JAKARTA - Ridwan Tamin, Pegawai Negeri Sipil Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan sepanjang  2009-2011 izin PT. Chevron Pacific Indonesia (PT. CPI) untuk mengelola lingkungan hidup sudah mati.

"PT. Chevron itu memiliki izin dari 8 Maret 2006 sampai 8 Maret 2008, namun PT. Chevron sudah mengajukan izin baru. Pada 2008," ujar Ridwan saat bersaksi untuk Direktur PT. Green Planet Indonesia (PT.GPI) Riksy Prematury di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rabu (23/1).

Ridwan menambahkan pada 2010 PT. Chevron masuk kedalam kategori merah yang berarti melanggar dan tidak memenuhi ketentuan KLH. Oleh karena itu PT. Chevron diberi sanksi administrasi oleh Kementrian Lingkungan Hidup. Karena memiliki rapor merah PT. Chevron harus melakukan perbaikan lingkungan hidup (bioremediasi).

Meski begitu, Ridwan menyatakan tidak diatur dalam peraturan KLH menangani penanganan pelaksanaan proyek bioremediasi apakah membawa rekanan atau tidak. "PT. Chevron mendapat rapor merah karena ada perubahan proper (standar) dari KLH."

Seperti diberitakan sebelumnya, terdakwa Harland bin Ombo, Direktur PT. Sumigita Jaya bersama Riksy Prematury, Direktur PT. GPI, diduga melakukan korupsi dengan pegawai PT. Chevron (Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, ,Widodo dan Bachtiar Abdul Fatah) menganggarkan kegiatan yang terkait dengan lingkungan dari tahun 2003 sampai 2011 dengan biaya US$270 juta. Proyek bioremediasi dilakukan PT. Chevron itu dinilai fiktif oleh Kejaksaan Agung. Proyek bioremediasi itu dikerjakan PT. Green Planet Indonesia bekerja sama dengan PT. Sumigita Jaya. Tetapi, saat diselidiki, kedua perusahaan itu tidak memenuhi persyaratan teknis dan sertifikasi dari pejabat berwenang soal pengolahan limbah. Akibat hal ini, kerugian awal negara ditaksir mencapai US$23,361 juta atau setara lebih dari Rp200 miliar. PT. Chevron diduga sengaja menyewa tenaga yang tidak berkompeten dalam bidang bioremediasi dengan menggelembungkan anggaran.

BACA JUGA: