Bendungan Jago, Jakarta untuk diarahkan kesaksiannya dalam proses penyidikan di KPK. Salah satu yang diminta Muhtar yaitu Srino agar mengatakan dirinya pernah mengantarkan Muhtar ke kediaman Akil di kawasan Liga Mas, Pancoran untuk mengantarkan baju batik.

Padahal, sebenarnya Muhtar kala itu mengantarkan uang pecahan dollar yang jika dikonversi jumlahnya mencapai Rp3 miliar. Dan Srino pun mengatakan sesuai apa yang diperintah Muhtar dalam proses penyidikan. Namun saat di persidangan, Srino akhirnya mengakui kala itu kedatangan Muhtar adalah untuk mengantarkan uang.

Kemudian pejabat BPD Kalbar Iwan Sutaryadi dan juga para stafnya tidak luput dari pengaruh Muhtar agar memberikan keterangan tidak benar. Iwan bersama dengan Rika dan Risna diminta untuk mengaku lupa siapa yang datang kala itu ke kantornya. Dan dipersidangan, Rika dan Risna akhirnya mengakui bahwa yang datang kala itu mirip dengan Masyito dan Liza Sako yang menyetor uang Rp15 miliar.

Selanjutnya untuk dakwaan kedua mengenai kesaksian palsu, Hakim Anggota Alexander Marwata memparkan fakta-fakta persidangan. Ketika menjadi saksi dalam perkara Akil, Muhtar mengaku hanya sekali bertemu dengan mantan Ketua MK itu. Padahal, dari bukti-bukti yang ada, Muhtar bertemu Akil sebanyak empat kali.

"Dari keterangan para saksi serta alat bukti surat berupa foto dan buku tamu faktanya terdakwa bertemu lebih dari satu kali. Yang pertama bertemu di Kantor MK dua kali, Rumah Dinas Akil di Widya Chandra satu kali, dan rumah pribadi Akil di Liga Mas Pancoran satu kali. Maka keterangan bertemu satu kali tidak benar," ucap Hakim Alexander.

Kemudian terdakwa juga menyatakan tidak pernah mengenal dan bertemu dengan Romi Herton serta Masyito. Padahal, Muhtar sudah beberapa kali bertemu seperti di Hotel Grand Melia Kuningan, serta di Palembang dalam rangka menghadiri pelantikan Romi Herton.

Lantas, keterangan Muhtar yang menyetor uang sebanyak Rp3 miliar ke rekening CV Ratu Samagat untuk bisnis arwana hanyalah alasan Muhtar semata. Padahal, uang itu adalah untuk pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, dan Muhtar dalam slip setoran juga menulis untuk biaya alat berat.

Mendengar surat keputusan ini, Muhtar pun mengaku mengerti dan akan menggunakan haknya untuk pikir-pikir selama tujuh hari. "Makasih Hakim yang mulia berdasarkan konsultasi dengan penasihat hukum kami nyatakan pikir-pikir, Insya Allah kami akan cari jalan terbaik," kata Muhtar.

BACA JUGA: