JAKARTA, GRESNEWS.COM - Persoalan Kelebihan jumlah (overcrowded) warga binaan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) menjadi masalah  serius yang dihadapi pemerintah. Pasalnya, overcrowded, sebuah Lapas bisa menimbulkan banyak persoalan. Mulai dari gangguan keamanan, ketertiban, pelanggaran Hak Asasi Manusia, hingga masalah kesehatan.

Direktur Jenderal (Dirjen) Lembaga Permasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) I Wayan Dusak mengakui hal ini. Menurutnya, saat ini ada 202.936 warga binaan di seluruh Lapas se-Indonesia. Sedang kapasitas Lapas idealnya hanya cukup untuk menampung 119.215 warga binaan. "Ada over kapasitas sebanyak 83.721 orang," katanya, Kamis (22/12).

Ia menjelaskan, pada tahun 2016 sebetulnya Dirjen Lapas sudah mencoba mensiasati persoalan overcrowded itu dengan menambah kapasitas Lapas untuk 2.087 warga binaan. Namun demikian, hal itu masih jauh dari mencukupi, karena jumlah warga binaan yang masuk Lapas pada tahun 2016 bertambah 29.364 orang dari tahun sebelumnya.

Adapun dari angka 202.936 orang tersebut, sebagian besar atau sekitar 58.835 orang, adalah narapidana kasus narkotika. "Itu berdasar data yang masuk hingga tanggal 21 Desember 2016," kata Dusak.

Menurut Dusak, kondisi overcrowded itu disebabkan lima hal. Pertama, tingginya angka kriminalitas di masyarakat. Kedua, minimnya upaya Pre-Trial Detention di kepolisian dan kejaksaan. Ketiga, tidak berimbangnya tingkat narapidana yang masuk Lapas dengan tingkat kapasitas hunian. Keempat, pemberlakuan PP. Nomor 99 Tahun 2012. Dan terakhir, terlalu banyak Undang-Undang yang menerapkan sanski pidana.

Pernyataan Dusak ini diamini oleh Arsil, peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP). Dalam kajian yang pernah dilakukannya, dari tahun 1945 hingga tahun 2009 Arsil melihat  ada perubahan signifikan mengenai jumlah UU yang menerapkan sanksi pidana berupa penjara dan denda.

Sebelum Orde Baru, atau dari 1945 hingga 1967, UU yang mengatur sanksi pidana dan denda hanya 3,1% dari seluruh UU yang ada. Di era Orde Baru, selama rezim itu berkuasa lebih dari 30 tahun, UU yang mengatur jumlah sanksi pidana dan denda meningkat hingga 32%. Dan di era reformasi, data saya sampai tahun 2009, jumlahnya meningkat lagi hingga 50%. Arsil menyimpulkan, selama 10 tahun pasca reformasi pemerintah telah mengeluarkan 106 peraturan yang menyoal sanksi pidana dan denda, hal itu menunjukkan pemerintahan saat ini malah makin represif terhadap masyarakat.

"Itu baru soal sanksi penjara dan denda, belum lagi kalau dilihat dari besaran ancaman," ujar Arsil, Kamis (22/12).

Lepas dari persoalan itu, Arsil juga menyayangkan tidak adanya evaluasi mengenai sanksi pidana yang mestinya dilakukan pemerintah. Padahal, di Kemenkumham ada lembaga yang bertugas melakukan evaluasi, yakni Sub-Direktorat Evaluasi Hukum Pidana yang ada di bawah Direktorat Administrasi Umum.

"Tidak adanya evaluasi hukum pidana menunjukkan bahwa dari dulu pemerintah kita tidak punya manajemen yang jelas soal politik pemidanaan. Makanya agak janggal ketika Dirjen Paskumham, bahkan menteri Humkam-nya sendiri teriak-teriak soal overcrowded atau over-capacity," papar Arsil.

Lepas dari kritik itu, I Wayan Dusak menyebut sudah berupaya menanggulangi masalah overcrowded dengan melakukan optimalisasi pemberian hak narapidana dengan sistem online. Dengan sistem itu, para narapidana bisa lebih mudah dan lebih cepat mengajukan remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, hingga cuti menjelang bebas. Menurut Dusak, meski Lapas masih mengalami overcrowded, setidaknya hingga November 2016, sebanyak 53.002 narapidana sudah keluar dari Lapas dengan diberikannya hak-hak tersebut.

"Ke depan, kita proyeksikan bisa menambah kapasitas Lapas untuk 15.000 orang. Selain itu, lewat perubahan Permenkumham No 21 Tahun 2016 pemberian Cuti Bersyarat juga ditambah waktunya dari 1 tahun 3 bulan menjadi 1 tahun 6 bulan," kata Dusak.
KUATNYA PARADIGMA PUNITIF - Pakar Hukum Pidana Topo Santoso menilai, persoalan overcrowded tidak bisa lepas dari kuatnya paradigma punitif dan retributif di kalangan masyarakat, bahkan di kalangan pemerintah dan pembuat Undang-Undang. Lewat paradigma tersebut, baik masyarakat, pemerintah, dan DPR seolah berfikiran bahwa setiap masalah sosial berupa tindak pidana hanya bisa diselesaikan dengan memberikan hukuman penjara atau kurungan.

"Teori pidana berupa retributif atau pembalasan masih mengakar kuat di masyarakat, bahkan juga di kalangan pengambil kebijakan, dan pembuat Undang-Undang," kata Topo, Kamis (22/12).

Topo menerangkan, saat ini, teori retributif yang memandang bahwa tujuan pidana hanyalah semata-mata sebagai pembalasan, sebenarnya sudah lama dikritik dan ditinggalkan. Diganti oleh teori lain, seperti teori utilitarian, rehabilitation, dan teori-teori lainnya. Namun demikian, tetap saja teori retributif-lah yang kini mengakar kuat di masyarakat.

"Kita melihat bagaimana masyarakat sering memberikan pressure kepada penegak hukum agar menjadikan seseorang sebagai tersangka, melakukan penahanan, dan menjatuhkan hukuman sekeras-kerasnya kepada pelaku. Pandangan punitif dan retributif masih sangat kuat melekat di masyarakat yang ingin penegak hukum menjatuhkan hukuman penjara kepada pelaku," tegasnya.

Terkait itu, Topo menilai salah satu persoalan yang turut berpengaruh terhadap fenomena overcrowded adalah minimnya sanksi alternatif pidana selain penjara atau kurungan. "Di berbagai negara, pidana non-pemenjaraan makin lama makin luas digunakan," katanya.

Sebagai perbandingan, Tomo menunjuk, putusan hakim di Australia menerapkan tiga kategori sanski non-pidana, yakni Unsupervised Orders (amar putusan tanpa pengawasan), Suprvised Orders (amar putusan dengan pengawasan), serta Substitutional Orders of Imrisonment (amar pengganti hukuman penjara).

Amar putusan tanpa pengawasan bisa berupa pembebasan, pelepasan, pemberian jaminan, serta denda. Sedang amar putusan dengan pengawasan, dalam implementasinya bisa berupa pemberian pelayanan kepada masyarakat, hukuman percobaan, juga pengawasan dan pembinaan intensif dari pemerintah. Sedang mengenai amar putusan pengganti hukuman penjara, hal itu bisa dilakukan dengan memberlakukan penangguhan hukuman serta melakukan tahanan rumah dan tahanan berkala.

"Tahanan berkala itu misalnya begini. Narapidana dibiarkan menjalani rutinitasnya dari Senin sampai Jumat, tapi pada Sabtu-Minggu dia harus masuk penjara. Itu bisa dilakukan untuk mengantisipasi overcrowded, sekaligus mengurangi biaya yang mesti dikeluarkan Lapas untuk terpidana" kata Topo.

Sebagai informasi, biaya kebutuhan dasar narapidana per hari saat ini adalah Rp25.543. Sedang biaya yang diharapkan Dirjen Lapas adalah Rp63.000. Biaya itu dialokasikan untuk biaya layanan tahanan (konseling, bantuan hukum, dsb), biaya pembinaan, biaya perawatan dan kesehatan, biaya makan, biaya keterampilan dan kegiatan kerja, serta biaya pendidikan,

Anggota Komisi III DPR yang juga anggota Panja RKUHP Arsul Sani menjelaskan bahwa di dalam RKUHP, pemberian sanksi pidana alternatif mulai diakomodasi. "Nanti ada bentuk pidana baru, yakni pidana sosial. Kalau misalnya orang mabuk di tempat umum dan merusak lampu, apa perlu dipenjara? Kenapa gak disuruh nyapu jalan dan mengganti lampu saja sebagai hukumannya?" papar Arsul, Kamis (22/12).

Selain itu, Arsul juga menjelaskan persoalan hukuman cambuk yang berlaku di Aceh. Menurut politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut, hukuman cambuk memang banyak dikecam banyak kalangan karena dinilai sebagai "hukuman purba" dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Namun demikian, dalam kunjungannya ke Banda Aceh beberapa waktu lalu, Arsul justru mendapati pelaku pidana yang lebih memilih diberi hukuman cambuk ketimbang dijebloskan ke penjara.

"Seorang Chinese Non-Muslim dipenjara 8 bulan karena terbukti menjual minuman keras. Sedang penjual miras beragama Islam diberi hukuman 15 cambukan. Yang Chinese ini bilang ke saya, dia mending dijatuhi hukuman cambuk 30 kali ketimbang harus meninggalkan keluarganya selama 8 bulan," kata Arsul.

Arsul menambahkan, hukuman cambuk diberikan bukan untuk menyakiti, tapi untuk membuat seorang terpidana malu hingga timbul efek jera atas perilakunya. Menurut Arsul, seorang pedagang miras yang yang mendapat cambuk 15 kali, mengaku dirinya cukup kesakitan, tapi rasa sakit itu cepat hilang setelah digosok pakai balsem.

"Mungkin karena ada hukuman cambuk juga penjara-penjara di Aceh malah tidak mengalami overcrowded," katanya. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: