KETIADAAN calon hakim agung (CHA) dari jalur nonkarier dalam 12 nama yang diusulkan Komisi Yudisial ke Komisi Hukum DPR tidak dianggap sebagai sebuah batu sandungan dalam reformasi sistem peradilan nasional.

"Memangnya harus orang yang dari luar bidang hukum yang bisa melakukan reformasi sistem peradilan? Kan tidak," ujar anggota Komisi III DPR RI, Ruhut Sitompul, saat berbincang dengan gresnews.com, Jakarta, Selasa (15/5). �

Ketua Muda Pidana Khusus MA, Djoko Sarwoko, menepis dugaan bahwa terpilihnya hakim agung dari jalur karier bakal menghambat reformasi sistem peradilan. "Hakim karier tidak menghambat reformasi. Seperti saya sudah delapan tahun jadi hakim agung, saya lebih reformis dari hakim agung yang dari jalur nonkarier," kata Djoko, dalam pesan singkat yang diterima gresnews.com.

Hakim Agung Gayus Lumbuun menilai, keputusan KY yang mengusung ke-12 nama itu sudah sangat tepat. Sebab, dalam proses seleksi calon hakim agung bukan mempertimbangkan dari jalur mana si calon itu mendaftarkan diri.

"Tidak semua hakim karier atau nonkarier itu bisa memenuhi kriteria yang diharapkan. Kebetulan saja, yang terpilih dalam periode kali ini adalah calon dari jalur karier seluruhnya karena mereka mampu memenuhi kriteria yang dituntut dari seorang hakim agung," kata Gayus saat dihubungi gresnews.com.

Hal serupa dilontarkan anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat, yang menyebutkan bahwa perkara reformasi peradilan merupakan ranah pimpinan Mahkamah Agung (MA). "Mereka itu kan satu tim antara ketua dan wakil dari setiap kamar peradilan di MA. Reformasi peradilan sangat ditentukan oleh peranan dan wawasan dari pimpinan MA yang secara kolektif mestinya bisa melakukannya," ujar Martin.

Martin menduga, tidak adanya calon hakim agung dari jalur nonkarier karena reaksi atas pilihan Komisi III DPR terhadap kandidat yang sebelumnya diusulkan oleh KY. Dari enam calon, Komisi Hukum DPR hanya memilih dua hakim agung dari jalur karier. Sedangkan empat lainnya dipilih dari luar lingkup institusi peradilan.

"Pilihan itu agaknya mengecewakan para hakim, karena jabatan hakim agung itu kan merupakan cita-cita hakim yang paling tinggi," ucapnya.

Adaptasi
Menurut Ruhut, proses adaptasi yang mesti ditempuh oleh hakim agung dari jalur nonkarier membutuhkan waktu relatif panjang. Akibatnya, kinerja hakim agung yang bersangkutan bisa dipastikan akan terhambat.

"Hakim nonkarier sudah tidak punya kemampuan, sudah itu harus belajar dulu satu tahun lebih. Hasilnya? Menumpuklah itu perkara. Karena lawyer saja harus belajar satu tahun untuk menjadi hakim," tegas politikus Partai Demokrat itu.

Djoko mengakui, hakim agung dari jalur nonkarier umumnya lebih lamban dalam upaya penyesuaian karena adanya perbedaan lingkungan. "Sementara, hakim karier akan lebih cepat beradaptasi karena memang habitatnya di sana," tegasnya.

Gayus menambahkan, hakim agung dituntut harus secepatnya melakukan akselerasi dalam pelaksanaan tugas-tugas kesehariannya. Pasalnya, MA merupakan institusi yang menuntut performa yang optimal serta kemampuan yang juga mumpuni dari para kandidat hakim agung.

"Ada perdebatan, misalnya, jika seorang kandidat kurang dari sisi kapabilitas, itu bisa ditingkatkan nanti ketika lolos seleksi. Patut diperhatikan, MA bukan institusi pembelajaran. MA adalah lembaga instan yang harus segera menjalankan fungsi hakim agung karena yang ada hanya masa orientasi dan pembekalan, bukan pelatihan," urai mantan anggota Komisi III DPR yang terpilih menjadi hakim agung dari jalur nonkarier.

Kriteria kandidat
Gayus menambahkan, KY mempersyaratkan tiga kriteria dalam melakukan seleksi terhadap calon hakim agung. Para kandidat itu diseleksi berdasarkan kapabilitas, kredibilitas, serta kesehatan baik fisik maupun psikis.

"Ketiga kriteria itu yang menjadi acuan bagi KY dalam bursa pemilihan calon hakim agung, jadi bukan dari jalur apa si calon itu," ujarnya.

Seperti diketahui, KY telah menyetorkan 12 nama calon hakim agung kepada DPR RI untuk maju ke tahap uji kelayakan dan kepatutan. Ke-12 nama kandidat itu adalah hakim tinggi Pengadilan Tinggi Padang, Amriddin; Kepala Pengadilan Tinggi Utama Jakarta, Mayjen TNI Burhan Dahlan; hakim tinggi Pengadilan Tinggi Padang, Desnayeti; hakim tinggi Pengadilan Tinggi Semarang, Heru Iriani; dan Kepala Pusat Diklat Teknis Peradilan MA, I Gusti Agung Sumanatha.

Selanjutnya, hakim tinggi Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, James Butar Butar; Wakil Kepala Pengadilan Tinggi Manado, Made Rawa Aryawan; dan hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Maria Anna Samiyati. Nama lainnya yakni Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Daming Sanusi; Kepala Badan Pengawasan MARI, Syarifuddin; hakim tinggi Pengadilan Tinggi Medan, Ohan Burhanuddin dan hakim tinggi Pengadilan Tinggi Jambi, Wahidin.

BACA JUGA: