JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang lanjutan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso kembali digelar dengan menghadirkan saksi ahli forensik dr. Budi Sampurna dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada Rabu (31/8). Bertempat di Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Raya No 24, 26, 28 Jakarta Pusat, sidang yang berlangsung sekitar tiga jam tersebut secara garis besar masih memperdebatkan unsur sianida sebagai satu-satunya alasan di balik misteri kematian Mirna.

Seperti dalam persidangan–persidangan sebelumnya, kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, terus bertanya kepada ahli apakah benar Mirna meninggal karena sianida. Pada persidangan yang digelar Kamis (25/8) lalu, ahli toksikologi I Made Agus Gelgel Wirasuta dari Universitas Udayana membenarkan bahwa ada unsur sianida masuk ke dalam tubuh Mirna. Namun saat Otto mempertanyakan apakah sianida itu yang telah membunuh Mirna, Gelgel tidak memberikan jawaban tegas.

"Sudah terbukti bahwa di dalam lambung ada masih tersisa 0,2 miligram/liter (sianida). Berdasarkan keahlian saya, saya berkata, (sianida) masuk" kata Gelgel, Kamis (25/8).

Bagi Otto, masuknya sianida ke dalam lambung Mirna tidak berarti Mirna meninggal karena sianida. Lagipula, jumlah sianida yang hanya ditemukan sebesar 0,2 miligram/liter dianggapnya merupakan jumlah normal yang tidak menyebabkan kematian. Pendapat Otto dijawab secara ilmiah oleh Gelgel dengan mengemukakan teori mengenai sifat sianida yang mudah terurai, lebih-lebih setelah 3 hari sang korban dinyatakan meninggal. Hanya, Otto tetap menilai bahwa argumen teoritis semacam itu tidak bisa dijadikan alat bukti persidangan selama tidak dilakukan pemeriksaan lebih jauh terhadap darah dan urin Mirna.

Sikap Otto masih sama manakala dirinya menanggapi pernyataan-pernyataan dokter Budi. Dalam keterangannya, dokter Budi menyimpulkan bahwa temuan sianida pada lambung Mirna sesuai dengan keracunan sianida. Bagi Otto, pernyataan sesuai dengan keracunan sianida tidak sama artinya dengan keracunan sianida. Pernyataan itu di mata Otto merupakan pernyataan yang gamang. Tidak diperiksanya darah Mirna lagi-lagi menjadi pokok landasan argumen Otto.

"Darah tidak diperiksa karena jenazah Mirna sudah diformalin," kata dokter Budi.

Menurutnya, formalin berpengaruh terhadap kondisi darah jenazah. Jenazah yang meninggal diduga karena sianida sebetulnya masih bisa diidentifikasi dengan melihat warna darahnya. Darah pada korban racun sianida berwarna merah terang. Namun jika jenazah tersebut diformalin maka darahnya menjadi kecoklatan.

Hanya, meski racun sianida tidak terbukti pada darah, hati, dan urin Mirna, dokter Budi berkeras bahwa faktor kematian Mirna sesuai dengan keracunan sianida. Hal demikian berlaku karena adanya kausalitas berupa gejala-gejala keracunan sianida sebelum Mirna meninggal. Gejala yang didapat dari keterangan sejumlah saksi dan rekaman CCTV tersebut antara lain yakni napas korban tersengal-sengal, juga korban kejang-kejang sebelum akhirnya collaps.

"Temuan lambung rusak, ditemukan sianida dalam lambung, ada cerita mengenai gejala-gejala, adalah kemungkinan utama bahwa korban meninggal karena sianida," kata Budi.

Budi pun menegaskan kecil ada kemungkinan lain bahwa korban meninggal karena penyakit. Bukti yang ada mengarah pada keracunan sianida.

Budi menyampaikan pernyataan tersebut karena sebelumnya pihak penasihat hukum menanyakan kemungkinan Mirna meninggal karena penyakit.

TERBENTUR ETIKA - Tidak dilakukannya autopsi merupakan lubang dalam mengungkap kasus kematian Mirna. Dalam kapasitasnya sebagai ahli forensik sekalipun, dokter Budi mengakui bahwa pemeriksaan yang ia lakukan dengan hanya mengambil sampel cairan lambung merupakan pemeriksaan yang tidak optimal. Namun pemeriksaan forensik terhadap jenazah Wayan Mirna Salihin bisa dikatakan cukup memadai walaupun tidak optimal.

Tapi Otto Hasibuan terus berpendapat bahwa tanpa dilakukan autopsi terhadap jenazah Mirna maka dugaan bahwa yang bersangkutan meninggal karena sianida tidak bisa diterima. Dokter Budi menerangkan alasan tidak melakukan autopsi.

"Pada waktu itu keluarga keberatan kalau dilakukan pemeriksaan-dalam atau autopsi," katanya. Namun Budi menambahkan bahwa setelah menyatakan keberatan terhadap outopsi, pihak keluarga dan penyidik sepakat untuk paling tidak dilakukan tindakan pengambilan sampel untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Menurut dokter Budi, tanpa adanya permintaan dari penyidik maka tindakan autopsi terhadap jenazah seseorang tidak bisa dilakukan. Penyidik bisa meminta dokter forensik melakukan autopsi jika sebelumnya ada permintaan atau persetujuan dari pihak keluarga.

Hakim Binsar menanggapi hal tersebut sebagai salah satu kelemahan hukum di Indonesia. "Itulah salah satu kelemahan aturan di Indonesia. Aturan itu terlalu prosedural dan formalistik. Dokter tidak sensitif," kata Binsar.

Menanggapi hal itu, dokter Budi menjelaskan bahwa hal demikian erat kaitannya dengan etika orang Timur. Memang di sejumlah negara maju seperti negara-negara di Amerika dan Eropa, tindakan seperti itu—melakukan autopsi tanpa persetujuan keluarga—bisa dilakukan.

Sejatinya autopsi bisa dilakukan tanpa persetujuan keluarga dengan catatan andaikata setelah dua hari diberi informasi mengenai pentingnya autopsi, pihak keluarga tidak memberi tanggapan. Hanya, selain alasan di atas, Budi juga menegaskan tidak berani melakukan autopsi lantaran tidak adanya perlindungan hukum dan keamanan bagi pihak forensik jika memaksakan dilakukannya tindakan autopsi. "Kondisi itu berbeda dengan kondisi di negara-negara lain," katanya.

Menurut Budi, di Indonesia dan di negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan Yahudi tindakan autopsi umumnya ditolak keluarga korban. Hal demikian berbeda dengan yang terjadi di negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Nasrani. Namun, mengutip sebuah laporan yang dikeluarkan pada tahun 2010, Budi menyatakan bahwa di negara-negara seperti Amerika dan Eropa sekalipun jumlah tindakan autopsi mengalami penurunan.

"Hal itu terjadi utamanya karena ada perubahan nilai di masyarakat mengenai cara pandang mereka terhadap autopsi. Selain itu, alasan berikutnya adalah kemajuan teknologi yang memungkinkan pemeriksaan terhadap jenazah bisa dilakukan tanpa autopsi," kata Budi.

OPTIMISME JAKSA PENUNTUT - Pihak Jaksa Penuntut Hukum (JPU) diberi waktu oleh hakim untuk menghadirkan saksi hingga 1 September 2016. Setelah itu, saksi dan ahli yang dihadirkan adalah saksi dan ahli dari pihak penasihat hukum terdakwa. Tim JPU mengakui masih memiliki banyak saksi untuk dihadirkan. Namun mengingat batasan waktu yang diberikan, tim JPU harus berusaha keras untuk menghadirkan saksi dan ahli yang berkualitas.

"Kami sudah memperhitungkan soal batasan waktu yang diberikan hakim. Artinya, kami juga sudah mempertimbangkan saksi dan ahli mana saja yang akan kami hadirkan. Semua saksi dan ahli tentu penting, tapi kami harus bisa memilih mana yang urgent dan prioritas," papar JPU Ardito Muwardi.

Saat ditanya lebih jauh mengenai beban pembuktian yang dialamatkan pada JPU, Ardito memberi jawaban optimistis. "Kami yakin bahwa sampai saat ini pokok-pokok yang dibutuhkan untuk dituangkan dalam surat tuntutan sudah kami dapatkan," katanya pada gresnews.com seusai persidangan (31/8).

Sidang kematian Mirna Wayan Salihin akan dilanjutkan pada Kamis (1/9) dengan menghadirkan saksi ahli Kriminolog Ronny Nitibaskara dan Guru Besar Psikologi Sarlito Wirawan. Awalnya, kedua ahli dari Universitas Indonesia itu dijadwalkan akan hadir sebagai saksi ahli pada Rabu (31/8). "Izin yang mulia, karena Ronny Nitibaskara dan Sarlito Wirawan belum dapat mengkonfirmasi kehadirannya hari ini, jadi tidak ada saksi atau ahli lagi hari ini. Namun keduanya mengkonfirmasi untuk bersaksi besok," papar salah seorang anggota JPU (31/8) beberapa saat sebelum sidang ditutup.

Pada persidangan sebelumnya, tim penasihat hukum kerap merasa dirugikan lantaran tidak diinformasikannya keterangan mengenai saksi maupun ahli yang akan dihadirkan pada persidangan berikutnya. Hal demikian dianggap sesuatu yang tidak fair. "Harusnya diberitahu dong, siapa saja yang akan dihadirkan," kata Otto.

Pihak JPU mengklarifikasi hal itu dengan menyatakan bahwa tidak diberitahukannya sosok saksi maupun ahli yang akan hadir pada persidangan selanjutnya karena saksi maupun ahli yang diminta hadir tersebut tidak mengkonfirmasi kehadiran mereka jauh-jauh hari. "Konfirmasi Prof Edi juga baru kami terima pagi tadi," kata salah seorang JPU.

Mirna meninggal usai minum kopi bersianida di Kafe Olivier pada 6 Januari 2016. Saat itu Mirna bersama dengan temannya Hani dan Jessica sedang kumpul untuk reuni. Jessica datang lebih awal dan memesan minuman untuk Mirna. Jessica kemudian ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus ini karena diduga menaruh racun sianida di minuman kopi Mirna. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: