JAKARTA, GRESNEWS.COM - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN) mendesak Mahkamah Agung RI agar melakukan moratorium penjatuhan pidana penjara bagi terdakwa kasus penghinaan yang dinyatakan bersalah.

Sekretaris eksekutif IMDLN Wahyudi Djafar mengingatkan sebagai salah satu negara penandatangan Kovenan   Internasional Hak Sipil dan Politik seharusnya Indonesia mengikuti Komentar Umum Nomor 34 dari Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik. Kovenan tersebut menurutnya telah menegaskan bahwa penjatuhan pidana penjara dalam perkara penghinaan adalah bentuk sanksi yang tidak sesuai dengan ketentuan HAM Internasional. MA, kata Wahyudi, masih dapat menjatuhkan pidana dalam bentuk lain bagi para terdakwa yang dinyatakan bersalah, yaitu dengan menjatuhkan pidana bersyarat sesuai ketentuan Pasal 14 C KUHP. "Pidana penjara bagi perkara penghinaan tidak lagi relevan, karena saat ini MA juga sudah mengeluarkan Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2012 tentang penyesuaian nilai denda dalam KUHP," ujarnya melalui surat elektronik kepada Gresnews.com.

Dengan kedua instrumen hukum tersebut, Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara berharap MA meninggalkan pola pidana penjara dan mengefektifkan pidana denda dalam perkara-perkara tindak pidana penghinaan.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan ICJR pada 2012,  dari 275 perkara penghinaan sepanjang 2001-2012 sebanyak 205 perkara diantaranya divonis hukuman penjara. Anggara mengatakan MA, dalam penjatuhan hukuman perkara ini, juga telah banyak mengoreksi hukuman penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi menjadi putusan bebas atau lepas dan hukuman percobaan. Meski dalam beberapa kasus, MA masih menjatuhkan hukuman penjara namun rata-rata hukuman yang dijatuhkan hanya mencapai 112 hari. Sedangkan hukuman percobaan yang dijatuhkan rata-rata mencapai 252 hari.

Oleh karena itu MA diminta mengefektifkan penjatuhan pidana bersyarat dan pidana denda bagi terdakwa yang dinyatakan bersalah. Hal ini diperlukan untuk mengurangi chilling effect dari penjatuhan pidana penjara bagi kebebasan berpendapat/berekspresi. "MA juga harus mengeluarkan Surat Edaran agar Pengadilan-Pengadilan di seluruh Indonesia melakukan moratorium penjatuhan pidana penjara bagi terdakwa dalam perkara Penghinaan yang diputus bersalah, berdasarkan syarat-syarat tertentu seperti terpidana tidak mau membayar denda atau tidak mau memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Pengadilan,” ujarnya.

Sementara Juru Bicara MA Gayus Lumbuun yang dikonfirmasi soal ini mengatakan desakan tersebut salah alamat. Menurut Gayus, desakan moratorium itu seharusnya dialamatkan kepada DPR dan pemerintah karena kedua institusi itulah yang berhak melaksanakan moratorium. Sementara MA,  menurut Gayus, hanya bisa melaksanakan apa yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) yang berlaku. "Kami hanya bisa melaksanakan, bukan menafsirkan UU dan melakukan moratorium," katanya, kepada Gresnews.com. (Yudho Raharjo/GN-02)

BACA JUGA: