BURON kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang selama ini melenggang bebas di luar negeri akan resah. Mahkamah Agung (MA) melansir kebijakan untuk tidak menerima pengajuan Peninjauan Kembali (PK) yang tidak dihadiri oleh terpidana. Apresiasi atas kebijakan MA tersebut bermunculan. Tinggal, bagaimana realisasinya.

Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Tri Wahyu Kh menyatakan, keputusan MA itu diharapkan meningkatkan ketaatan hukum bagi terpidana, utamanya, terpidana kasus BLBI yang sering buron ke luar negeri.

"Selama ini publik mendesak hakim-hakim, termasuk hakim agung, agar memiliki integritas sebagaimana amanat undang-undang dan Surat Keputusan Bersama (SKB) kode etik dan pedoman perilaku hakim. Intergritas itu juga harus dimiliki pemohon PK," kata Tri Wahyu Kh kepada gresnews.com, Minggu (13/5).

Wahyu juga meminta supaya MA membuat surat edaran ke seluruh pengadilan mengenai keputusan itu, termasuk memperkuat Surat Edaran MA Nomor 6 Tahun 1988, dimana pemeriksaan persidangan harus dihadiri pemohon atau terdakwa atau terpidana.

"Dalam beberapa putusannya, hakim agung yang memeriksa perkara PK di tingkat MA juga sudah menerapkan bahwa PK harus ditandatangani langsung terpidana dalam persidangan permohonan di PN. Dengan dikeluarkannya kebijakan itu maka seluruh hakim di Indonesia di tingkat PN akan lebih taat dan memahami," ujar Wahyu.

Diwawancarai secara terpisah, Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Oce Madril berpendapat, keputusan MA untuk tidak menerima PK tanpa kehadiran terpidana itu memang bagus untuk mengantisipasi koruptor yang menjadi terpidana lari ke luar negeri. "Misalnya begini, mereka dihukum kemudian lari ke luar negeri, mengajukan PK, berharap hukuman ringan atau dibebaskan tidak akan bisa lagi," kata Oce kepada gresnews.com, Minggu (13/5).

Oce meyakini, keputusan MA itu sama sekali tidak melanggar hak asasi manusia, sama persis dengan asas resiprokal, bahwa kalau dia ingin mendapatkan hak maka dia harus menunaikan kewajibannya terlebih dahulu. "Jadi kalau ingin mendapatkan hak untuk PK, maka dia harus datang sendiri dan tidak boleh melarikan diri."

Menurut Oce, terlalu enak bagi terpidana apabila dimungkinkan mengajukan PK dari luar negeri. Kalau dia PK kemudian bebas dia bisa pulang, kalau dia dihukum tapi di luar negeri, maka negara itu akan dirugikan. "Ini salah satu kebijakan negara untuk mencegah kerugian negara. Yang berhak mengeluarkan kebijakan ini memang MA."

Bagaimana dampak bagi buron BLBI? Oce mengatakan, hal itu akan cukup mempengaruhi buronan BLBI yang ada di luar negeri. "Setidaknya akan membuat resah. Namun, apakah bisa ditangkap atau tidak itu tergantung polisi. Itu akan sedikit membantu aparat penegak hukumnya."

Lebih lanjut Oce berpendapat, jika memungkinkan, keputusan MA itu juga berlaku untuk tahap kasasi. "Tapi, ini akan sangat panjang perdebatannya. Sehingga kalau hak itu dihilangkan dengan kebijakan itu akan sulit. Kasasi diatur oleh UU, sementara PK walau disebutkan dalam UU tapi pelaksanaannya diatur oleh yurisprudensi atau kebijakan MA."

Apresiasi DPR
Dua anggota DPR, Tjatur Sapto Edy dan Martin Hutabarat menyambut positif keputusan MA tersebut. "Ya, bagus itu," kata Tjatur, anggota Komisi III DPR dari Partai Amanat Nasional, yang membidangi masalah hukum, Minggu (13/5).

Sementara itu, Martin Hutabarat menegaskan, kalau seseorang yang sengaja kabur ke luar negeri dan menjadi buron tidak sepantasnya diberi hak mengajukan PK. Lain halnya kalau seseorang karena penyakitnya yang serius sedang dirawat di luar negeri hendak mengajukan PK. "Boleh saja, asal dibuat di kedutaan Indonesia di luar negeri di tempat di mana yang bersangkutan dirawat," kata politisi Gerindra itu.

Sebelumnya diberitakan, Ketua Muda Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko menyatakan, MA tidak akan menerima atau mengabulkan PK yang diajukan terpidana yang buron. Keputusan itu merupakan hasil rapat pleno kamar pidana umum dan pidana khusus.

Sebagai catatan, saat krisis 1997-1998, dana BLBI Rp147,7 triliun yang disalurkan kepada 48 bank ternyata diduga banyak yang diselewengkan oleh penerimanya. Beberapa mantan direktur Bank Indonesia telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.

Berikut riwayat hukum kasus BLBI:

Bank Ficorinvest: mantan presdir Ficorinvest, Supari Dhirdjoprawiro dan S. Soemeri divonis hukuman 1,5 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan pada tanggal 13 Agustus 2003. Saat ini masih bebas karena mengajukan kasasi.

Bank Umum Servitia: Dirut Servitia, David Nusa Wijaya divonis 8 tahun penjara oleh MA pada tanggal 23 Juli 2003, sempat melarikan diri ke AS namun tertangkap di sana.

Bank Harapan Sentosa: Hendra Rahardja dihukum seumur hidup, namun melarikan diri ke Australia dan meninggal di sana, Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian, divonis 20 tahun, namun juga melarikan diri ke Australia.

Bank Surya: Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan, dihukum seumur hidup, namun melarikan diri ke Singapura.

Bank Modern: Samadikun Hartono, divonis 4 tahun, melarikan diri.

Bank Pelita: Agus Anwar, dalam proses pengadilan, namun sudah melarikan diri.

Bank Umum Nasional: Sjamsul Nursalim, penyidikan dihentikan.

Bank Asia Pacific (Aspac): Hendrawan Haryono, mantan wakil dirut Aspac divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Bank Indonesia Raya (Bank Bira): Atang Latif, melarikan diri ke Singapura sebelum kasusnya disidangkan.

BACA JUGA: