GRESNEWS.COM - Barcelona harus menjalani laga yang berat Rabu dini hari, mengejar defisit dua gol dari AC Milan setelah takluk pada laga leg pertama di San Siro pada 20 Februari lalu. Tetapi pendukung Barcelona sangat optimistis klubnya akan mampu mengatasi defisit dua gol dan menyingkirkan AC Milan dari persaingan Liga Champions tahun ini.  

Tujuh kali pertemuan di Liga Champions, Barca berhasil meraih tiga kali kemenangan, satu kali kalah dan tiga kali seri. Sementara Milan baru meraih satu kali kemenangan, tiga kali kekalahan dan tiga kali seri.

Hal yang menarik adalah AC Milan yang mempunyai keuntungan dua gol dari pertemuan pertama selalu memberikan komentar-komentar di media yang menyanjung Barcelona sebagai tim terbaik di dunia dan mempunyai potensi sangat besar untuk menyingkirkan mereka. Massimo Ambrosini, kapten AC Milan, percaya bahwa kesempatan lolos masih terbuka lebar bagi Barcelona, walaupun Rossoneri datang ke Camp Nou dengan keuntungan dua gol. Massimiliano Allegri, pelatih AC Milan, menekankan bahwa timnya harus bermain lebih baik mengingat kekuatan ball possession dari Barcelona. Pernyataan-pernyataan dari pihak AC Milan ini menggarisbawahi hal yang sama yang dilakukan AC Milan sebelum leg pertama tiga minggu lalu, dimana mereka memberikan pujian setinggi-tingginya kepada tim Barcelona dan cenderung mempersiapkan ciri khas taktik yang kental dari sepakbola Italia.

Kekalahan Barcelona dari AC Milan tiga pekan lalu telah berhasil mengguncang dunia sepakbola. Sebelum pertandingan, publik sepakbola dunia memperkirakan Barcelona akan menang dengan mudah mengingat AC Milan yang tengah membangun tim dengan pemain-pemain muda yang kurang berpengalaman di kancah Liga Champion. Bahkan saat ini AC Milan dianggap tidak memiliki bintang yang mampu mewakili Milan di antara jajaran klub elite sepakbola Eropa. Cesc Fabregas pada waktu konferensi pers sebelum pertandingan tanggal 20 Februari menyampaikan rasa hormatnya terhadap AC Milan dan sejarah klub yang luar biasa, akan tetapi menganggap AC Milan saat ini tengah dalam proses pembangunan tim dan kehilangan para bintang besar. Publik sepakbola dunia mempunyai pandangan seragam bahwa AC Milan hanya sebagai batu loncatan Barcelona untuk menuju fase selanjutnya.

Kutu Buku
Tak banyak yang tahu kalau AC Milan sejak lama telah meninggalkan sepakbola yang hanya mengandalkan nyali dan perasaan. Simon Kuper dan Stefan Szymanski, penulis Soccernomics, menceritakan sejak lama divisi medis internal AC Milan telah mengetahui bahwa hanya dengan mengetahui cara melompat seorang pemain, mereka dapat meramalkan dengan tingkat akurasi 70% apakah sang pemain akan menderita cedera atau tidak.

"Mereka kemudian mengumpulkan jutaan data mengenai tiap-tiap pemain di dalam tim dan mengolahnya dengan menggunakan komputer, dan akhirnya mereka berhasil menemukan rahasia awet muda. (Ini masih tetap menjadi rahasia; tidak ada klub lain yang memiliki Milan Lab dan laboratorium itu tidak mau mengungkapkan penemuan mereka kepada publik dan itulah alasannya mengapa para pemain di klub-klub lain pensiun pada usia 30-an)," tulis Soccernomics.

Faktanya, sebagian besar starter Milan yang mengalahkan Liverpool pada pertandingan final Liga Champion 2007 berusia di atas 30 tahun: Kapten Paolo Maldini (38), Fillipo Inzaghi (33) yang mencetak dua gol saat itu. "Boleh dibilang piala itu sebenarnya dimenangkan oleh Milan Lab dan sistem database mereka. Ini rupa-rupanya bentuk lain dari kisah kemenangan para kutu buku (triumph of the geeks)."

Direktur Milan Lab Jean Pierre Meersseman, seorang perokok berkebangsaan Belgia, mengatakan anda dapat mengemudi mobil tanpa panel kendali (dashboard), tanpa informasi apapun, dan itulah yang terjadi di dalam dunia sepakbola. Ada banyak pengemudi handal, banyak mobil bagus, namun kalau anda juga mengemudi dengan bantuan panel kendali maka semuanya akan jadi lebih mudah.

Ya, Milan Lab bisa jadi berperan besar di balik penaklukan terhadap Barcelona.

Demokrasi
Barcelona memiliki pendukung fanatik yang selalu memenuhi stadion Nou Camp berkapasitas 99,354 orang setiap Barca bertanding. Barcelona menjadi klub kebanggaaan bukan saja kota Barcelona akan tetapi identitas Catalan.
Dibentuk tahun 1899, Bercelona FC menjadi simbol budaya Catalan dan Catalanisme. Sehingga Barcelona FC menyandang moto Més que un club  atau bisa diartikan bebas "lebih dari sekadar klub".

Tidak seperti banyak klub sepakbola lainnya para seporter Barcelona memiliki dan menjalankan klub sepakbola Barcelona. Berbagai catatan sejarah mencatat hal menarik yang merupakan simbol kebesaran keterwakilan publik Catalan di stadion Camp Nou. Pada tahun 1925, pendukung Barcelona menyanyikan lagu God Save The King lagu kebangsaan Inggris untuk memprotes penguasa Diktator Spanyol waktu itu Miguel Primo de Rivera, stadion kemudian ditutup selama enam bulan dan menandakan era transformasi sepakbola amatir Barcelona menjadi sepakbola profesional. Setelah terjadi perang sipil dimana wilayah Barcelona menjadi target pengeboman dengan total kematian 3.000 orang Catalan oleh pemerintahan kerajaan Spanyol, bendera Catalan dan nama yang berkaitan dengan Catalan akhirnya dilarang dipergunakan oleh klub sepakbola Barcelona.

Pada era tahun 1950-an sampai awal tahun 1970-an Barcelona mengalami masa-masa sepakbola yang agak suram. Hal ini karena pengaruh pemerintahan diktator Jenderal Franco. Jenderal Franco memberikan dukungan yang luar biasa besar terhadap klub sepakbola rival abadi Barcelona yaitu Real Madrid. Salah satu konspirasi politik yang terkenal adalah bagaimana Jenderal Franco terlibat dalam merekrut pemain legendaris Real Madrid Alfredo Di Stefano, yang melibatkan rivalitas antara Barcelona dan Real Madrid dan menunjukkan dukungan pemerintah diktator Jenderal Franco terhadap Real Madrid. Barcelona kembali menemukan jalan menuju kejayaan ketika klub dipimpin oleh presiden klub Josep Luiz Nunez. Keputusan terpilihnya presiden ini sangat berkaitan erat dengan proses transisi demokrasi setelah era penguasa diktator Jenderal Franco di Spanyol.

Soccernomics mengulas periode 1956 hingga akhir 1960-an. Liga Champions didominasi oleh klub-klub ibukota di negara-negara yang dipimpin oleh rezim fasis. Dari sebelas turnamen piala Champions pertama, delapan di antaranya dimenangi oleh Real Madrid (klub kesayangan Jenderal Franco) atau Benfica (dari ibukota Portugis yang diperintah oleh diktator Salazar).

Pada awal 1970-an, dominasi ibukota fasis mulai terkikis. Salazar meninggal pada 1970. Namun, bahkan setelah fasisme lenyap, tim-tim dari ibukota negara diktatorial masih merajai. Steaua Bucharest, dipimpin oleh anak diktator Rumania Nicolae Ceausescu meraih Piala Champions pada 1986. Red Star Belgrade menang pada 1991 saat Yugoslavia terpecah-pecah.

Mungkin, seandainya Inggris dikuasai komunis, tim ibukota seperti Arsenal pasti akan mendapatkan banyak keuntungan. Lihatlah Dinamo Berlin yang didirikan pada zaman Jerman Timur dengan tujuan agar gelar juara liga tidak keluar dari ibukota. Presiden klub itu sampai runtuhnya Tembok Berlin adalah Erich Mielke, kepala polisi rahasia Jerman Timur, Stasi, yang sangat ditakuti. Ia fans Dinamo. Semua pemain terbaik Jerman Timur harus bermain untuk Dinamo. Ia juga berbicara kepada wasit dan Dinamo selalu menang. Dinamo juara Liga Jerman Timur mulai 1979-1988. Inilah kasus paling gila ketika politik mencampuri sepakbola.

Di sisi lain, tim-tim ibukota negara demokrasi tidak bisa berbuat banyak selama 40 tahun pertama Champions. Mungkin ada pengecualian, Ajax Amsterdam yang menjuarai Champions empat kali. Tapi Amsterdam hanya menjadi ibukota dari namanya saja. Pemerintahan Belanda, Ratu Beatrix, dan kedutaan semuanya di Den Haag, kota yang tidak pernah punya tim sepakbola yang bagus.

Kaum Buruh
Perusahaan riset pasar Sport+Markt pada 2008 melakukan survei terhadap 9.600 pecinta sepakbola di 16 negara Eropa dan menghasilkan Barcelona sebagai klub paling dipilih dengan estimasi jumlah fans 44,2 juta. AC Milan ada di urutan delapan dengan 21 juta fans.

Pada penghujung Abad ke-19 buruh-buruh migran datang berbondong-bondong ke kota-kota seperti Milan dan Barcelona. Populasi Barcelona naik tiga kali lipat pada periode itu menjadi 533.000 jiwa. Sementara Milan mulai membangun jalur-jalur kereta baru tidak lama setelah reunifikasi Italia.

Begitu para pedagang menjadi kaya raya, mereka membentuk klub sepakbola. Juventus pada 1897. Milan dan Barcelona dua tahun kemudian. Klub tumbuh bersama dengan pertumbuhan kota.

Barcelona mengalami kemajuan. Pada 1950-1960-an sekitar 1,5 juta penduduk Spanyol pindah ke Barcelona. Hampir semua desa pedalaman ditinggal oleh penghuninya. Di tanah-tanah gersang di luar Barcelona, permukiman kumuh bertebaran, sama seperti Jakarta sekarang. Banyak yang buta huruf. Hampir tidak ada yang bisa berbahasa Catalan, bahasa setempat. Akhirnya banyak dari mereka melabuhkan cintanya pada Barca. Ini adalah cara tercepat untuk menyatukan diri mereka.

Kota-kota industri adalah produk dari sebuah era istimewa. Di sanalah Revolusi Industri berakhir dan seringkali menyakitkan. Di kota industri, klub sepakbola sangat terkenal. Klub menjadi simbol keunggulan mereka atas ibukota. Ketika Barcelona menjuarai sesuatu, misalnya, Presiden Catalonia akan tampil di balkon istana di Placa Sant Jaume dan berkata, "Barca menang, Catalonia menang."

Dekorasi sejarah yang luar biasa akan mewarnai setiap sudut stadion Camp Nou di Barcelona. Barcelona vs Milan. Terserah siapa yang pembaca jagokan untuk menang.

Awan Puryadi
Analis Gresnews.com

BACA JUGA: