JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana menempatkan narapidana kasus tindak pidana korupsi di pulau terluar kawasan Indonesia kembali muncul. Adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Yasonna Hamonangan Laoly yang kembali mengungkap wacana tersebut.

Rencana membangun penjara semodel "Alcatraz" untuk koruptor ini, menurut Laoly merupakan hasil dari rapat terbatas antara Kemenkumham bersama Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) serta berbagai instansi lain. Untuk diketahui, Alcatraz merupakan sebuah kompleks penjara super ketat yang dibangun pemerintah Federal Amerika Serikat di pulau Alcatraz yang terletak sejauh 2,01 kilometer lepas pantai San Fransisco, California.

Penjara Alcatraz --yang kini sudah tak berfungsi dan dijadikan museum-- adalah tempat pemerintah Federal AS memenjarakan terpidana paling kejam di AS. Nah, dalam wacana membangun penjara superketat di pulau terluar ini, pemerintah selain akan menempatkan koruptor, juga akan menempatkan narapidana kasus kejahatan luar biasa lainnya seperti terorisme dan narkoba di penjara tersebut.

"Kami putuskan kemarin di ratas (rapat terbatas), lagi kami kaji ini. Misalnya untuk bandar narkoba, teroris. Begitu juga koruptor yang besar-besar," kata Laoly di kantornya, Jumat (14/10).

Menurut Laoly, lapas di pulau terluar itu nantinya akan mendapat pengamanan yang cukup ketat. Namun masalah teknis pengamanan itu sendiri, dia mengaku, belum bisa mengungkapkan, begitu pula dengan pulau mana nantinya yang akan dijadikan lokasi lapas, Yasonna mengaku masih harus dikaji lebih dulu. "Yang pasti maksimum security. Saat ini masih dikaji dulu Kemenkopolhukkam," ujarnya.

Wacana pembangunan penjara di pulau terluar itu, muncul sebagai salah satu upaya untuk merespon paket reformasi hukum yang diluncurkan Presiden Joko Widodo antara lain berisi program pengurangan penjara yang terlalu penuh atau ´overcrowded´ penjara. Laoly mengatakan, ditempatkannya narapidana khusus itu tentunya akan mengurangi kesesakan lapas lain yang ada sebelumnya.

Nah, untuk mewujudkannya, kata Laoly, yang harus dilakukan pertama kali ialah mencari lokasi. Jika dana di APBN kurang maka bisa dilakukan ruislag atau tukar menukar barang milik negara. Dia mengakui, saat ini masalah overkapasitas penjara memang menjadi problem bagi pemerintah. Untuk sementara, pihak Kemenkumham akan menambah jumlah petugas di lapas yang mengalami kelebihan kapasitas. Tahun ini, ujar dia, akan ditambah sebanyak 5000 petugas.

Terkait lokasi, Kepala Badan Narkotika Nasional Komjen Budi Waseso sempat menyebutkan beberapa tempat. Salah satunya di pulau dalam gugusan Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Madura.

Selain itu, Buwas juga menyebut beberapa pulau terluar lainnya di Indonesia, yang sedang diteliti untuk nantinya digunakan sebagai penjara kasus narkotika. "Ada banyak, banyak ya, termasuk yang ada di daerah Papua, ada di daerah Maluku, ada di daerah Sulawesi, Sumatera, Jawa ada sebagian, ya sedang kita pelajari mana yang lebih cocok dari sekian banyak, tim akan menilai mana yang cocok akan kita gunakan," ujar Buwas beberapa waktu silam.

KPK DUKUNG - Menyikapi hal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku menyetujui rencana tersebut. Salah satu komisioner KPK Saut Situmorang bahkan mempunyai harapan wacana yang dilontarkan Kemekumham ini bisa lebih cepat terealisasi. "Kalau itu akan membuat negara ini lebih beradab, kenapa tidak? Itu kan amanah ideologi negara kita , sehingga kalau bisa ya jangan lama-lama tahun ini juga dilaksanakan," ujar Saut kepada wartawan, Jumat (14/10).

Saut mempunyai alasan menyetujui wacana ini. Ia menjelaskan dengan dipindakannya para tahanan khusus maka secara otomatis volume lapas akan berkurang, dan hal itu tentunya membuat para narapidana bisa lebih sehat secara jasmani. Selain itu untuk narapidana khusus yang ditempatkan di pulau terluar, Saut berpendapat mereka tentunya akan mendapat efek jera karena lokasinya yang sulit dijangkau.

Selain itu para narapidana lebih bisa berguna bagi masyarakat dengan melakukan hal-hal positif bagi masyarakat. "Jadi kalau tiap tahanan diberi hak mengelola dan wajib dikelola seluas dua hektar tanah untuk pertanian atau peternakan atau industri UMKM lainnya akan lebih baik," tutur Saut.

Selama ini, Indonesia sudah memiliki penjara di pulau terluar yaitu di Pulau Nusakambangan. Terpidana yang dipenjara di Nusakambangan merupakan napi kasus kejahatan pidana umum seperti pembunuhan sadis dan perampokan sadis. Selain itu ada juga pelaku kejahatan pidana khusus seperti terorisme dan narkoba.

Wacana menempatkan narapidana khusus seperti korupsi di pulau terluar pernah dicetuskan pada 2013 lalu oleh perwakilan Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane. Pernyataan Neta ini menyusul adanya kerusuhan besar yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta, Medan. Kemudian tahun 2015 dimunculkan lagi oleh Komjen Budi Waseso.

Hanya saja, dalam wacana Buwas, penjara pulau terluar ini akan dikhususkan bagi bandar narkoba kelas kakap. Buwas bahkan memunculkan ide yang lebih ekstrem. Buwas mengusulkan agar para bandar narkoba dibuang ke pulau terluar dan membuat lapas khusus bandar narkoba dengan ´penjagaan´ buaya di sekelilingnya.

Ucapan ini dilontarkan setelah ia berkunjung ke Lapas Cipinang, Jakarta Timur. Ia menceritakan, Lapas Cipinang yang dihuni 813 orang narapidana, sudah kelewat penuh. Sementara penjaga Lapas hanya berjumlah 13 orang dan dibagi dalam 2 waktu penjagaan secara bergiliran. Penjagaan di Lapas ini menurutnya tidak akan optimal sehingga sering terjadi pelanggaran.

"Saya sampaikan ke Kemenkumham. Serius nggak sih? Kalau tenaga kurang, taruh (narapidana) di pulau terluar. Suruh mereka survive. Kasih bahan mentah, kasih kantong, lalu lepas biar dia survive," ujar Buwas.

Buwas mendapatkan ide tersebut dari pengalamannya saat menjalani pendidikan di Akabri. Ia berhasil melewati tes untuk bertahan hidup di hutan. "Bagaimana dengan para bandar yang (akan) dihukum mati? Harus disterilkan. Bikin kolam buatan masukkan buaya. Sehingga kalau melarikan diri pasti dihajar buaya," katanya berapi-api.

BACA JUGA: