MENTERI Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo dipastikan tidak bersedia menjadi saksi dalam kasus dugaan suap pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang menyeret mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Wa Ode Nurhayati. Apakah penolakan Menkeu itu mengindikasikan adanya tekanan dari pihak tertentu yang terlibat dalam kasus ini?

Penolakan Menkeu bersaksi di KPK disayangkan sejumlah kalangan, mengingat kesaksiannya dianggap penting untuk mengungkap fakta dibalik kasus dugaan suap yang ditudingkan kepada politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, menilai kesaksian Agus Martowardojo sangat krusial karena yang menjadi salah satu benang merahnya adalah surat dari Menkeu kepada DPR yang mempertanyakan mengapa ada perubahan daerah penerima dana DPID.

"Padahal, sebelumnya sudah ada kesepakatan terkait daftar nama daerah penerima. Keterangan Menkeu bisa menjadi patokan bagi KPK untuk mengungkap adanya gejala korupsi," tutur Ade Irawan saat berbincang dengan gresnews.com, Jakarta, Kamis (10/5).

Dalam suratnya, Menkeu Agus Martowardojo menyatakan penolakannya menjadi saksian meringankan untuk Wa Ode Nurhayati. "Tanpa mengurangi hak tersangka, Beliau mengatakan tidak bersedia menjadi saksi," kata juru bicara KPK, Johan Budi, tanpa bersedia merinci alasan yang pasti mengapa Menkeu menolak permintaan dari kubu Wa Ode.

Tersandera
Kuat dugaan, Menkeu telah tersandera kepentingan para pihak yang ditengarai ikut terlibat dalam perkara penyuapan itu. Bukan mustahil Menkeu mendapat tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kasus itu. "Kemungkinan adanya tekanan itu bisa saja terjadi. Ini akan menjadi preseden yang buruk jika Menkeu memang benar-benar mengikuti kemauan pihak-pihak yang tak ingin agar kasus ini terbongkar," ujar Ade.

Sebelumnya Menkeu menyatakan siap bersaksi untuk Wa Ode, asalkan permintaan itu disampaikan oleh KPK. "Kalau KPK perlu, saya akan kerja sama dengan baik," kata Agus.

Belakangan, Agus menganulir kesediaannya dengan mempersoalkan integritas Wa Ode. "Apakah Wa Ode berintegritas atau tidak? Kalau dia punya integritas, saya siap bersaksi. Jika tidak, saya tak mau jadi saksi," tegasnya.

Jika itu yang terjadi, imbuh Ade, bukan hanya Wa Ode Nurhayati serta KPK yang dirugikan. Menkeu pun akan merugi. "Penolakan Menkeu ini tidak hanya kontraproduktif terhadap kepentingan penegakan hukum antikorupsi. Menkeu pun akan terus-menerus tersandera kepentingan pihak tertentu yang mungkin menekannya untuk tidak memberi kesaksian," kata Ade.

Panggil paksa
Seharusnya KPK lebih serius dalam mengejar kesaksian Menkeu. Hal itu mengingat adanya perubahan nama-nama daerah penerima DPID. Padahal, bukan mustahil bahwa daerah yang dicoret itu tidak lebih baik ketimbang daerah yang akhirnya masuk daftar penerima dana.

"Dari situ saja kita patut curiga bahwa ada main belakang dibalik pencairan dana program tersebut. Apalagi, program ini memang sudah melenceng sejak awal karena tidak melewati mekanisme pembahasan antara eksekutif bersama legislatif di komisi terkait. Program ini diputuskan hanya melalui forum sinkronisasi antara Banggar bersama Kemenkeu," imbuh Ade.

Untuk itu, kata Ade, seharusnya KPK bisa memanggil paksa Menkeu guna memberikan kesaksian di depan penyidik. "Mestinya KPK memaksa Menkeu karena dia merupakan saksi penting," tegasnya.

Menanggapi desakan ICW itu, Johan menyebut, KPK tak mungkin memaksa Menkeu untuk memberikan kesaksian. Hal itu seperti diatur dalam Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), seseorang tidak bisa dipanggil paksa selama yang bersangkutan berstatus saksi meringankan.

KUHAP mengatur, setiap pihak yang dipanggil wajib hukumnya untuk hadir. Tapi, untuk saksi meringankan, KPK tidak bisa memaksa apabila yang bersangkutan menolak untuk datang. "Kami tidak bisa memaksa," kata Johan.

Dalam perkara ini, Wa Ode diduga menerima suap Rp6 miliar dari pengusaha Fahd A Rafiq melalui Harris Suharman. Dia dijerat Pasal 12 huruf a dan b dan atau Pasal 5 ayat 2 dan atau Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi lantaran menerima Rp6 miliar dari dana penerima PPID sebesar Rp40 miliar di tiga kabupaten di Aceh, yaitu Pidie Jaya, Benar Meriah, dan Aceh Besar. Selain dijerat pasal suap, Wa Ode belakangan juga dijerat pasal pencucian uang pada kasus yang sama.

BACA JUGA: