JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan  Bupati atau walikota tidak memiliki kewenangan  menetapkan keadaan darurat dan melakukan langkah pengurangan hak HAM di wilayahnya. Secara prosedur kepala daerah juga tidak memenuhi ketentuan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan oleh Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.

"Kekuasaan untuk menyatakan keadaan darurat ada di tangan presiden sebagaimana dinyatakan Pasal 12 UUD 1945," kata anggota Komnas HAM Roichatul Aswidah Aswidah, saat memberikan keterangan ahli dalam pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU Penanganan Konflik) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Kamis (24/4).

Pasal 12 UUD 1945, kata dia, secara tegas menyatakan: "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang". "Kerena itu, ketentuan Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial yang menyatakan, ´status keadaan konflik skala kabupaten/walikota ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD´ dapat membahayakan hak manusia karena memberikan kewenangan kepada otoritas yang bukan semestinya," ujarnya.

Sebelumnya, Pemerintah berkeras menyatakan Pasal 16 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial sudah tepat dan sesuai ketentuan Pasal 18 huruf a, b, dan c UUD 1945. Sesuai ketentuan tersebut, presiden dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada kepala daerah atau pejabat lain sesuai kebijakan presiden.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sekaligus Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Mualimin Abdi selaku perwakilan  pemerintah mengatakan, dalam UUD 1945 presiden memiliki kewenangan menetapkan keadaan darurat apabila terdapat ancaman terhadap keselamatan warga negara dan keutuhan wilayah. Selanjutnya sesuai ketentuan konstitusi pula, presiden dapat menyerahkan kewenangan tersebut kepada kepala daerah seperti yang tertuang dalam Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik sosial.

"Kebijakan Pemerintah dan DPR yang tertuang dalam UU tersebut dilakukan untuk menghindari kerugian  warga negara karena pemerintah daerah lebih mengetahui keadaan real di daerahnya daripada pemerintah pusat atau presiden," terang Mualimin menanggapi uji materi yang dimohonkan sejumlah kelompok dalam sidang  di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (3/4).

Permohonan  ini sebelumnya diajukan Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Human Rights Working Group (HRWG) dan Anton Aliabbas. Mereka  menggugat kewenangan kepala daerah menetapkan status konflik.

Mereka menilai kewenangan itu bertentangan dengan aturan yang ada dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah. Bahkan bisa digunakan alat bagi kepala daerah mengamankan kepentingan politiknya. Atas dasar itulah mereka mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial ke MK.

Pemohon menguji dua pasal dalam UU a quo, yakni Pasal 16 dan Pasal 26. Pasal 16 berbunyi: "Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota".
Sementara Pasal 26 menyebutkan menyebutkan "Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat melakukan: a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu; b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu; c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.

Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG) M. Choirul Anam dan Dosen Universitas Pertahanan Indonesia Ridep Institute Anton Aliabbas menilai status keadaan konflik sosial memiliki kualifikasi yang sama dengan status keadaan darurat atau bahaya menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan dalam UUD 1945 mengatur status keadaan darurat hanya dapat ditetapkan oleh presiden. Karena itu, penetapan status keadaan konflik sosial, termasuk skala kabupaten atau kota seharusnya ditetapkan oleh presiden, bukan bupati atau wali kota seperti yang tertuang dalam Pasal 16 dan Pasal 26 UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, majelis hakim panel menyarankan agar para pemohon menguatkan legal standing-nya atau menegaskan kerugian konstitusional apa yang dialami para pemohon atas berlakunya UU Penanganan Konflik Sosial. "Kaitkan juga keberadaan UU ini dengan fakta-fakta yang terjadi, ujar ketua majelis hakim panel Anwar Usman.

BACA JUGA: