JAKARTA, GRESNEWS.COM - Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengajukan uji materi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). YKP menilai, Pasal 7 Ayat (1) yang menyatakan usia nikah minimal 16 tahun bagi perempuan terlalu berisiko untuk masa pertumbuhan.
Pasal 7 Ayat (1) ini berbunyi: ‘Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun’.

Kuasa pemohon YKP, Rita Serena Kolibonso, menilai, sepanjang frasa ´16 tahun´ bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 28A, 28B Ayat (1) dan (2), Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G, 28 H Ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 28I Ayat (1) dan (2). "Usia minimal 16 tahun dianggap berisiko tinggi karena si ibu masih dalam masa pertumbuhan sehingga terjadi perebutan gizi antara si ibu dan janin yang akan dikandungnya. Selain itu banyaknya perkawinan di usia tersebut berbanding lurus dengan banyaknya angka perceraian," ujar Rita dalam sidang perdana yang dipimpin hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (3/4).

Ia berpendapat, banyaknya perkawinan anak berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian sehingga justru menjauhkan dari tujuan perkawinan yang dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan anak, katanya, juga mengakibatkan putus sekolah, sementara si anak harus menghidupi keluarga. "Di usia 16 tahun anak belum mampu berperan sebagai orang tua yang harus bertanggung jawab untuk mendidik anak. Secara psikologis anak masih ingin bermain bersama teman sebaya," jelasnya.

Menurut dia, Pasal 7 Ayat (1) tersebut juga bertentangan dengan Pasal 26 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mewajibkan orang tua mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak sampai usia 18 (delapan belas) tahun; bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang mengatur bahwa usia anak sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.

Pasal tersebut juga bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai pengaturan wajib belajar anak selama 12 (dua belas) tahun; dan bertentangan dengan Pasal 131 Ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal ini menyebutkan, "Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun."

"Pembenaran perkawinan anak khususnya pada perempuan secara tegas dan jelas dalam Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan menunjukkan adanya ancaman terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi anak," ujarnya. Ia menambahkan, pelanggaran atas hak anak tidak hanya didasarkan pada pengabaian hak tumbuh dan kembang anak dalam hal gizi dan sejenisnya namun juga meliputi praktik perkawinan anak.

Atas dalih pemohon itu hakim MK Anwar Usman pun meminta ditunjukkan kerugian konstitusional yang dialami pemohon terhadap bunyi frasa ‘16 tahun’ jika tetap diberlakukan. "Apakah jika frasa 16 tahun diganti menjadi 18 tahun akan mengakhiri kerugian pemohon?" tanya Anwar.

Hakim MK Maria Farida berpandangan sama. Ia meminta pemohon menjelaskan apa hak yang terlanggar jika anak perempuan menikah pada usia 16 tahun, bagaimana hubungan frasa ini dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Karena itu hakim konstitusi memberikan saran agar pemohon memperbaiki permohonannya hingga waktu maksimal 14 hari kerja.

BACA JUGA: