Di penghujung masa jabatan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun ini, lembaga itu membuat gebrakan dengan menetapkan Sjamsul Nursalim bersama istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka dugaan kasus korupsi pada Senin (10/6/2019). Setelah melalui jalan terjal dan berliku, KPK akhirnya menjadikan keduanya sebagai tersangka kasus korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Penetapan kedua tersangka itu berdasarkan pengembangan perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sekaligus terpidana Syafruddin Arsyad Temenggung. Berdasarkan putusan hakim terhadap Syafruddin sejak tingkat pertama, ada kerugian negara hingga Rp4,58 triliun. Dalam putusan tersebut, Syafruddin dianggap telah menguntungkan Sjamsul.

Terkait pemilik BDNI, Sjamsul ini punya kisah berliku. Awalnya, aparat penegak hukum berupaya menangkap Sjamsul atas tuduhan penggelapan uang kucuran BLBI. Pada 16 April 2001, Sjamsul bahkan sempat ditahan oleh kejaksaan. Namun, Sjamsul meminta pembantaran (penangguhan penahanan) kepada kejaksaan dengan alasan berobat karena menderita sakit penyempitan pada pembuluh darah. Ia pun melenggang ke Singapura dengan dalih berobat dan tak pernah pulang lagi ke Indonesia.

Sejak terbitnya Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang SKL dengan presiden pada saat itu adalah Megawati Soekarnoputri, Sjamsul adalah orang yang berupaya melunasi utangnya dengan menyerahkan aset yang dia miliki kepada negara. Aset-aset itu dia serahkan kepada BPPN yang kala itu dikomandoi oleh Syafruddin Arsyad Temenggung.

BPPN yang kemudian memberi rekomendasi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang salah satu anggotanya adalah Menteri Keuangan era Megawati, Boediono. Sjamsul pun mengantongi SKL dan terbebas dari segala tuduhan, termasuk tuduhan penggelapan itu. Kejaksaan menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

Sekilas, persoalan BLBI yang mendera BDNI memang telah selesai. Namun, Kejaksaan Agung justru mengendus bahwa penerbitan SKL terhadap Sjamsul berbau bisnis dan penuh kecurangan. Pada 2007, Kejaksaan Agung memimpin jalannya proses hukum terhadap Sjamsul. Kejaksaan menyelidiki aset-aset yang diserahkan Sjamsul kepada BPPN. Diduga, Sjamsul menyerahkan aset bodong yang nilainya tak setara dengan jumlah utangnya.

Sayangnya, Kejaksaan Agung tak berhasil melacak aset-aset bodong tersebut. Sebaliknya, Jaksa Urip Tri Gunawan yang kala itu bertugas sebagai Ketua Tim Penyelidikan kasus BLBI menghentikan kasus tersebut dengan dalih kurang alat bukti. Namun beberapa hari setelah pemberhentian kasus tersebut pada Maret 2008, KPK justru menangkap Urip. Terungkap pula bahwa Urip menerima suap dari Artalyta Suryani, orang dekat Sjamsul Nursalim, agar menghentikan pengusutan kasus itu.

Terang saja, penangkapan tersebut menggegerkan publik. Tak tanggung-tanggung, Urip menerima uang suap sekitar Rp6 miliar. Memang, saat itu Artalyta sempat berkelit bahwa uang yang diberikan itu untuk keperluan bisnis bengkel milik Urip. Namun pengadilan jelas tak percaya. Berdasarkan rekaman yang berisi percakapan antara Urip dan Artalyta, tampak bahwa Artalyta meminta Urip untuk tidak melanjutkan kasus Sjamsul.

Langkah KPK menetapkan Sjamsul dan istri sebagai tersangka layak mendapat apresiasi sekaligus menjadi babak baru bagi penyelesaian perkara BLBI yang lebih dari 20 tahun ibarat benang kusut dan penuh ketidakpastian. Namun, KPK diharapkan tak berhenti pada kasus Sjamsul semata namun juga mengusut para obligor lain yang nyata-nyata menggangsir uang negara. Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), hingga 2006, sedikitnya 65 debitur BLBI pernah diperiksa oleh kejaksaan dan kepolisian. Hasilnya, hanya 16 orang yang kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Penyelidikan dan penyidikan kasus terhadap 11 orang dihentikan. Selebihnya, sebanyak 38 pelaku, tidak jelas proses hukumnya.

Proses penegakan hukum perkara BLBI yang setengah hati ini tidak bisa dilepaskan dari beberapa kebijakan pemerintah, dari era Presiden Megawati hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang lebih memprioritaskan pengembalian uang negara daripada penegakan hukum. Sikap pemerintah dan buruknya kinerja aparat penegak hukum akhirnya membuat banyak pihak kehilangan harapan terhadap upaya penuntasan kasus BLBI.

Penetapan status tersangka terhadap Sjamsul menjadi bukti keseriusan KPK. Bahkan KPK sebaiknya mengambil alih perkara-perkara korupsi BLBI yang belum diselesaikan atau telah dihentikan oleh kejaksaan. Perkembangan ini seharusnya menjadi momentum bagi Presiden Joko Widodo di era kepemimpinannya yang kedua kali untuk mengusut tuntas para konglomerat pengemplang dana BLBI. Hingga publik dapat melihat kembali adagium bahwa hukum harus tetap ditegakkan meski langit runtuh, benar-benar dijalankan. 

BACA JUGA: