GRESNEWS.COM - DPR optimistis pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selesai akhir 2013. Namun, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) justru pesimistis semua itu selesai bahkan pada periode DPR 2009-2014.

"Perlu kedisiplinan yang kuat agar pembahasannya runut dan konsisten. Selain itu, forum pembahasannya tidak bisa lagi sekadar mengandalkan metode Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)," kata peneliti PSHK Rachmad Maulana Firmansyah kepada Gresnews.com di Jakarta, Senin (11/3).

Firman mengatakan perlu ada terobosan dalam pembahasan RUU tersebut di DPR. Misalnya, kata dia, mempertimbangkan agar pembahasan antara satu kelompok materi atau isu bisa konsisten dengan kelompok materi atau isu lainnya. "Apalagi kita juga masih dihadapkan pada tingkat kehadiran yang minim pada rapat-rapat alat kelengkapan seperti Komisi," katanya.

Firman mengingatkan seandainya pembahasan RUU KUHAP dan KUHP tidak selesai oleh DPR periode 2009-2014 maka DPR periode 2014-2019 tidak memiliki kewajiban secara otomatis untuk meneruskan sisa pembahasannya. "DPR periode mendatang akan memulai dari awal. Itu pun dengan catatan RUU KUHAP dan KUHP masih ditempatkan dalam Prolegnas 2015-2019," ujarnya.

Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin mengatakan DPR baru akan mulai melakukan pembahasan, dengan membentuk panja, membentuk tim perumus, tim sinkronisasi. "Yang akan kita paralelkan dengan beberapa undang-undang yang kita bahas. Mudah-mudahan tugas ini dapat kami selesaikan pada akhir tahun ini," kata Azis kepada Gresnews.com, Senin (11/3).

Pada 4 Februari 2013, Badan Musyawarah DPR menyepakati untuk menyerahkan pembahasan RUU KUHAP kepada Komisi III DPR. Keputusan Bamus tersebut menjawab pertanyaan sejumlah pihak tentang siapa yang diberi tugas menyelesaikan RUU KUHAP setelah drafnya diserahkan pemerintah kepada DPR pada 11 Desember lalu. Rapat Pleno Komisi III, 6 Maret lalu, berhasil menyelesaikan tahapan pertama pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP. Seluruh fraksi menyatakan persetujuan untuk menuntaskan pembahasan undang-undang yang menjadi sumber dari segala sumber dalam berpraktik hukum itu.

Wakil Ketua Badan Legislasi Dimyati Natakusumah mengatakan pembahasan di Komisi III itu diarahkan agar upaya mewujudkan criminal justice system itu dapat diwujudkan sebab kalau di pansus (panitia khusus) bisa berbeda nanti isinya.

Ia mengingatkan agar Komisi III dapat menghasilkan KUHAP yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Sebagai contoh produk undang-undang sebelumnya ternyata dapat digunakan sejak zaman kolonial Belanda.

"Kita jangan kejar tayanglah, kita harus bisa menghasilkan KUHAP yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Perlu pula dijaga produk legislasi ini jangan sampai bertentangan dengan konstitusi kita," kata Dimyati.

Disharmoni
Sementara itu sejumlah kalangan melontarkan harapan dan kritik terhadap landasan dan materi RUU KUHAP. Firman mengatakan beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pembahasan RUU KUHAP adalah potensi disharmonisasi dalam penerapan sistem peradilan pidana terpadu. "Belum nampaknya penegasan dalam hal harmonisasi hukum acara pidana di Indonesia dan belum jelasnya pemetaan terkait masa transisi pasca-disahkannya RUU KUHAP kelak," tegasnya.

Pengamat hukum dari Universitas Bhayangkara Jakarta, Armansyah Nasution, menyoroti pentingnya keadilan restoratif (restorative justice) dalam RUU KUHAP. Kendati sudah ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, kata Armansyah, fenomena sistem peradilan pidana terpadu secara formil juga membutuhkan modifikasi dalam konteks penegakan hukum (law enforcement).

"Yang tidak kalah pentingnya adalah dalam RUU KUHAP terkait proses penyidikan perlu ditekankan bahwa seorang penyidik minimal bergelar akademis S-1 hukum atau psikologi untuk meningkatkan profesionalisme Polri," katanya.

Sementara itu anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mengatakan meskipun PDIP menyetujui beberapa poin dalam RUU KUHAP yang diajukan oleh pemerintah tetapi PDIP akan menyiapkan draf tandingan.

"Upaya ini merupakan jawaban dari kegelisahan para pencari keadilan dan sebagai langkah untuk mengurai karut-marutnya kondisi penegakan hukum di Indonesia," ujarnya.

Lebih lanjut Eva mengatakan RUU KUHAP yang akan mulai dibahas pada masa persidangan ini adalah draf produk hukum yang selama ini dinantikan, setelah proses yang tidak berkesudahan dan keinginan untuk menjadikan RUU KUHAP menjadi lebih sempurna.

"Mengingat pentingnya pembahasan kedua RUU ini bagi perkembangan hukum di Indonesia maka sesuai dengan tujuan hukum, pembahasan RUU KUHAP semata-mata hanya ditujukan untuk memberikan keadilan sebagai nilai dasar hukum, kepastian hukum sebagai nilai instrumental dan kemanfaatan sebagai nilai praksis," kata Eva.

Selain tujuan pembahasan, lanjut Eva, rumusan landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis yang akan ditetapkan dalam pembahasan RUU  KUHAP juga harus mempertimbangan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.

"Sehingga pada nantinya RUU KUHAP yang telah disahkan menjadi UU tidak ditafsirkan secara kaku oleh aparatur penegak hukum dan berbanding lurus dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia," tegasnya.

Sementara itu Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan pembaruan KUHP nasional semula semata-mata diarahkan pada misi tunggal yaitu dekolonialisasi KUHP dalam bentuk rekodifikasi dalam sejarah perjalanan bangsa, baik perkembangan nasional maupun internasional.

"Lebih jauh terkandung juga misi yang lebih luas yaitu misi demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana serta adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar serta norma-norma yang diakui internasional," kata Amir. (DED/DPR.GO.ID/GN-01)

BACA JUGA: