JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sengketa konflik antara masyarakat adat dan pengusaha atau pemerintah masih terus berlangsung seiring dengan pembangunan dan alih fungsi hutan adat ke industri. Dampak negatif dari konflik tersebut lebih banyak dirasakan masyarakat adat lantaran mereka seringkali harus berpindah tempat dan hukum adat mereka tercerabut.

Sejumlah saksi ahli Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai pemerintah harus bertanggungjawab atas dampak yang dialami masyarakat adat. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus bisa mengatasi akar masalah dari konflik yang ada.  

Terkait hal ini, Saksi Ahli Komnas HAM Mia Siscawati mengatakan pemerintah memiliki tugas utama untuk melindungi dan memenuhi hak masyarakat adat. Negara tidak boleh melakukan pembiaran atas kekerasan yang menimpa masyarakat adat karena sengketa hutan adat dan persoalan lainnya.

Negara harus bisa menghentikan langkah yang mengakibatkan pemiskinan dan pencerabutan masyarakat adat. "Sudah seharusnya warga negara termasuk masyarakat adat dilindungi. Negara harusnya malu," ujar Mia dalam Dengar Keterangan Umum Masyarakat Adat di Kawasan Hutan tingkat nasional oleh Komnas HAM di Komisi Yudisial, Jakarta, Selasa (16/12).

Mia menjelaskan, setidaknya terdapat sejumlah akar kekerasan yang mengakibatkan belum terpenuhinya hak warga negara masyarakat adat. Pertama terkait dengan teritorialisasi hutan oleh negara. Negara masih berpandangan hutan merupakan warisan kolonial. Sehingga wilayah yang tidak bersertifikat dianggap sebagai hak milik negara.

Padahal hampir 33 ribu desa di Indonesia sebanyak 40% berada di kawasan hutan. "Sehingga teritorialisasi kawasan hutan oleh negara harus dikritisi dan ditinjau ulang," kata Mia.    

Kedua, adanya persepsi komodifikasi alam. Maksudnya alam dalam hal ini hutan diposisikan hanya sebagai barang komoditi yang diperjualbelikan untuk memenuhi kebutuhan pasar global. Komodifikasi ini secara tidak langsung menafikkan keberadaan masyarakat adat yang hidup di dalam kawasan hutan.

Padahal kalau bicara soal perdagangan, sebenarnya masyarakat adat sama sekali tidak anti perdagangan. Mereka justru biasa berdagang hasil hutan seperti rotan. "Pendekatan pemerintah yang mengomodifikasi alam ini menjadi akar masalah yang bersinggungan langsung dengan masyarakat adat," ujar Mia.

Lebih lanjut, akar masalah ketiga adalah pendekatan militeristik dalam menyelesaikan konflik. Konflik antara masyarakat adat dan pengusaha atau pemerintah tak jarang diakhiri dengan konflik bersenjata. Padahal  pendekatan senjata bisa dikatakan juga merupakan warisan kolonial.

Contoh lainnya dengan adanya polisi hutan di kawasan hutan yang ada sejak masa penjajahan. Pendekatan tersebut berdampak pada hadirnya kekerasan yang diterima masyarakat adat.   

Terakhir, adanya cara-cara eksklusif yang dilakukan pengusaha misalnya untuk merebut tanah masyarakat adat dengan memanfaatkan relasi di dalam rumah dan komunitas adat. Contohnya, perebutan tanah didapatkan dengan mengadu domba masyarakat adat ataupun melobi ketua adat.

Saksi Ahli Komnas HAM lainnya, Peter Aman menuturkan, sulit untuk menafikan negara menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan kelompok kepentingan tertentu dalam hal ini pengusaha. Pasalnya sejumlah aturan yang dibuat pemerintah memang condong keberpihakannya untuk kepentingan ekonomi.

Parahnya jika kepentingan ekonomi pengusaha dan kepentingan politik pemerintah bersatu, maka pola yang terlihat seperti yang sering terjadi yaitu mengkriminalisasi masyarakat adat dengan tuduhan merongrong pembangunan. "Harus ada perubahan struktural dan kesadaran soal keberadaan masyarakat adat," ujar Peter.

Menurutnya, pemerintah saat ini yang mengklaim akan merevolusi mental harus bisa melakukan perubahan agar kekayaan adat dan kemanusiaan tidak direduksi menjadi kepentingan ekonomi. "Produk hukum harus bermuatan moral nilai kemanusiaan universal dan bukan hanya milik segelintir kepentingan," ujar Peter.

BACA JUGA: