JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto membubarkan organisasi masyarakat Hizbur Tahrir Indonesia (HTI) dinilai mengejutkan. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyu Wagiman menilai, terlepas dari kontroversi terkait desakan sebagian kelompok kepada pemerintah, untuk segera mengambil langkah tegas terhadap organisasi yang dianggap intoleran, tindakan ini harus dilihat secara cermat dan hati-hati, dalam kerangka demokrasi dan negara hukum.

ELSAM melihat, jika langkah semacam ini dilakukan secara gegabah, justru dapat mengancam jaminan penikmatan hak atas kebebasan berserikat (right to a freedom of association). Hak tersebut dijamin dalam Pasal 28 dan 28E Ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 24 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Langkah pembubaran ormas ini juga berpotensi melanggar Pasal 22 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

"Meskipun kebebasan berserikat merupakan salah satu hak yang dapat dibatasi, namun sebagian ahli berpendapat bahwa bentuk-bentuk pembubaran merupakan bentuk pembatasan yang paling kejam, sehingga harus ditempatkan sebagai upaya terakhir (last resort)," kata Wahyu dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Selasa (9/5).

Dia memaparkan, dalam ketentuan Pasal 22 Ayat (2) ICCPR, memang dinyatakan kebebasan berserikat adalah bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights). Namun pembatasan itu harus diatur oleh undang-undang (prescribed by law) dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis, demi kepentingan keamanan nasional (national security) atau keamanan publik (public safety), ketertiban umum (public order), perlindungan akan kesehatan atau moral publik, atau atas dasar perlindungan akan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.

"Selain itu, tindakan pembubaran juga harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due process of law sebagai pilar dari negara hukum, dimana pengadilan memegang peranan kunci dalam prosesnya," ujarnya.

Karena itu dalam upaya pembubaran sebuah organisasi, kata Wahyu, pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel. Kedua belah pihak (pemerintah dan pihak yang dilakukan pembubaran) harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.

"Tindakan pembubaran melalui pengadilan juga hanya bisa ditempuh setelah seluruh upaya lain dilakukan, mulai dari peringatan (notification), penghentian kegiatan, sanksi administratif, hingga pembekuan sementara," terangnya.

Hal ini juga sebagaimana diatur ketentuan Pasal 60-Pasal 78 UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). "Artinya, tegas pemerintah tidak memiliki hak absolut untuk melakukan pembubaran suatu organisasi, dengan dasar alasan apapun," tegas Wahyu.

Maina Kiai, mantan Pelapor Khusus PBB untuk hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul secara damai, menyatakan dalam laporannya pada tahun 2012 (A/HRC/20/27) bahwa pembubaran organisasi secara paksa merupakan bentuk pembatasan akan kebebasan berserikat yang paling kejam. Oleh karenanya, langkah semacam ini hanya dapat dimungkinkan ketika ada bahaya yang jelas dan mendesak yang mengakibatkan adanya pelanggaran yang cukup parah terhadap hukum nasional suatu negara.

Dalam melaksanakan tindakan ini, perlu ditegaskan perihal pentingnya peran pemerintah untuk menjamin proporsionalitas dari tindakan yang dilakukannya tersebut. Agar langkah yang dilakukan berkesesuaian dengan tujuan yang sah yang ingin dicapai, serta pelaksanaan langkah semacam ini hanya dimungkinkan sepanjang langkah-langkah lunak (softer measures) sudah dianggap tidak mampu mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi yang hendak dibubarkan tersebut.

Pembubaran United Communist Party of Turkey (TBKP) oleh Mahkamah Konstitusi Turki, lantaran MK Turki beranggapan bahwa pendirian TBKP dapat mendorong lahirnya gerakan separatisme yang dapat mengancam keutuhan dan integritas wilayah Turki, dapat menjadi contoh dalam kasus ini. Terhadap putusan tersebut Pengadilan HAM Eropa (ECHR) menolak langkah yang dilakukan oleh MK Turki tersebut.

"Tindakan tersebut dianggap sebagai pencederaan terhadap penikmatan akan hak atas kebebasan berserikat. ECHR memandang bahwa pada saat TBKP didirikan, organisasi ini tidak sedikitpun menyatakan dirinya sebagai kelompok minoritas yang akan menggunakan haknya untuk menentukan nasibnya sendiri dan memisahkan diri (secession) dari negara Turki," kata Wahyu.

Menimbang sejumlah prinsip dalam hukum internasional HAM, hukum nasional di Indonesia, pengalaman sejumlah negara terkini, maupun realitas sosial politik Indonesia saat ini, ELSAM melihat, pemerintah harus menimbang beberapa hal terkait masalah ini. Pertama, perlunya Pemerintah Indonesia untuk menahan diri dan berhati-hati untuk tidak mengambil langkah-langkah represif yang dapat mengancam penikmatan hak atas kebebasan berserikat di Indonesia, dalam kerangka demokrasi hari ini.

Kedua, pemerintah Indonesia harus menjamin bahwa langkah-langkah yang dilakukan dalam membatasi penikmatan hak atas kebebasan berserikat, melalui pembubaran Ormas, haruslah berkesesuaian dengan standar pembatasan HAM dalam kerangka hukum internasional dan nasional, serta ketentuan dalam UU Ormas. "Termasuk memastikan bahwa langkah pembubaran adalah langkah terakhir (the last resort), jika upaya lain yang sifatnya softer measures telah dilakukan," pungkasnya.

Sebelumnya, pemerintah memutuskan membubarkan HTI. Menko Polhukam Wiranto menyatakan HTI membahayakan NKRI. "Aktivitas yang dilakukan nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan NKRI," ujar Wiranto dalam konferensi pers di kantornya, Jl Medan Merdeka Barat, Senin (8/5).

TIDAK BISA LANGSUNG DIBUBARKAN - Sementara itu, pakar hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, HTI tak bisa langsung dibubarkan. "Pemerintah tidak bisa begitu saja membubarkan ormas berbadan hukum dan berlingkup nasional, kecuali lebih dulu secara persuasif memberikan surat peringatan selama tiga kali," kata Yusril dalam keterangannya, Senin (8/5).

Jika langkah persuasif tidak diindahkan, kata Yusril, barulah pemerintah dapat mengajukan permohonan untuk membubarkan ormas tersebut ke pengadilan. Dalam sidang pengadilan, ormas yang ingin dibubarkan oleh pemerintah tersebut diberi kesempatan membela diri dengan mengajukan alat bukti, saksi, dan ahli untuk didengar di depan persidangan. Putusan pengadilan negeri dapat dilakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung.

Berdasarkan Pasal 59 dan 69 UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, ormas dilarang melakukan berbagai kegiatan yang antara lain menyebarkan rasa permusuhan yang bersifat SARA, melakukan kegiatan separatis, mengumpulkan dana untuk parpol, dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. "Atas dasar alasan itulah ormas berbadan hukum dapat dicabut status badan hukum dan status terdaftarnya, yang sama artinya dengan dibubarkannya ormas tersebut," ujar Yusril.

"Saya berpendapat pemerintah harus bersikap hati-hati, dengan lebih dulu menempuh langkah persuasif, baru kemudian menempuh langkah hukum untuk membubarkannya. Langkah hukum itu pun benar-benar harus didasari kajian yang mendalam dengan alat bukti yang kokoh. Sebab, jika tidak, permohonan pembubaran yang diajukan oleh jaksa atas permintaan Menkum HAM itu bisa dikalahkan di pengadilan, oleh para pengacara HTI," sambung Yusril.

Menurut Yusril, rencana pembubaran HTI merupakan persoalan sensitif karena HTI adalah ormas Islam. Walaupun belum tentu semua umat Islam Indonesia sepaham dengan pandangan keagamaan HTI, keberadaan HTI selama ini dihormati dan diakui kiprah dakwahnya.

Menurut Yusril, pemerintah wajib mencari tahu apa sebabnya, gerakan-gerakan keagamaan Islam di Tanah Air akhir-akhir ini menguat dan sebagian meninggalkan sikap moderat dan menempuh cara-cara radikal. Hal yang lazim terjadi adalah radikalisme muncul karena suatu kelompok merasa dirinya diperlakukan tidak adil, termiskinkan, dan terpinggirkan.

"Pemerintah harus bersikap proporsional memperlakukan semua komponen bangsa, sehingga semua golongan, semua komponen merasa sebagai bagian dari bangsa ini. Yang lemah terlindungi dan yang kuat tercegah dari tindakan sewenang-wenang," tegas Yusril.

TETAP BERDAKWAH - Sementara itu, pihak HTI sendiri menegaskan, tetap akan melakukan kegiatan dakwahnya, mulai di masyarakat umum hingga kalangan mahasiswa di kampus. Juru bicara HTI Ismail Yustanto menegaskan aktivitas dakwah akan tetap berlanjut. "Ya, kita lanjutkan bukan hanya di kampus saja. Kita dakwah di mana saja, akan terus melakukan dakwah," kata Ismail di kantor pusat HTI, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (8/5).

Dia mengatakan tidak ada yang salah dengan aktivitas dakwah yang dilakukan di kampus-kampus. Bahkan dia berani menyebut mahasiswa dan mahasiswi yang ikut kegiatan HTI bisa makin baik perilakunya.

"Itu kan dakwah untuk membina mahasiswa menjadi dan memiliki kepribadian karakter Islam. Menjadi lebih soleh, dia semakin mengerti pada orang tua, lebih hormat, terhindar dari narkoba dan seks bebas," tuturnya.

Sebab, dakwah yang HTI lakukan selama ini dianggap selalu memberikan hal-hal positif kepada para kaum muda. "Dipandang oleh para pemuda, ini hal yang positif," tutupnya.

Ismail Yusanto juga menegaskan, HTI hanyalah kelompok dakwah. "Kami sampaikan bahwa kami adalah kelompok dakwah yang bergerak di negeri ini, yang kami yakini sebagai solusi permasalahan yang tengah dihadapi oleh negeri ini. Kita tahu negara kita ini menghadapi masalah," ucap Ismail.

Dia juga menyebut permasalahan yang dialami Indonesia sangat kompleks, mulai kemiskinan, korupsi, hingga masalah moral. Karena itu, HTI, yang mayoritas anggotanya anak muda, terdorong untuk memberikan solusi terhadap pemasalahanan tersebut.

"Sebagai anak bangsa yang digerakkan oleh para pemuda, kami terdorong untuk mengambil peran menyelamatkan negeri ini. Di dalam membawa negeri ini ke dalam melalui jalan dakwah. Dakwah yang dilakukan oleh HTI adalah bentuk tanggung jawab kami atas masa depan negeri ini," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: