JAKARTA - Petisi 28 mendatangi Kejaksaan Agung, Kamis (31/1). Mereka melaporkan Wakil Presiden Boediono, dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Mereka ingin bertemu Jampidsus Andhi Nirwanto, tapi gagal dan diarahkan ke bagian pengaduan.

"Penting kasus ini diangkat agar Boediono bisa menjadi menteri, Gubernur BI dan sekarang wakil presiden. Saya khawatir hasil uang korupsi digunakan untuk sogok dapatkan jabatan," kata aktivis Petisi 28 Hari Rusli Moti saat ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (31/1).
 
Petisi 28 menyerahkan dokumen putuhan Mahkamah Agung mengenai putusan tiga direksi Bank Indonesia, yang sudah divonis ditingkat kasasi. Anehnya, hanya Boediono yang tidak diadili. "Kehadiran kami untuk melaporkan tiga dokumen kasasi MA terkait BLBI, di dalam tiga dokumen itu dengan jelas dan tegas menyebutkan Boediono sebagai direksi BI saat itu turut serta ambil putusan menyalahgunakan wewenang," tambahnya.

Dia menjelaskan dengan ketiga dokumen ini, Kejagung tidak punya alasan tidak meneruskan kasus BLBI yang melibatkan Boediono."Segera memanggil, memerilksa, memanggil dan menahan Boediono. Kalau Kejagung tidak berani kami mencurigai Kejagung antek skandal BLBI, turut serta menikmati BLBI. Kejagung harus tunjukkan bersih dari BLBI," jelasnya.

Boediono dinyatakan oMA terlibat dalam skandal bersama direksi BI lainnya, karena menyalahgunakan kekuasaan sewaktu menjabat direktur BI tahun 1997, yang menyebabkan kerugian negara Rp18 triliun. Dalam temuan Petisi 28 putusan pengadilan putusan kasasi MA nomor.979 K/PID/2004, dan putusan kasasi MA 981 K/PID/2004 (masing-masing tanggal 10 juni 2005), terungkap dugaan sangat kuat peranan utama Boediono dan kasus BLBI.

Bahwa 15 Agustus 1997, Boediono bersama-sama dengan anggota direksi BI lainnya telah membuat keputusan dalam rapat direksi isinya "untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank yang disebabkan adanya penarikan pihak ketiga dalam jumlah besar sehingga terjadi saldo giro debet pada BI, diputuskan untuk diberikan kelonggaran berupa fasilitas saldo debet, sampai dengan gejolak yang mereda. Untuk melayani penarikan tunai dari nasabah penyimpan dana, kantor pusat dan kantor pusat dan kantor cabang bank diperkenankan. Menarik secara tunai di kantor pusat meskipun bersaldo negatif."

Bahwa pada 20 Agustus 1997, terlapor bersama dengan anggota direksi BI lainnya pada saat itu telah membuat keputusan dalam rapat direksi yang isinya "Dalam kaitannya dengan keputusan rapat direksi tanggal 15 Agustus 1997, dan mengingat kondisi likuiditas perbankan belum pulih, dimana salah satu bank mengalami penarikan dana pihak ketiga yang cukup besar ialah Bank Danamon, sehingga secara khusus direksi memberikan fasilitas penyediaan saldo debet bank tersebut, demikian pula bank lainnya yang mengalami kesulitan likuiditas.

Bahwa keputusan rapat direksi 15 dan 20 Agustus 1997 tersebut adalah bertentangn dengan ketentuan pengenaan sanksi berupa penghentian sementara dari kliring lokal terhadap bank yang tidak dapat menyelesaikan saldo debetnya pada BI.

Rapat direksi 15 dan 20 Agustus 1997 telah menyimpang dari ketentuan surat keputusan direksi BI nomor 26/162/KEP/ir tanggal 22 Maret 1994, karena tidak dihadiri oleh kepala hukum dan sekretariat BI atau pejabat yang ditunjuk selaku notulen, dan pelaksanaan rapat tidak didukung dengan daftar hadir rapat direksi dan risalah rapat direksi guna menentukan apakah keputusan rapat direksi tersebut diputuskan lebih dari setengah anggota yang hadir.

Adanya perbuatan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan dilakukan sebagai perbuatan berlanjut, putusan kasasi MA no.979 K/PID/2004 dan putusan MA no 977 K/PID/2004 masing pada 10 Juni 2005, telah menghukum Hendrobudiyanto, Heru Soepraptomo dengan pidana penjara 1,6 tahun dan membayar denda sebesar Rp20 juta

Bahwa pada 21 Agustus 1997, Boediono brsama Paul Soetopo Tjokronegoro, telah menyetujui dan atau memberikan fasilitas saldo debet PT Bank Harapan Sentosa, Bank Nusa Internasional, dan Bank Nasional

Menurut SK Direksi BI no. 14/35/KEP/DIR/UPPB 10 September 1981 jo. SE no:22/227/UPG 31 Maret 1990 jo. SE no:28/169/UPG, 5 Maret 1996 bank-bank tersebut seharusnya dikenakan sanksi ´stop kliring sementara." Perbuatan tersebut adalah tindak pidana korupsi, secara bersama-sama dan dilakukan sebagai perbuatan berlanjut, dan putusan MA no:981 K/PID/2004 tanggal 10 Juni 2005 telah menghukum Paul Soetopo Tjokronegoro dengan hukuman 1,6 tahun denda Rp20juta.

BACA JUGA: