JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berprinsip tidak akan pernah menyetujui adanya pasal aborsi yang dilegalkan. IDI telah memiliki pandangan yang jelas yakni menolak menghilangkan nyawa setiap insan dengan cara disengaja. Penegasan itu disampaikan Ketua IDI Zaenal Abidin menyikapi kontroversi PP No.Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Munculnya peraturan yang melegalnya aborsi bagi korban pemerkosaan itu telah menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Menyikapi kontroveris itu IDI berencana mengundang sejumlah pihak seperti pemuka agama, kepolisian dan para dokter untuk mendiskusikan  keberadaan pasal  tersebut. Pertemuan yang rencananya akan dilangsungkan pada hari Senin mendatang bertujuan untuk mendengarkan penjelasan dari berbagai sudut pandang mengenai pelegalan aborsi bagi korban perkosaan.

Walaupun belum mengetahui apa hasil yang akan didapat dari pertemuan itu, IDI menyatakan menolak pasal tersebut. “Jadi walaupun nanti dengar pendapat mengatakan setuju terhadap aborsi korban perkosaan, belum tentu kami akan mengikuti kesepakatannya. Forum ini hanya untuk melihat pandangan bukan menghasilkan kesepakatan yang harus dijalankan bersama,” ujar Zaenal kepada Gresnews.com, Jumat, (22/8). Namun hasil pertemuan itu menurut Zaenal akan diajukan ke pemerintah.

Walaupun Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi telah menginstruksikan kepada para dokter untuk mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena mereka termasuk warga negara Indonesia,  IDI menyatakan tetap akan berpegang pada pendiriannya. Zaenal mengaku tidak bisa menyalahi sumpah dokter yang menyebutkan tidak akan mempergunakan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan tak berperikemanusiaan.

Ia mengatakan, dalam sumpah tersebut dituntut pertanggungjawaban tidak hanya kepada manusia tapi juga kepada Tuhan. “Dalam sumpah disebutkan, walaupun dipaksa sekalipun kami tidak boleh melanggarnya. Ini demi Tuhan, kecuali kalimat ‘Demi Tuhan’ dihapuskan dan mereka ganti demi pemerintah,” ujarnya.

Menurut Slamet Budiarto, Sekjen PB IDI, jika pemerintah memaksa dokter melakukan tindakan aborsi akibat perkosaan, berarti dokter diajak melanggar standar medis dan profesi yang selama ini dipegang teguh. Karena jelas, pada Pasal 10 Kodeki dikatakan setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Kodeki ini jelas memberi pedoman dokter tidak boleh melakukan aborsi, kecuali ada indikasi medis sebagai satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu.

Pada Pasal 348 KUHP pun dinyatakan barangsiapa yang sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. Menurut Pasal 15 UU Kesehatan No 23 Tahun 1992 aborsi hanya boleh dilakukan apabila ada indikasi medis yang mengganggu keselamatan ibu hamil dan atau janinnya.

“Jangan memberi sedikit pun kelonggaran pada dokter, nanti bisa terjadi apa-apa yang tidak kalian pikirkan. Ini bisa membahayakan kesehatan dan keselamatan banyak orang. Dan walaupun nanti kejadian yang tidak diinginkan terjadi dan dipidanakan. Belum tentu kami bisa akan terjerat, kami ini pintar,” ucap Zaenal. Ia mengingatkan, sedikit saja dokter diajari menyalahi etika profesi, maka akan sulit mengembalikan ke jalan yang seharusnya.

BACA JUGA: