JAKARTA, GRESNEWS.COM - LSM Perempuan banyak yang merespon positif pengesahaan PP 61 Tahun 2014 yang melegalkan kegiatan aborsi bagi perempuan korban perkosaan. Bahkan mereka mengaku hal ini sudah lama ditunggu-tunggu, alasannya, pelegalan aborsi akan sedikitnya meringankan beban psikis para korban permerkosaan.

"Sebenarnya perlu diluruskan kepada orang-orang yang menolak PP ini, bahwa pemberlakuannya hanya teruntuk kasus khusus dengan syarat korban perkosaan," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Titi Sumbu, kepada Gresnews.com, Rabu, (13/8).

Ia menilai, lahirnya PP ini bertujuan untuk melindungi kaum perempuan, selama ini perempuan merupakan kaum yang rentan terhadap diskriminasi dan pelecehan. "Jangan sampai perempuan kembali menjadi korban dengan banyaknya kontroversi pelegalan ini. Korban perkosaan akan banyak memakan trauma," ucapnya.

Titi mengatakan, dalam kasus ini yang perlu dicatat adalah tidak sembarangan orang dapat melakukan aborsi. Dalam peraturan telah dijelaskan siapa, untuk apa, dan kapan boleh dilakukannya penghilangan janin. Peraturan pelegalan aborsi memang diatur ketat pada Bab IV Pasal 31 Ayat (1) PP 61/2014. Pasal itu mengatakan tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kehamilan akibat perkosaan.

Pada Ayat (2) dinyatakan, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama empat puluh hari, dihitung sejak hari pertama haid.

Pertanyaannya kini bagaimana membedakan seorang korban perkosaan dengan oknum pelaku seks bebas yang menyalahgunakan peraturan? Pasal 34 dalam PP ini mengatur indikasi perkosaan yang meliputi kehamilan perkosaan merupakan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hal itu dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang menyatakan usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, serta keterangan dari penyidik, psikolog, dan atau ahli lain mengenai dugaan perkosaan.

Namun, walau sudah diatur sedemikian rupa, pembuktian korban perkosaan nampaknya akan banyak menemui hambatan. Pasalnya, banyak opini negatif yang masih beredar di masyarakat kepada korban, sehingga banyak korban memilih untuk tidak menceritakan kejadian yang dialami kepada siapapun.

"Biasanya juga, korban perkosaan langsung membersihkan diri setelah menerima pelecehan. Ini yang jadi sulit, buktinya sudah hilang, dan kemungkinan korban malah akan kehilangan hak untuk menggugurkan janinnya," ungkap Berar Fathia, Ketua Aliansi Perempuan dan Kemitraan Nasional kepada Gresnews.com, Rabu, (13/8).

Menurutnya, selain harus menyiapkan sistematika yang ketat, pemerintah juga harus melakukan langkah antisipasi kepada para remaja yang lebih rentan menjadi korban perkosaan dan seks bebas. Supaya tidak ada stigma yang salah dan menggampangkan seks bebas. "Takutnya pelaku seks bebas mengaku jadi korban perkosaan," ujar Fathia.

Untuk itu, ia menilai pemerintah tidak cukup hanya membuat PP tentang pelegalan aborsi, tapi juga memasukkan peraturan mengenai sanksi bagi para oknum yang melakukan penyelewengan. Selain itu, ada juga permasalahan pertentangan antara isi PP tersebut dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki).

Tentang penyelenggaraan aborsi Pasal 35 PP 61 Tahun 2014 menunjuk dokter sebagai pihak yang dapat melakukan aborsi secara aman, bermutu, dan bertanggung jawab. Sementara dalam Pasal 36 disebutkan, dokter yang melakukan aborsi akibat perkosaan harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.

Ketentuan dalam pasal ini dinilai bertentangan dengan kode etik yang selama ini dijadikan pedoman para dokter untuk bertugas. Pasal 10 Kodeki menyebutkan setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Kodeki ini jelas memberi pedoman dokter tidak boleh melakukan aborsi, kecuali ada indikasi medis sebagai satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu.

"Jika begini adanya dokter jadi bingung karena diajak melanggar standard medis dan standard profesi yang ada," ujar Slamet Budiarto, Sekjen PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kepada Gresnews.com, Rabu, (13/8).

Ia mengatakan proses aborsi yang tidak berdasarkan indikasi medis telah melanggar KUHP dan dapat dipidanakan. Jelas dalam Pasal 348 KUHP dinyatakan barangsiapa yang sengaja menyebabkan gugur atau matinya kandungan seorang wanita dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.

Untuk itu, Slamet menghimbau agar para dokter tetap berpegang teguh pada standard medis dan Undang-Undang Kesehatan agar tetap aman dalam melaksanakan tugas. "Kami para dokter juga perlu dilindungi, salah-salah menaati peraturan malah jadi dipenjara," ucapnya.

Menurutnya, aborsi boleh saja dilakukan jika merupakan pilihan terakhir, selama masih ada jalan penyelamatan bagi janin maupun ibu tidak diperbolehkan dilakukan tindakan aborsi. Hal tersebut tersusun dalam Pasal 15 UU Kesehatan No 23 Tahun 1992 yang menyatakan diperbolehkannya aborsi apabila ada indikasi medis yang mengganggu keselamatan ibu hamil dan atau janinnya.

BACA JUGA: