JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat terobosan baru untuk "menjaga" para koruptor agar tidak dapat melenggang bebas dengan cepat. Dalam sidang kasus kesaksian palsu dan mempengaruhi saksi dalam perkara Akil Mochtar dengan terdakwa Muhtar Ependy, KPK menuntut agar Muhtar tidak diberikan pembebasan bersyarat serta remisi tahanan.

"Menghukum terdakwa dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu beruap pencabutan hak remisi dan pelepasan bersyarat yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana," kata Jaksa Tito Jaelani di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (12/2) malam.

Hukuman tambahan ini semakin melengkapi "penderitaan" Muhtar. Karena Jaksa Tito juga meminta Majelis Hakim mengurung orang yang disebut punya hubungan dekat dengan Akil Mochtar ini dengan pidana penjara 7 tahun dan denda Rp200 juta subsider 5 bulan penjara.

Usai sidang, Ketua Tim Jaksa KPK Mochammad Wirasakjaya mengatakan alasan memberikan hukuman tambahan yang baru kali ini disematkan kepada terdakwa kasus korupsi. Salah satu alasannya yaitu hukuman ini juga diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

"Terdakwa tidak mengakui, tidak menyesali perbuatannya. Itu diatur di UU Tipikor yang menghapus hal tertentu," tuturnya.

Penerapan pidana tambahan ditegaskan Jaksa Wira, diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Pada huruf d diatur soal pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu yang telah atau dapat diberikan pemerintah kepada
terpidana.

Saat ditanya apakah KPK akan terus menuntut terdakwa kasus korupsi dengan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat, Jaksa Wira masih enggan menjanjikan hal tersebut. "Kami konteks untuk sidang ini dulu," ucapnya.

Begitupun ketika ditanya para awak media apakah tuntutan ini merupakan saran dari para pimpinan KPK, Jaksa Wira juga enggan mengatakannya. "Pokoknya itu aja alesannya, tidak mengakui dan menyesali perbuatannya," imbuh Jaksa Wira.

Pembebasan Bersyarat dan Remisi yang berlebihan memang selama ini selalu ditentang KPK. Salah satu contohnya terkait pembebasan bersyarat yang diberikan kepada mantan terpidana Hartati Moerdaya.

Hartati adalah Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation dan PT Cipta Cakra Murdaya. Ia terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan dengan menyuap Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu senilai Rp3 miliar terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di kawasan tersebut.

Ia mulai ditahan di Rutan Pondok Bambu pada 12 September 2012 dan dijatuhi pidana 2 tahun 8 bulan dan denda Rp150 juta rupiah subsider 3 bulan penjara pada 4 Februari 2013. Tetapi pada 23 Juli 2014, ia telah menghirup udara bebas karena Kementerian Hukum dan Ham memberikannya pembebasan bersyarat.

Pembebasan Bersyarat ini pun menuai protes keras yang datang tidak hanya dari KPK, aktivis anti korupsi, tetapi juga dari mantan terpidana Nunun Nurbaeti. Istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun ini menganggap pembebasan bersyarat itu sama sekali tidak mencerminkan bagi narapidana lain termasuk dirinya.

BACA JUGA: