JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang lanjutan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso kembali digelar dengan menghadirkan dua saksi pada Senin (29/8) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua saksi tersebut yakni dokter Prima Yudho dan dokter Adianto. Keduanya merupakan dokter Rumah Sakit (RS) Abdi Waluyo yang menangani Mirna saat korban dibawa ke RS tersebut pada Rabu (6/1) lalu.

Menurut kesaksian dokter Prima, kondisi Mirna sudah meninggal saat yang bersangkutan sampai di rumah sakit pada pukul 18.00 WIB. Namun demikian, dalam surat keterangan rekam medis yang dikeluarkan pihak RS Abdi Waluyo, Mirna dinyatakan meninggal pada pukul 18.30 WIB di hadapan dokter. Menanggapi ketidaksesuaian informasi tersebut, dokter Prima menyatakan, keterangan Mirna meninggal pukul 18.30 WIB didasarkan pada hasil pemeriksaan terhadap yang bersangkutan setelah dilakukan tindakan emergency dan pemasangan EKG (elektrokardiogram).

"Mirna datang jam 18.00. Jam 18.00 itu sudah henti napas dan henti jantung. Dan itu kita nyatakan sebelum datang ke RS. Tapi untuk memastikan pertolongan ke pasien, kita tetap melakukan tindakan emergency, yaitu berupa Resusitasi Jantung Paru (RJP), pasang oksigen, dan pasang infus. Karena tidak mungkin datang pasien walaupun sudah meninggal kita suruh pulang. Itu tidak etis. Jadi kita melakukan pemeriksaan. Dan itu butuh waktu," papar dokter Prima yang dihadirkan sebagai saksi pertama.

Tindakan RJP membutuhkan waktu sekitar 15 menit. RJP dilakukan untuk membuktikan ada-tidaknya respons pada nadi, jantung, dan napas orang yang diduga meninggal. Pada kasus Mirna, dokter Prima menyatakan, pihaknya tidak mendapatkan respons setelah dilakukan RJP. Setelah itu dilakukanlah pemasangan EKG (Elektrokardiogram) untuk memastikan aktivitas elektrik jantung pada tubuh Mirna.

Pemeriksaan terhadap Mirna dilakukan dokter Prima sekitar 15 menit, yakni dari pukul 18.00 WIB sampai dengan pukul 18.15 WIB. Pemeriksaan lebih jauh dilakukan oleh dokter Adianto yang saat itu bertugas di RS Abdi Waluyo pada pukul 15.00 WIB (6/1) hingga pukul 08.00 WIB (7/1). Menurut dokter Prima, surat rekam medis yang dikirimkan Direktur Utama pihak RS Abdi Waluyo dokter Sutrisno kepada pihak polsek Tanah Abang sebagian besar berdasar pada catatan pemeriksaan dokter Ardianto.

Dalam surat rekam medis tersebut dinyatakan, pada Wayan Mirna Salihin nadi tidak teraba, napas tidak ada, denyut jantung tidak ada. Dilakukan bantuan napas dan Resusitasi Jantung Paru selama lebih kurang 15 menit dan usaha bantuan yang dilakukan tidak ada hasilnya. Pupil melebar, refleks cahaya negatif, bibir kebiruan, dan hasil EKG tidak menunjukkan aktivitas jantung, Resusitasi Jantung Paru dihentikan.

Pasien dinyatakan meninggal di hadapan dokter, perawat, dan keluarga pada jam 18.30 WIB. Jam 19.00 WIB keluarga minta dilakukan pemeriksaan CT Brain. Kesan tidak ada kelainan. Jam 19.40 WIB keluarga minta dilakukan pengambilan sampel cairan lambung masing-masing 10cc, diserahkan kepada keluarga untuk tindak lanjut. Jam 20.00 WIB jenazah Wayan Mirna Salihin dibawa keluarga untuk disemayamkan di rumah duka.

Soal bibir kebiruan juga dipertanyakan pihak penasehat hukum terdakwa. Otto Hasibuan menegaskan, dalam surat rekam medis tertulis bibir kebiruan. Sementara dalam keterangannya sebagai saksi, dokter Prima menyatakan, dirinya tidak melihat gejala bibir kebiruan itu.

"Pada saat itu saya tidak melihat bibir ataupun badan. Saya hanya berpikir bahwa (pemeriksaan) napas dan jantung harus segera dilakukan. Kemudian saya melihat pasien itu pucat. Kebiruan itu mungkin dari pucatnya. Tapi saya tidak menyatakan itu kebiruan. Mungkin itu keterangan dokter lain," katanya.

Dalam kesaksiannya, dokter Adianto membenarkan, dirinyalah yang menyatakan bibir Mirna kebiruan. Bibir kebiruan yang ia lihat secara langsung pada Mirna disebutnya sebagai gejala umum orang meninggal. Selain bibir kebiruan, Ardianto mengatakan, dirinya tidak menemukan kejanggalan fisik apapun pada tubuh Mirna.

Selanjutnya, dokter Adianto juga menyebut, saat Mirna dinyatakan meninggal, ia mengatakan pada pihak keluarga, kemungkinan Mirna meninggal cukup beragam. "Bisa serangan jantung atau pecah pembuluh darah," katanya.

Adianto pun menawarkan untuk melakukan CT Scan. Hal itu dianggapnya sebagai langkah paling mudah untuk memastikan seseorang meninggal karena jantung atau pecah pembuluh darah. Namun, hasil CT Scan tidak menemukan pembuluh darah yang pecah.

Saat hakim ketua menanyakan kenapa tidak dilakukan autopsi, Adianto menjawab, fasilitas RS Abdi Waluyo tidak memadai untuk melakukan outopsi. "Keluarga juga menolak melakukan outopsi," katanya.

Hanya saja, meski menolak dilakukan autopsi, pihak keluarga tetap meminta tim RS Abdi Waluyo untuk mengambil sampel cairan lambung korban. "Alasannya karena saat itu ayah pasien curiga anaknya diracun," tambah Adianto menanggapi pertanyaan hakim.

SANGKAL KETERANGAN SAKSI - Pada persidangan sebelumnya yang digelar Kamis (25/8), tim penasehat hukum Jessica menegaskan, tanpa dilakukan autopsi secara menyeluruh—lebih khusus autopsi untuk pengambilan sampel darah, hati, dan urin—menyalahkan sepenuhnya kasus kematian Mirna kepada Jessica adalah sebuah kesalahan. Pendapat tim penasehat hukum didasarkan pada argumen saksi ahli toksikologi I Made Agus Gelgel Wirasuta dari Univeristas Udayana.

Gelgel memprediksi, jumlah sianida masuk ke dalam tubuh Mirna adalah sekitar 12-27 mililiter. Sedangkan sianida yang ditemukan dalam lambung Mirna hanya sebesar 0,2 mililiter. Jumlah 0,2 mililiter itu ditemukan atas hasil outopsi tim laboratorium forensik Polri yang dilakukan tiga hari setelah Mirna meninggal.

"Sianida sifatnya mudah menghilang, apalagi setelah tiga hari. Jangan dianalogikan dengan kafein," bantah Gelgel dalam kesaksiannya.

Pernyataan itu diungkap Gelgel menanggapi pernyataan Otto Hasibuan. Gelgel menyebut, sianida sudah larut ke dalam darah Mirna. Hanya, tidak diperiksanya sampel darah Mirna oleh Gelgel maupun tim laboratorium forensik Mirna terus digugat oleh Otto.

Selain memeriksa Mirna, Adianto juga mengakui dirinya turut memeriksa Hani dan Jessica. Hani diperiksa lantaran dirinya khawatir ikut meninggal. "Saya minum dari gelas yang sama dan kalau ada apa sesuatu di kopinya saya juga bisa mati," kata Adianto menirukan pernyataan Hani.

Adianto lalu memeriksa tensi darah, nadi, dan memeriksa Hani secara fisik di UGD. Namun ia tidak menemukan gejala apa-apa. "Kondisinya normal," tambah Adianto. Adianto memberikan resep obat anti racun pada Hani karena Hani mengaku merasakan adanya kelainan yang dikhawatirkan racun.

Sementara pemeriksaan terhadap Jessica dilakukan Adianto karena Jessica mengaku sesak. "Waktu saya datang saya tanya punya riwayat sakit apa, lalu Jessica mengaku punya sakit asma dari riwayat ibunya," kata Adianto.

Namun demikian, setelah Adianto memeriksa Jessica, dirinya mengaku tidak menemukan gejala penyakit asma. "Asma itu khasnya ada bunyi me-ngik-nya. Bunyi napas ngik-ngik begitu. Namun gejala itu tidak ada," tambah Adianto.

Namun demikian, Adianto menganggap, pengakuan Jessica tentang sesak itu lebih karena faktor psikologis. "Saya anggap karena Jessica shock temannya meninggal," ujarnya.

Di akhir persidangan, Jessica yang selama persidangan jarang sekali bicara, kali ini menyangkal pernyataan Adianto dengan menyebut dirinya tidak menyatakan ada riwayat asma dari sang ibu. "Izin Yang Mulia. Mengenai saya menyebut riwayat ibu saya itu tidak benar," kata Jessica, singkat.

MENUNTUT KECERMATAN HAKIM - Sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso ini memang sangat menyita perhatian publik. Berbagai perdebatan antara para saksi dan penasehat hukum selama persidangan yang berlarut-larut itu membuat publik geregetan.

Terkait hal itu, penilaian hakim terhadap persidangan memang harus cermat dan meyakinkan. Ahli pidana Profesor Edward Omar Sharif Hiariej yang dihadirkan sebagai saksi ahli pada Kamis (25/8) lalu menekankan peran penting hakim dalam konteks pembuktian. Dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum pidana dan ahli hukum acara pidana, Edi--demikian sapaan akrabnya-- menyebut ada enam instrumen pembuktian hukum pidana.

Secara teoritik, instrumen pertama adalah hakim memutuskan perkara berdasarkan alat bukti ditambah dengan keyakinan. Instrumen kedua adalah alat-alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan keterangan terdakwa. Instrumen ketiga adalah cara memperoleh, menemukan, mengumpulkan, sampai pada menyampaikan bukti di sidang pengadilan.

Sayangnya, poin ketiga tersebut menurut Edi, tidak diatur secara tegas dalam KUHAP. Instrumen keempat adalah beban pembuktian (lebih ditekankan pada penuntut umum). Instrumen kelima adalam minimum bukti. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia minimum bukti yang bisa digunakan untuk memproses hukum pidana adalah dua dari lima alat bukti.

Poin terakhir adalah kekuatan pembuktian. "Kekuatan pembuktian itu sepenuhnya adalah otoritatif hakim. Karena hakim yang mengikuti dari awal sampai akhir jalannya suatu persidangan. Silakan penuntut umum maupun penasehat hukum memperesentasikan bukti-bukti, namun kekuatan pembuktian ada pada hakim," ujar Edi.

Tidak adanya saksi langsung yang melihat terdakwa memasukkan sianida ke dalam gelas kopi yang diminum Mirna menjadikan persidangan ini kian pelik. Kecermatan Hakim dalam menarik kesimpulan selama persidangan jelas-jelas sangat diperlukan. Secara tidak langsung, Edi membicarakan hal tersebut dalam konteks menerangkan posisi saksi mata dalam kasus hukum pidana.

"Saksi mata dalam teori pembuktian adalah bukti langsung. Tapi dalam teori pembuktian dikenal juga istilah bukti tidak langsung yang diperoleh berdasar fakta-fakta yang ada—surat, keterangan saksi, keterangan ahli, maupun keterangan terdakwa—yang kemudian diperoleh petunjuk, maka hakim dapat memutuskan perkara tanpa adanya bukti langsung," ujarnya. (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: