JAKARTA - Dalam tiga bulan terakhir, lima polisi tewas ditembak orang tak dikenal. Pola penembakan tersebut juga tidak jauh berbeda, yaitu dilakukan di tempat umum, bahkan yang terakhir dalam situasi yang masih cukup ramai. Apakah ini gerakan teroris?

"Polanya adalah pola jaringan gerilya kota," kata pengamat terorisme Noor Huda Ismail, Rabu (11/9/2013) malam.

Huda mengatakan, pola tersebut mirip dengan paham yang selama ini beredar di internet. Sehingga dikhawatirkan kasus tersebut akan terulang kembali karena telah terlanjur beredar luas.

Lalu mengapa sasarannya polisi? Menurut Huda, jaringan tersebut memiliki dendam terhadap polisi, khususnya Densus 88.

"Terjadi pergeseran pada tahun 2009. Karena polisi melakukan pelanggaran HAM saat melakukan penangkapan terhadap pelaku teror," terangnya.

Sementara itu saat ini polisi mengalami kesulitan untuk menangkap pelaku. Sebab kali ini pelaku disinyalir berasal dari jaringan baru.

"Sekarang ini banyak jaringan baru, kecil-kecil. Mereka bergerak secara independen," ucap Huda.

Menurut Huda, peran aktif masyarakat juga sangat diperlukan dalam membantu mengungkap pelaku. "Masalahnya orang Jakarta ini kan cuek," ungkapnya.

Namun kepolisian menyatakan tidak menemukan adanya motif lain di balik aksi penembakan terhadap Aipda Sukardi di depan Gedung KPK, Selasa (10/9) malam lalu. Penembakan anggota Provost Satuan Pol Air Mabes Polri itu tak lain adalah aksi teror semata.

"Banyak motif yang kita asumsikan, namun tidak ada yang teruji di lapangan. Tidak ada motif lain selain teror," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto kepada wartawan, Kamis (12/9/2013).

Kepolisian sendiri belum bisa menyebut kelompok mana yang diduga pelaku penembakan Sukardi itu. "Kalau ketemu, ujung-ujungnya teroris, atau kelompok lain akan di dalami. Itu bisa saja," ujar dia.

Rikwanto mengatakan, dari beberapa kasus penembakan terhadap anggota Polri sebelumnya, terdapat kemiripan dalam aksi penembakan Sukardi ini. Namun, untuk menarik benang merah kaitan kejadian itu dengan peristiwa sebelumnya, katanya, perlu analisa yang mendalam.

"Sementara kita cocokkan dulu anak peluru dan selongsong yang ditemukan di TKP penembakan Aipda Sukardi dengan yang sebelumnya," kata Rikwanto.

Penyidik telah mengirimkan bukti-bukti penembakan Sukardi ke Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri untuk meneliti barang bukti tersebut. Di antaranya, 2 butir proyektil peluru yang bersarang pada punggung kiri dan perut serta 1 butir proyektil peluru di dada korban, dan 3 buah selongsong.

Senada dengan Huda, Kriminolog dari Universitas Indonesia Mulyana W Kusumah mengatakan pola gerilya kota tersebut sudah cukup lama beredar di internet. Sehingga sangat mungkin dijadikan panduan oleh para pelaku teror.

"Judul bukunya Minimanual of the Urban Guerrilla, karangan Carlos Marighella," kata Mulyana.

Namun menurutnya polisi jangan terlalu kaku dalam menyelidiki kasus penembakan tersebut. Sebab kemungkinan motif yang melandasi pelaku tak sebatas teror belaka.

"Ada juga kemungkinan ke situ, maka persiapan proteksi akan lebih lagi. Polisi di lapangan harus kerja satu tim," terang Mulyana.

Senjata Api
Sementara itu Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma mengatakan kepolisian tidak hanya dituntut harus cermat dalam proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini, tetapi harus mengungkap siapa pelaku penembakan, modus, motif dan kepentingan yang melatarbelakangi, siapa otak pelaku di balik serentetan peristiwa penembakan misterius tersebut.

"Adakah korelasi antara peristiwa penembakan yang satu dengan peristiwa lainnya yang menelan korban personil Anggota Polri, namun Polri juga harus mampu membongkar jaringan serta otak pelaku perdagangan senjata api illegal yang beredar di berbagai wilayah di Indonesia," kata Alvon.

(*/dtc/GN-01)

BACA JUGA: