JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang membolehkan dilakukannya aborsi pada janin yang dikandung korban perkosaan menuai banyak kontroversi. Salah satunya adalah konflik antara beleid ini dengan kode etik kedokteran Indonesia yang hanya memperbolehkan dokter melakukan aborsi ketika nyawa sang ibu terancam dengan kehadiran sang jabang bayi.

Anggota Komisi Kesehatan DPR RI Poempida Hidayatulloh mengatakan keberadaan Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang belum lama diterbitkan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari potensi gangguan kesehatan baik fisik maupun psikis yang ada hubungannya dengan dibolehkannya aborsi. Hanya saja, dalam pelaksanaannya memang memerlukan pengawasan ketat.
 
"PP Aborsi dimaksukan untuk melindungi masyarakat dari potensi gangguan kesehatan baik fisik/psikis sehingga diperbolehkannya aborsi,” kata Poempida dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Sabtu (16/8).

Poempida mengatakan, dalam konteks aborsi, seseorang yang berpotensi mengalami gangguan kesehatan tersebut masih mempunyai pilihan. Artinya, keputusan untuk melakukan aborsi atau tidak, ada pada yang bersangkutan.

Hal ini tentu didasarkan pada keyakinan agama, kepercayaan atau adat istiadat yang dianutnya. "Misalnya yang bersangkutan beragama tertentu yang melarang itu, ya silakan decision ada di pasien," jelasnya.
 
Dirinya menekankan perlunya pengawasan dari implementasi PP 61/2014 tersebut. "Catatan yang menjadi sorotan saya adalah pengawasan dari implementasi PP tersebut, jangan sampai terjadi praktek aborsi ilegal yang terjadi karena pergaulan bebas yang berpotensi banyak terjadi dengan diberlakukannya PP ini," tukasnya.

Sebelumnya, LSM Perempuan banyak yang merespon positif pengesahaan PP 61 Tahun 2014 yang melegalkan kegiatan aborsi bagi perempuan korban perkosaan. Bahkan mereka mengaku hal ini sudah lama ditunggu-tunggu, alasannya, pelegalan aborsi akan sedikitnya meringankan beban psikis para korban permerkosaan.

"Sebenarnya perlu diluruskan kepada orang-orang yang menolak PP ini, bahwa pemberlakuannya hanya teruntuk kasus khusus dengan syarat korban perkosaan," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Titi Sumbu, kepada Gresnews.com, Rabu, (13/8) lalu.

Ia menilai, lahirnya PP ini bertujuan untuk melindungi kaum perempuan, selama ini perempuan merupakan kaum yang rentan terhadap diskriminasi dan pelecehan. "Jangan sampai perempuan kembali menjadi korban dengan banyaknya kontroversi pelegalan ini. Korban perkosaan akan banyak memakan trauma," ucapnya.

Titi mengatakan, dalam kasus ini yang perlu dicatat adalah tidak sembarangan orang dapat melakukan aborsi. Dalam peraturan telah dijelaskan siapa, untuk apa, dan kapan boleh dilakukannya penghilangan janin. Peraturan pelegalan aborsi memang diatur ketat pada Bab IV Pasal 31 Ayat (1) PP 61/2014. Pasal itu mengatakan tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kehamilan akibat perkosaan.

Pada Ayat (2) dinyatakan, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama empat puluh hari, dihitung sejak hari pertama haid.

Pertanyaannya kini bagaimana membedakan seorang korban perkosaan dengan oknum pelaku seks bebas yang menyalahgunakan peraturan? Pasal 34 dalam PP ini mengatur indikasi perkosaan yang meliputi kehamilan perkosaan merupakan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal itu dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang menyatakan usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, serta keterangan dari penyidik, psikolog, dan atau ahli lain mengenai dugaan perkosaan.

Hanya saja dalam hal implementasi, praktik aborsi ini disinyalir akan sulit dilakukan karena dokter yang ditunjuk untuk melakukan aborsi akan terhalang oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Tentang penyelenggaraan aborsi Pasal 35 PP 61 Tahun 2014 menunjuk dokter sebagai pihak yang dapat melakukan aborsi secara aman, bermutu, dan bertanggung jawab. Sementara dalam Pasal 36 disebutkan, dokter yang melakukan aborsi akibat perkosaan harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.

Ketentuan dalam pasal ini bertentangan dengan kode etik yang selama ini dijadikan pedoman para dokter untuk bertugas. Pasal 10 Kodeki menyebutkan setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.

Kodeki ini jelas memberi pedoman dokter tidak boleh melakukan aborsi, kecuali ada indikasi medis sebagai satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu. "Jika begini adanya dokter jadi bingung karena diajak melanggar standard medis dan standard profesi yang ada," ujar Slamet Budiarto, Sekjen PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kepada Gresnews.com, Rabu, (13/8).


Ia mengatakan proses aborsi yang tidak berdasarkan indikasi medis telah melanggar KUHP dan dapat dipidanakan. Jelas dalam Pasal 348 KUHP dinyatakan barangsiapa yang sengaja menyebabkan gugur atau matinya kandungan seorang wanita dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.

Untuk itu, Slamet menghimbau agar para dokter tetap berpegang teguh pada standard medis dan Undang-Undang Kesehatan agar tetap aman dalam melaksanakan tugas. "Kami para dokter juga perlu dilindungi, salah-salah menaati peraturan malah jadi dipenjara," ucapnya.

Terkait celah hukum pelaku seks bebas melakukan aborsi dengan dalih menjadi korban perkosaan, PP 61 sendiri sebenarnya telah berupaya menutup celah itu. Perempuan yang melakukan aborsi dengan mengaku-aku korban perkosaan bisa dipidana.

"Pemerkosaan itu bisa dua kemungkinan yaitu pelakunya kabur atau tertangkap. Jika akibat pemerkosaan itu mengakibatkan traumatik, maka boleh dilakukan aborsi," kata pengamat hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Dr Mudzakir, Jumat (15/8).

Namun bagaimana jika setelah diaborsi, kemudian kasusnya disidangkan ke pengadilan, ternyata hakim memutuskan kasus itu bukan pemerkosaan? Ternyata perempuan tersebut mengaku-aku diperkosa supaya bisa melakukan aborsi secara legal. "Kalau seperti itu, bisa menimbulkan delik baru. Perempuan itu bisa dipidana dengan membuat laporan palsu, penipuan, memberikan keterangan palsu dan sebagainya sesuai KUHP," katanya.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi sendiri telah mengklarifikasi pasal di PP 61 yang kontroversial itu. "Jangan cuma melihat aborsinya. Yang bagus dalam PP ini, kesehatan reproduksi dilihat secara komprehensif dari hulu sampai ke hilir," kata Nafsiah dalam acara penganugerahan tenaga kesehatan teladan, Jumat (15/8).

Menurut Menkes, PP ini tidak semata-mata berbicara tentang persoalan di hilir yakni aborsi sebagai dampak kehamilan yang tidak diinginkan. Persoalan di hulunya juga dibahas, yakni upaya preventif dan promotif untuk menjaga kesehatan sistem reproduksi.

Melalui PP tersebut, Menkes berharap hak setiap orang untuk mendapatkan informasi dan edukasi yang komprehensif tentang organ-organ reproduksinya bisa terpenuhi. Dengan begitu, semua kalangan diharapkan bisa melindungi diri dan orang lain dari segala hal yang berdampak pada fungsi reproduksi. "Yang sebenarnya kita inginkan adalah jangan terjadi aborsi," tegas Menkes.

PP yang ditandatangani presiden pada 21 Juli 2014 ini mengatur bahwa aborsi hanya diperbolehkan pada usia kehamilan maksimal 40 hari. Korban perkosaan bisa mendapatkan layanan ini dengan menyertakan berbagai keterangan, termasuk dari dokter serta penyidik.

Aturan ini merupakan amanat UU kesehatan nomor 36/2009. Pasal 75 ayat (1) dalam UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (dtc)

BACA JUGA: