Jakarta - Pelaku properti mendesak Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) segera membuka kembali keran penyaluran kredit bagi hunian bersubsidi yang mengandalkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Apabila tuntutan itu tidak segera dipenuhi, pengembang yang tergabung dalam Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mempertimbangkan akan melayangkan gugatan perwakilan kelompok atau biasa disebut gugatan class action terhadap Pemerintah.

"Kami tengah mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan class action terhadap Pemerintah karena gagal melaksanakan peranan dalam menjamin keberlangsungan usaha bagi pengembang rumah sederhana. Patut diduga, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) tidak menjalankan amanat UU Nomor 20/2008 tentang UKM yang mengamanatkan terciptanya iklim usaha yang sehat bagi pelaku usaha kecil dan menengah," ucap Ketua Umum DPP Apersi, Eddy Ganefo, di Jakarta, Rabu (1/2).

Menurut Eddy, mayoritas anggota Apersi adalah pengembang hunian tipe kecil. "Jangan samakan kami dengan konglomerasi pengembang yang memiliki dukungan permodalan besar. Anggota Apersi adalah pelaku usaha dengan modal terbatas sehingga membutuhkan cashflow yang terus berputar. Apalagi, kami juga adalah bagian dari rakyat bangsa ini," tegas Eddy.

Seperti diberitakan, selama dua bulan terakhir ini kredit bagi perumahan bersubsidi terhenti karena Kemenpera tengah menegosiasi kalangan perbankan untuk memangkas tingkat bunga pinjaman dari kisaran 8,15% hingga 8,5% berdasarkan perjanjian kerja sama operasional (PKO) FLPP yang berakhir Desember 2011 kemarin. Kemenpera bertekad menurunkan suku bunga ke kisaran 6 persen dalam PKO yang baru nanti.

Ironisnya, niat positif dari Kemenpera itu justru berbuah malapetaka bagi kalangan pengembang maupun konsumen properti. Betapa tidak, unit rumah sejahtera tapak (RST) tak bisa diserahterimakan karena bank tidak mau melakukan proses akad kredit. Hal itu tentu memicu kerugian yang besar kepada semua pemangku kepentingan.

Dari sisi pengembang, imbuh Eddy, kerugian yang terpampang secara jelas yakni kewajiban untuk membayar kredit konstruksi kepada bank yang besarannya terus membengkak. Padahal, kredit konstruksi ini bisa mencapai 60 persen dari total nilai proyek dengan tingkat bunga pinjaman sebesar 1 persen per bulannya.

Apabila Kemenpera tak juga menuntaskan problem penyaluran FLPP itu, Apersi mengancam akan menghentikan pembayaran beban bunga kredit konstruksi. "Bisa dibayangkan berapa total nilai kerugian apabila pengembang tidak bersedia membayar bunga kredit konstruksi. Hal itu juga akan membebani pembukuan bagi perbankan sehingga porsi kredit macet (nonperforming loan) dipastikan bakal ikut membengkak," pungkas Eddy.

BACA JUGA: