JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Anggapan bahwa Wayan Mirna Salihin  meninggal karena menenggak sianida kian diragukan, menyusul kesaksian ahli  yang menyebut tak menemukan jejak sianida di tubuh jenazah Mirna dalam jumlah besar. Saksi ahli yang dihadirkan pihak kuasa hukum terdakwa yakni pakar Toksikologi Kimia Dr. rer.nat. Budiawan bahkan meragukan analisa dan kesimpulan yang dihimpun penyidik.  

Budiawan yang dihadirkan kedua kalinya dalam sidang lanjutan kematian Mirna, pada Rabu (14/9) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menegaskan bahwa tak menemukan ada  sianida dalam tubuh jenazah Mirna. "Ya, tidak ada sianida berdasar data-data (hasil pemeriksaan tim laboratorium forensik Polri-red) ini," kata Budiawan.

Pernyataan Budiawan di atas adalah respons terhadap pertanyaan Otto Hasibuan, kuasa hukum terdakwa Jessica Kumala Wongso. Sebelumnya, setelah mendengar paparan Budiawan mengenai sianida, Otto menanyakan tanggapan Budiawan terhadap misteri kematian Mirna. "Apakah Saudara meyakini dalam kasus ini tidak ada sianida?"

Secara detail, Budiawan memaparkan bagaimana sianida bereaksi hingga menjadi racun--salah satu parameternya adalah dibuktikan dengan temuan unsur SCN (thiocyanat) pada tubuh korban--. Sebagai pakar Kimia Toksikologi Budiawan mengaku tidak kompeten dalam menentukan sebab kematian, namun ia hanya memeriksa reaksi bio kimia. "Itu ranah kedokteran. Pakar Toksikologi memeriksa reaksi biokimia," kata Budiawan. "Semua bahan kimia dapat ditelusuri atau dideteksi," tambahnya.

Sebagaimana dalam persidangan sebelumnya, Otto kembali menunjukkan hasil  laporan tim laboratorium forensik Polri mengenai hasil pemeriksaan terhadap jenazah Mirna,  berdasar tujuh barang bukti (BB). BB I adalah sisa Ice Vietnam Coffee Mirna pada gelas. Di dalamnya terbukti positif terdapat sianida sebesar 7400 mg/l. BB II adalah sisa Ice Vietnam Coffee Mirna yang sudah dipindahkan ke dalam botol. Di dalamnya terbukti positif sianida 7900 mg/l. BB III adalah bukti pendamping berupa kurang lebih 300 ml Ice Vietnam Coffee yang dibuat pihak Cafe Oliver. Hasil pemeriksaan BB III negatif sianida.

BB IV adalah 1 pipet cairan lambung yang diambil dari tubuh Mirna 70 menit setelah yang bersangkutan meninggal. Di dalamnya sianida dinyatakan negatif. BB V adalah 1 buah toples berisi cairan lambung Mirna, diambil sekitar 3 hari setelah Mirna dinyatakan meninggal. Pada BB V dinyatakan positif 0,2 mg/l sianida.

BB VI berupa 1 buah toples berisi  empedu dan hati, sedang BB VII berupa 2 buah spuit berisi cairan urin. Pada BB VI dan VII, hasil pemeriksaan juga menyebut negatif sianida.

Setelah mendengar paparan Otto mengenai hasil penelitian tim laboratorium forensik Polri, Budiawan menyebut laporan tim tersebut sebagai suatu hal yang menarik. "Menarik bagi kami, pertama soal Ph, kedua soal sianida. Metode apa yang digunakan untuk menetapkan sianida?" tanyanya.

Budiawan menegaskan pentingnya mengetahui metode yang digunakan tim laboratorium forensik Polri dalam mengukur temuan hasil yang mereka sajikan dalam laporan. Menurut dosen dan peneliti dari Universitas Indonesia itu, tanpa kejelasan mengenai metode apa yang digunakan, maka validitas laporan tersebut diragukan. "Angka-angka hasil pemeriksaan tim forensik Polri tidak menunjukkan tervalidasi," ujarnya.

Pernyataan Budiawan ini didasarkan pada temuan ganjil mengenai jumlah Ph pada Ice Vietnam Coffee yang diminum Mirna (BB I). Budiawan menyebut ada perhitungan yang tidak tepat terkait jumlah Ph tersebut.

"Secara literatur, jika jumlah sianida sebesar 7400 mg/l atau setara 14g/l, maka nilai Ph-nya adalah 11,64. Bukan 13 sebagaimana yang disebut dalam laporan," kata Budiawan.

Budiawan juga meragukan temuan jumlah sianida sebesar 7400 mg/l. Menurutnya, jumlah itu merupakan jumlah besar yang sudah masuk dalam kategori berbahaya. Dalam kesepakatan internasional, kadar aman sianida berkisar di angka 0,8-4,4 mg/l. "Jika lebih dari itu evakuasi darurat harus sudah dilakukan," katanya.

Adapun batasan normal untuk zat kimia bersifat kebauan adalah 2,0 mg/l hingga 10 mg/l. Di atas angka itu, menurut Budiawan, dapat dipastikan bahwa di lingkungan sekitar akan ditemukan bau menyengat dengan efek berbahaya.
 
Menanggapi  hasil uji coba ahli toksikologi forensik dari Puslabfor Polri yang memperkirakan besarnya sianida yang masuk ke tubuh Mirna, dengan sekali sedotan. Budiawan menganggap uji coba itu tidak valid.  

Ahli toksikologi forensik dari Puslabfor Polri, Komisaris Besar Nursamran Subandi, sebelumnya melakukan uji coba untuk mengetahui berapa volume sianida yang masuk ke tubuh Mirna, setelah ia menyedot satu kali minuman ice kopi Vietnam.  Dari hasil uji coba, didapati Mirna dapat menyedot kopi sebanyak 20 mililiter yang kemudian diperkirakan jika ada sianida dalam minuman es tersebut, maka 20 mililiter kopi mengandung 298 miligram sianida.

"Kemampuan sedot tiap orang berbeda-beda. Harus dibuktikan secara statistik," katanya di hadapan majelis hakim

Sebagaimana pendapat ahli dari pihak terdakwa sebelumnya, saat disinggung mengenai temuan sianida sebesar 0,2 mg/l pada lambung Mirna, Budiawan menyatakan hal tersebut bisa terjadi secara alamiah. "Bakteri mengurai nitrogen menjadi sianida," katanya.

Dengan kondisi jenazah sudah diformalin, Budiawan juga menyatakan bahwa kemunculan sianida tersebut terjadi karena adanya intervensi. Sedang untuk bahan penelitian, bukti kuat (golden evidance) yang bisa dijadikan sampel adalah organ yang belum ada intervensi. Dalam konteks kasus Mirna, golden evidance tersebut adalah cairan lambung yang diambil 70 menit pasca kematian Mirna (BB I).

Dengan laporan terdapat 7400 mg/l sianida pada gelas kopi Mirna, lalu ditemukan 0,2 mg/l sianida pada lambung, Budiawan menilai hal yang tersebut sebagai perkara yang mustahil. "Jika demikian, terjadi proses pengenceran sebanyak 30 sekian liter," kata Budiawan. Perhitungannya adalah 7400 dibagi 0,2. Hasilnya adalah 37. "Lambung manusia tidak mungkin menampung cairan sebanyak itu", pungkas Budiawan.


JPU PERTANYAKAN KOMPETENSI AHLI - Sebelum mempertanyakan paparan saksi ahli lebih jauh, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) sempat mempertanyakan kapasitas saksi ahli di dalam persidangan. "Apa latar belakang akademik Saudara? Apa tesis yang Saudara tulis?" tanya JPU.

JPU juga mempertanyakan mengenai data-data yang ahli peroleh dalam menganalisa keberadaan sianida.  Bahkan jaksa juga sempat mempertanyakan jurnal yang pernah ditulis ahli berjudul, "Peran Toksikologi Forensik dalam Menyingkap Kasus Keracunan". Dalam jurnal tersebut Budiawan menyebut bahwa sianida dalam kadar rendah mampu menyebabkan kematian.

Sementara dalam kesaksiannya, Budiawan menyebut dalam konteks toksikologi, jumlah 0,2 mg/l adalah jumlah yang tidak menyebabkan apa-apa. JPU mempertanyakan apakah jumlah tersebut termasuk kadar rendah, Budiawan dengan mantap mengiyakan pertanyaan JPU tersebut. "Ya, jumlah 0,2 mg/l termasuk kadar rendah," kata Budiawan.

Namun demikian, Budiawan berdalih  bahwa kadar rendah yang ia maksud pada jurnal tahun 2008 itu bersifat kualitatif. Tidak ada hitungan pasti mengenai standar kadar rendah yang ia maksud dalam jurnal tersebut.

Selanjutnya, saat ditanya soal pemeriksaan yang dilakukan Dr. Gelgel dengan mencampurkan sianida pada Ice Vietnam Coffee, Budiawan meragukan hasil pemeriksaan tersebut. JPU mengatakan bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan Gelgel itu ada seorang saksi yang turut mencium kopi percobaan.

Budiawan pun menyatakan bahwa sianida yang dicampur dalam kadar 7400 mg/l, sebagaimana hasil temuan tim laboratorium forensik Polri pada gelas kopi yang diminum Mirna, adalah jumlah yang berbahaya. Seseorang yang menghirup sianida dalam kadar sebesar itu, menurut  Budiawan, bisa meninggal.

Namun Budiawan menyangsikan hasil penelitian Gelgel mengenai waktu meninggalnya Mirna. Dalam konteks ilmu toksikologi, istilah menentukan waktu kematian seseorang berdasar cairan tubuh yang diperiksa disebut Kinetika Reaksi. Kinetika Reaksi atau perubahan zat kimia harus mencantumkan Ph, suhu, konsentrasi, serta tekanan saat penelitian tersebut dilakukan. Sementara pada laporan penelitian Gelgel, hal-hal tersebut tidak dicantumkan.

Budiawan mengaku, dirinya juga sudah melakukan percobaan serupa sesuai apa yang dilakukan Gelgel. Pada penelitian yang ia lakukan, berbeda dengan hasil penelitian Gelgel, Budiawan tidak menemukan adanya perubahan warna Ice Vietnam Coffee menjadi kuning kecoklatan. Budiawan mengatakan bahwa pihaknya hanya menemukan reaksi penguapan setelah 10 menit sianida tersebut dicampurkan ke dalam kopi. Reaksi penguapan tersebut mengeluarkan bau yang menyengat.

Berbeda dengan keterangan ahli yang dihadirkan JPU, Budiawan juga menyatakan bahwa sianida merupakan unsur kimia yang tidak bisa diperoleh sembarangan. "Aturannya ketat, sianida sudah termasuk chemical weapon (senjata kimia)," kata Budiawan. Terkait hal itu, Budiawan mendorong pemerintah menyusun UU tentang bahan kimia.


DUGAAN MATI GAGAL NAFAS - Sementara saksi ahli lainnya Gatot Susilo Lawrence  menguatkan pendapat Budiawan. Gatot yang juga dihadirkan kuasa Hukum Jessica Kumala Wongso juga membantah dugaan Mirna meninggal karena sianida.    

Lulusan Ohio University itu menyebut penyebab paling memungkinkan di balik kematian Mirna adalah faktor kegagalan pernapasan. "Penyebab terdekat kematian itu kegagalan pernapasan. Buktinya di bibir ada biru-biru hitam. Kita tidak bisa bantah Mirna meninggal karena kekurangan oksigen," kata Gatot.

Gatot mengaku menyadari, perdebatan antar-ahli di dalam persidangan, menimbulkan kesan masyarakat bahwa pendapat  ahli cenderung berpihak kepada yang mengundang dan membayar mereka. "Posisi ahli baik yang dipanggil kuasa hukum maupun JPU mestinya bicara sama. Jujur saya tidak enak mendengar bahwa ahli bicara tergantung siapa yang bayar. Ia mengaku tidak membela orang," tandas Gatot.

Dalam kesaksiannya, ia menguraikan. Bahwa sekiranya sianida masuk ke tubuh, tubuh akan lebih dulu memfilter, termasuk sianida. Sianida yang masuk ke dalam lambung, akan mendapat perlawanan dari lambung. Jika kemudian sianida tersebut tidak bisa didetoksifikasi oleh lambung, sianida akan masuk ke dalam jantung. Jantung juga akan melakukan filterisasi terhadap sianida. Jika lolos dari jantung, maka sianida akan kembali disaring oleh hati. Fakta demikian, menurut Gatot, hanya mungkin terjadi jika sianida yang masuk ke dalam tubuh jumlahnya banyak.

Sehingga mencermati jumlah sianida sebesar 0,2 mg/l di lambung Mirna setelah 3 hari dinyatakan meninggal, Gatot menduga hal itu muncul karena postmortem—perubahan pasca kematian. "Sianida yang ditemukan di lambung Mirna timbul karena postmortem. Ini yang ngomong bukan Gatot. Tapi dunia! dari kepustakaan!" ujarnya.

Menurut Gatot, jika persidangan berkeras meyakini bahwa temukan sianida sebesar 0,2 mg/l pada lambung Mirna adalah bukti untuk menentukan sebab kematian Mirna karena sianida, Indonesia akan menjadi tertawaan dunia.

Pendapat Gatot ini didasarkan referensi yang menyatakan bahwa sianida dalam kadar kecil muncul akibat postmortem. "Jangan katakan karena ada sianida di dalam lambung dikatakan seseorang meninggal karena sianida. Sianida baru bisa bikin mati jika ada di jantung, otak, dan hati," kata mengakhiri analisanya.

Persidangan misteri kematian  Mirna ke-20 berlangsung hingga menjelang pukul 00.00 WIB. Kuasa hukum dalam hal ini mendatangkan 4 ahli dan menurut mereka masih ada 12 saksi lain yang ingin dihadirkan.

Seperti diketahui Wayan Mirna Salihin pada Rabu, 6 Januari lalu meninggal setelah menenggak es kopi vietnam yang dipesan Jessica di Kafe Olivier, Grand Indonesia. Hanya dalam hitungan detik setelah menenggak minuman yang diduga mengandung sianida tubuh mirna menggelepar.  Jessica pun menjadi terdakwa kasus tersebut. Jaksa mendakwa Jessica atas pembunuhan berencana atau sesuai Pasal 340 KUHP. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: