JAKARTA - Kepala Divisi Sipil Politik Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Moch. Ainul Yaqin, menerangkan larangan perempuan duduk mengangkang di sepeda motor yang diserukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Lhokseumawe tidak mempunyai norma hukum yang mengikat.

"Larangan dalam bentuk "Seruan Bersama Nomor 002/2013" yang ditandatangani pada 2 Januari 2013 oleh para pemangku kebijakan di Kota Lhokseumawe tersebut tidak jelas kedudukannya dalam tata hukum Indonesia," katanya dalam siaran pers yang diterima redaksi, Jumat (11/1).

Dia menambahkan, produk hukum dalam bentuk "Seruan Bersama" tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian keberadaan "Seruan Bersama" bukanlah sebagai peraturan yang mengikat.
 
"Jika "Seruan Bersama" tersebut dianalogikan dengan "Surat Edaran" maka jika merujuk ke Pasal 1 butir 43, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 55 Tahun 2010 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri disebutkan "Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak".
 
Mengingat isi "Seruan Bersama" hanya berupa pemberitahuan, maka dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan.

"Oleh karena itu "Seruan Bersama" tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir berbagai peraturan di atasnya maupun perundang-undangan yang berlaku. Dan sifatnya hanya pemberitahuan dan tidak bisa dikenakan sanksi bagi yang tidak mengindahkannya, karena "Seruan Bersama"  bukanlah norma hukum," tegasnya.
 
Dia juga menyebut, "Seruan Bersama" yang dikeluarkan oleh Pemkot Lhokseumawe tersebut telah mereduksi berbagai aturan perundang-undangan Hak Asasi Manusia (HAM) terkait dengan kebebasan berekspresi.

BACA JUGA: