Jakarta - Public Interest Lawyer Network (Pilnet) menyatakan dikabulkannya uji materi UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan angin segar kepada setiap petani. Lahan dan tanah yang selama ini terampas oleh perusahaan perkebunan bisa direbut kembali oleh petani setempat.

"Putusan Mahkamah Konstitusi ini sekaligus pula menegaskan pengakuan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat dalam UUD 1945, yang menyatakan bahwa pengakuan terhadap hak asasi manusia dan keberadaan masyarakat adat merupakan pengakuan eksistensialis. Sehingga, hak asasi manusia dan keragaman, keunikan yang ada pada masyarakat adat diakui dan dilindungi oleh negara," kata anggota tim kuasa pemohon� pengujian UU Perkebunan, Andi Muttaqien, di Jakarta, Kamis (22/9).

Menurut Andi, Pasal 21 dan Pasal 47 beserta penjelasannya dalam UU Perkebunan, tidak mengikat lagi secara hukum. Dengan demikian, terjadi pengakuan yang diberikan oleh negara terhadap keberadaan masyarakat adat. Dilanjutkannya, pengakuan terhadap hak masyarakat adat tidak lagi bersifat simbolik semata. Namun, pengakuan yang sifatnya eksistensialis.

"Artinya pengakuan negara yang didasarkan pada sifat dan hakekat masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam golongan yang salah satunya adalah masyarakat adat dan ini merupakan kenyataan atau kebenaran umum (noteire feiten) yang jelas, terang dan tidak membutuhkan bukti lagi akan kebenaran dan keberadaannya," jelas Andi.

Para pengambil kebijakan Negara, seperti Presiden, Menteri Pertanian cq Dirjen Perkebunan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, serta aparat penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung beserta seluruh lembaga Peradilan di bawahnya, harus memperhatikan dan menjadikan Putusan Mahkamah Konstitusi ini sebagai indicator dan pegangan dalam setiap pengambilan kebijakan dan putusan yang berkaitan dengan hak-hak tersebut .

"Ketentuan Pasal 21 UU Perkebunan pada pokoknya berisikan larangan bagi setiap orang yang melakukan segala tindakan, yang dianggap dapat mengganggu jalannya usaha perkebunan. Sementara Pasal 47 berisi mengenai sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku yang dianggap melanggar Pasal 21," ujar Andi.

Sejak awal rumusan norma yang terkandung di dalam Pasal 21 dan Pasal 47 ini memang mengandung pengertian yang sangat luas dan tidak rigid.� Hal ini disebabkan karena ketentuan mengenai �perbuatan yang dilarang� dan �diancam pidana� dalam UU Perkebunan ini disusun dan dibentuk hanya berdasarkan atas praanggapan-praanggapan yang tidak diselidiki secara luas sampai kebenarannya.

"Akibatnya, perbuatan-perbuatan yang ditetapkan sebagai perbuatan yang dilarang dan dapat dipidana oleh UU Perkebunan ini dirasakan sebagai bertentangan dengan nilai (value) dan rasa keadilan dalam masyarakat, bertentangan dengan kepastian hukum, bahkan bertentangan dengan politik hukum dan politik sosial yang tertuang dalam UUD 1945," jelas Andi.

BACA JUGA: