GRESNEWS.COM - Perkembangan terbaru mengenai pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Komisi III DPR disebut-sebut sebagai jawaban dari kegelisahan para pencari keadilan dan sebagai langkah untuk mengurai karut-marutnya kondisi penegakan hukum di Indonesia.

Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menyebutkan pembahasan tersebut harus semata-mata hanya ditujukan untuk memberikan keadilan sebagai nilai dasar hukum, kepastian hukum sebagai nilai instrumental dan kemanfaatan sebagai nilai praksis.

Sudah 31 tahun perjalanan KUHAP yang merupakan ciptaan bangsa Indonesia menggantikan Herziene Inlands Reglement ciptaan pemerintah kolonial. Dalam perjalanan lebih seperempat abad itu terjadi kemajuan teknologi terutama di bidang komunikasi dan transportasi yang membawa akibat di bidang sosial, ekonomi, dan hukum termasuk hukum pidana. Tahukah Anda argumen-argumen akademis yang menjadi dasar dari perubahan KUHAP yang akan dilakukan?

Dua pertanyaan pokok yang diajukan adalah, pertama, bagaimana menjalin ketentuan KUHAP dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia sehingga ketentuan KUHAP selaras dengan situasi dan kondisi Indonesia dengan tidak mengabaikan ketentuan yang universal? Kedua, bagaimana merumuskan ketentuan baru sebagai pengganti KUHAP 1981 yang dapat diterapkan dalam penerapan hukum di Indonesia pada masa mendatang?

Argumen-argumen akademis itu bisa dilihat dari Naskah Akademis dari tim ahli RUU KUHAP yang dipimpin oleh Prof. Dr. jur. A. Hamzah. Tim ini telah bekerja lebih dari 10 tahun menyusun landasan akademis RUU KUHAP, termasuk dengan meminta pendapat pakar hukum pidana asing seperti Prof. Nico Kijzer dan Prof. Dr. Scahffmeister dari Belanda, Prof. Dr. Iur. Stephen C. Thaman dan Mr. Robert Strang dari Amerika Serikat.

"Dalam menyusun rancangan, yang sangat penting diperhatikan ialah KUHAP menyangkut beberapa instansi, satu hal yang selalu harus diingat ialah jangan terbawa pada egoisme sektoral, tetapi apa yang terbaik bagi nusa dan bangsa kita. Harapan akan adanya penegakan hukum yang mulus di Indonesia seperti halnya antara tahun 1950 sampai 1959 sangat diharapkan," demikian dikutip dari Naskah Akademis RUU KUHAP.

Berkaitan dengan korporasi, disebutkan bahwa korporasi sudah menjadi subjek hukum pidana (materiel dan formil) sehingga membawa dampak yang luas dalam penegakan hukum. Berapa ratus korporasi asing yang menanam modalnya di Indonesia yang dengan sendirinya akan tunduk pada hukum (pidana/acara pidana) yang berlaku di Indonesia. "Para Direktur yang memimpin korporasi akan bertanggung jawab pidana jika terjadi pelanggaran pidana yang dilakukan atas nama korporasi."

Pada bagian latar belakang perubahan KUHAP dinyatakan bahwa tercipta banyak konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia antara lain United Nations Convention Against Corrruption, International Convention Against Torture dan International Covenant on Civil and Political Rights. Ikut pula hadir dalam penyusunan International Criminal Court. Semua konvensi tersebut lahir dan diratifikasi sesudah KUHAP, berkaitan langsung dengan hukum acara pidana.

"Dalam kovenan mengenai hak-hak sipil dan politik itu terkandung ketentuan yang berkaitan dengan hukum acara misalnya tentang hak-hak tersangka dan ketentuan mengenai penahanan yang diperketat. Berhubung dengan hal tersebut ada negara yang membuat KUHAP baru sama sekali seperti Italia, Rusia, Lithuania, Georgia, dan lain-lain. Ada pula yang mengubah KUHAP nya selaras dengan perubahan yang mendunia tersebut seperti Austria."

Beberapa ruang lingkup perubahan KUHAP yang penting, yakni:
1. Asas Legalitas
Masalah asas legalitas perlu dijelaskan dalam KUHAP karena ada perbedaan antara asas legalitas dalam hukum pidana materiel dan hukum acara pidana. Perubahan penting dalam Rancangan KUHAP menyangkut lembaga baru, yaitu Hakim Pemeriksa Pendahuluan menggantikan praperadilan. Praperadilan adalah lembaga yang khas KUHAP, yang ternyata kurang efektif karena bersifat pasif menunggu gugatan para pihak. Lagi pula bukan lembaga yang berdiri sendiri tetapi melekat pada pengadilan negeri. Ketua pengadilan negerilah yang menunjuk seorang hakim menjadi hakim praperadilan jika masuk suatu permohonan.

Jadi ide Hakim Pemeriksa Pendahuluan berbeda dari praperadilan akan tetapi tidak sama dengan rechtercommissaris di Belanda dan juge d’insruction di Perancis karena Hakim Pemeriksa Pendahuluan versi Rancangan KUHAP sama sekali tidak memimpin penyidikan. Jadi merupakan revitalisasi praperadilan yang sudah ada di dalam KUHAP sekarang. Secara tidak sengaja justru mirip dengan Giudice per le indagini preliminary (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) di Italia. Italia bahkan menghapus Giudice Istructore yang sama dengan juge d’instrruction di Perancis dan rechtercommissaris di Belanda. Tugas Giudice per le indagini preliminary (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) yang mengawasi jalannya penyidikan dan penuntutan mirip dengan hakim pemeriksa pendahuluan versi Rancangan. Ada sebagian wewenang hakim Pengadilan Negeri seperti izin penggeledahan, penyitaan, penyadapan dan perpanjangan penahanan berpindah ke Hakim Pemeriksa Pendahuluan agar proses menjadi cepat, tidak mengganggu hakim pengadilan negeri yang sibuk menyidangkan perkara pidana, perdata, dan lain lain. Ada pula wewenang jaksa berpindah ke Hakim Pemeriksa Pendahuluan, seperti perpanjangan penahanan yang 40 hari berpindah ke Hakim Pemeriksa Pendahuluan menjadi 25 hari.

2. Hubungan Penyidik dan Penuntut Umum Lebih Diakrabkan
Dalam praktik sekarang ini terjadi berkas bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum yang sebagian (dalam jumlah besar) tidak lagi muncul ke pengadilan. Hal ini menurut Prof. Oemar Seno Adji dalam beberapa kali kesempatan, sangat merugikan pencari keadilan. Ada P 19 yaitu pengembalian berkas ke penyidik untuk dilengkapi (yang sebagian tercecer tidak tahu rimbanya), ada P 21 yang menyatakan bahwa berkas perkara sudah lengkap, yang membebaskan penyidik dari urusan berkas itu selanjutnya.

Dalam RUU KUHAP, pada saat penyidikan dimulai dan diberitahukan kepada penuntut umum, penuntut umum sudah memberi petunjuk, bukan ketika berkas sudah selesai disusun oleh penyidik. Petunjuk pun tidak perlu tertulis, boleh secara lisan, SMS, telepon, e-mail. Di Perancis ada jaksa yang piket menunggu telepon dari penyidik dimulainya penyidikan dan langsung memberi petunjuk. Oleh karena itu dalam PP pelaksanaan KUHAP akan ditunjuk jaksa zona yang akan memberi petunjuk perkara yang terjadi di zonanya, sama dengan di Belanda. Jadi, lebih memudahkan penyidik menghubungi. Jaksa zona yang wilayahnya (bukan kantornya) per kecamatan (Polsek).

3. Penahanan
Selama Tim menyusun RUU-KUHAP dari tahun 2000 sampai 2006 sistem penahanan hampir tidak berubah dari yang tercantum di dalam KUHAP 1981. Bahkan dicantumkan penyidik lebih lama dapat melakukan penahanan dari 20 hari menurut KUHAP 1981 menjadi 30 hari. Akan tetapi sejak diratifikasikannya International Covenant on Civil and Political Rights yang menunjukkan pada Pasal 9 bahwa jika penyidik melakukan penangkapan, maka promptly harus membawa tersangka (secara fisik) ke hakim yang akan melakukan penahanan. Prof. Dr. iur. Stephen C. Thaman mengatakan promptly itu artinya maksimum 2 X 24 jam atau a couple of days, kecuali untuk terorisme.

Di Perancis penahanan oleh penyidik hanya berlangsung 1 X 24 jam yang diperpanjang oleh jaksa 1 X 24 jam. Dengan alasan komunikasi di Indonesia sangat sulit, ribuan pulau-pulau, sehingga ketentuan 2 X 24 jam itu sangat sulit dipenuhi sehingga diterobos oleh Tim dengan mematok lima hari penahanan oleh penyidik. Pakar Amerika Serikat berpendapat, bahwa pengecualian lima hari itu mestinya hanya untuk pulau-pulau atau daerah terpencil tidak untuk kota besar seperti Jakarta. Sangat sulit untuk menentukan daerah mana yang boleh dilakukan penahanan sampai lima hari dan daerah mana hanya boleh dilakukan penahanan hanya 2 X 24 jam sesuai dengan Covenant. Oleh karena itu disamakan saja untuk seluruh Indonesia lamanya penahanan paling lama lima hari oleh penyidik. Untuk menghindari tuduhan pelanggaran terhadap covenant, waktu yang tiga hari sesudah dilewati 2 X 24 jam hendaknya diberitahu penuntut umum.

4. Penyadapan
Penyadapan diperkenalkan dalam Rancangan, akan tetapi diberi persyaratan yang ketat. Pasal 83 ayat (1) Rancangan berbunyi: "Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan." Jadi, pada prinsipnya penyadapan dilarang. Penyadapan dengan demikian bersifat pengecualian.

Penyadapan pun dilakukan dengan perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dengan demikian, tidak ada kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Pengecualian izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam keadaan mendesak dibatasi dan tetap dilaporkan kepada hakim melalui penuntut umum.

5. Prosedur Persidangan yang Mengarah Ke Adversarial
Di negara-negara lain seperti Italia dan Jepang sistem pemeriksaan sidang yang inquisitoir sudah ditinggalkan. Italia memperkenalkan sistem adversarial murni, yang artinya tidak ada lagi berkas perkara yang diserahkan oleh penuntut umum kepada hakim. Berkas perkara yang dibuat penyidik hanya untuk penuntut umum guna dipakai dalam persidangan. Yang diserahkan kepada hakim hanya surat dakwaan, nama terdakwa, surat penahanan dan daftar barang bukti.

Ketentuan prosedur persidangan sudah mengarah ke adversarial atau antara penuntut umum dan terdakwa/penasihat hukum lebih berimbang. Dengan demikian, peran aktif hakim yang memimpin sidang berkurang. Peranan berita acara juga berkurang oleh karena kedua pihak penuntut umum dan terdakwa/penasihat hukum dapat menambah alat bukti (saksi) baru di sidang pengadilan yang dapat ditolak oleh hakim, jika segalanya sudah jelas dan terang. Dengan demikian, ada kaitannya dengan tiadanya P 21, sehingga hubungan antara penyidik dan penuntut umum berlangsung terus sampai sidang pengadilan.

Adanya keberatan jika penuntut umum menambah sendiri pemeriksaan juga menjadi tidak beralasan, karena pada saat sidang sedang berlangsung pun penuntut umum dapat menambah alat bukti baru, terutama untuk menyanggah alat bukti baru a de charge yang diajukan terdakwa/penasihat hukum.

6. Alat-Alat Bukti
Alat bukti berubah, sehingga berdasarkan Pasal 177 Rancangan alat bukti yang sah mencakup:
a. barang bukti;
b. surat-surat;
c. bukti eletronik;
d. keterangan seorang ahli;
e. keterangan seorang saksi;
f. keterangan terdakwa;
g. pengamatan hakim.

Yang baru ialah barang bukti yang lazim disebut di Negara lain real evidence atau material evidence, yaitu bukti yang sungguh-sungguh. Disebut surat-surat (jamak) maksudnya ialah jika ada seratus surat, dihitung sama dengan satu alat bukti Sebaliknya, disebut ´seorang ahli´ atau ´seorang saksi´ maksudnya jika ada dua saksi maka memenuhi bukti minimum dua alat bukti. Ini sama dengan KUHAP Belanda yang menyebut geschriftelijke bescheiden (surat-surat) dan verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi). Bukti elektronik misalnya e-mail, SMS, foto, film, fotokopi, faximail, dst.

Sengaja keterangan saksi ditempatkan bukan pada urutan satu (sama dengan KUHAP Belanda) agar jangan dikira jika tidak ada saksi tidak ada alat bukti. Keterangan terdakwa berbeda dengan pengakuan terdakwa. Alat bukti “petunjuk” yang berasal dari KUHAP Belanda tahun 1838 yang sudah lama diganti dengan eigen waarneming va de rechter (pengamatan hakim sendiri) berupa kesimpulan yang ditarik dari alat bukti lain berdasarkan hasil pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Amerika Serikat disebut judicial notice. Tidak ada KUHAP di dunia yang menyebut petunjuk (Belanda: aanwijzing; Inggris: indication) sebagai alat bukti kecuali KUHAP Belanda dahulu (1838); HIR dan KUHAP 1981).

Dalam requisitoirnya penuntut umum dapat menguraikan dan menjelaskan hal-hal yang terjadi di sidang pengadilan dan memberi kesimpulan dari semua alat bukti yang telah dikemukakan, untuk memancing opini hakim yang menjurus kepada adanya bukti berupa “pengamatan hakim sendiri”.

7. Upaya Hukum
Upaya hukum Peninjauan Kembali juga diubah sehingga menjadi hanya berdasarkan dua alasan, yaitu ada novum atau putusan yang saling bertentangan. Salah atau keliru penerapan hukum bukanlah merupakan alasan PK. Jika benar-benar terjadi keliru penerapan hukum kemudian terdakwa dijatuhi pidana atau salah kualifikasi sehingga dijatuhi pidana lebih berat daripada seharusnya, maka upayanya adalah permohonan grasi kepada Presiden yang dapat diajukan oleh Jaksa Agung yang mewakli masyarakat.

Ditegaskan dalam Rancangan hanya jika terdakwa dijatuhi pidana dapat diajukan PK, artinya putusan bebas dan lepas dari segala tuntuan hukum tidak dapat diajukan PK. Ketentuan ini bersifat universal.

Mahkamah Agung memutuskan PK diterima ataukah tidak. Yang memutuskan apakah putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima ataukah dipidana lebih ringan dari putusan sebelumnya adalah pengadilan negeri, sebagai konsekuensi Mahkamah Agung tidak memeriksa fakta tetapi penerapan hukum (hal ini sama dengan konsep yang ada dalam KUHAP Belanda).

8. Perkenalan Plea Bargaining
Hal ini tercantum di dalam 197 Rancangan yang berjudul jalur khusus. Pada saat Penuntut Umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari tujuh tahun penjara, Penuntut Umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat. Pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari 2/3 dari maksimum. Di sinilah letak pengakuan yang memberi keuntungan (semacam plea bargaining). Hakim dapat menolak pengakuan ini dan meminta Penuntut Umum mengajukan ke sidang pemeriksaan biasa.

9. Saksi Mahkota (Kroon Getuige)
Salah satu hal yang paling sering disalahmengerti ialah saksi mahkota. Ada yang mengartikan saksi mahkota ialah jika para terdakwa bergantian menjadi saksi atas kawan berbuatnya. Justru hal itu dilarang karena berarti selfincrimination. Sebagai saksi dia disumpah, jadi jika dia berbohong dia bersumpah palsu, padahal dia juga terdakwa dalam kasus itu yang jika dia berbohong tidak diancam dengan pidana. Saksi mahkota hanya ada dalam buku teks dan yurisprudensi, tidak tercantum di dalam undang-undang. Saksi mahkota ialah salah seorang tersangka/terdakwa yang paling ringan perannya dalam delik terorganisasikan yang bersedia mengungkap delik itu, dan untuk “jasanya” itu dia dikeluarkan dari daftar tersangka/terdakwa dan dijadikan saksi. Jika tidak ada peserta (tersangka/terdakwa) yang ringan perannya dan tidak dapat dimaafkan begitu saja, tetap diambil yang paling ringan perannya dan dijadikan saksi kemudian menjadi terdakwa dengan janji oleh penuntut umum akan menuntut pidana yang lebih ringan dari kawan berbuatnya yang lain. Demikian ketentuan undang-undang Italia tentang saksi mahkota. Jadi, ketentuan tentang saksi mahkota yang dituangkan di dalam Pasal 198 Rancangan sesuai dengan asas oportunitas juga yang dianut di Indonesia. Tentu hal ini harus disampaikan oleh penuntut umum kepada hakim. Penuntut umumlah yang menentukan terdakwa dijadikan saksi mahkota. (DED/GN-01)

BACA JUGA: