JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya mengabulkan gugatan yang diajukan oleh dua korban salah tangkap polisi, Andro Supriyanto dan Nurdin Prianto. Hakim tunggal Totok Sapti Indrato memutus mengabulkan permohonan pemohon I (Andro Supriyanto) dan II (Nurdin Prianto) sebagian.

"Menolak eksepsi termohon I dan turut termohon. Dalam pokok perkara, mengabulkan permintaan ganti rugi permohonan pemohon I dan II sebagian. Memerintahkan negara (Kementerian Keuangan) untuk membayar ganti kerugian kepada pemohon I sebesar Rp36 juta dan kepada pemohon II sebesar Rp36 juta. Menolak permohonan pemohon selain dan selebihnya serta membebankan biaya perkara kepada negara," kata Totok saat membacakan putusan di PN Jakarta Selatan di Jalan Ampera Raya, Jakarta, Selasa (9/8).

Majelis hakim memang hanya mengabulkan sebagian dari tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh para pemohon. Sebelumnya para pemohon menuntut ganti kerugian dari kasus salah tangkap itu berupa ganti rugi sebesar Rp1 miliar. Alasan pemohon nilai kerugian itu atas kerugian materiil dan immateriil yang ditanggung korban sejak penangkapan dirinya pada 2013 lalu. Namun, dalam putusannya, hakim mengabulkan ganti rugi yang diberikan oleh negara sebesar masing-masing Rp36 juta.

Sementara pertimbangan hakim mengabulkan gugatan para pemohon, karena permohonan ganti rugi oleh pemohon masih dalam ketentuan undang-undang sesuai Pasal 96 KUHAP. Batas waktu untuk mengajukan ganti rugi paling lama tiga bulan terhitung sejak diterima salinan putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Panitera PN Jakarta Selatan menerima laporan permohonan pada tanggal 21 Juni 2016 sedangkan dari bukti yang diajukan, pemohon menerima salinan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) pada 23 Maret 2016. "Waktu tersebut belum melampaui tiga bulan sehingga permohonan diterima," kata Totok.

Dalam pertimbangannya, hakim hanya mengabulkan ganti rugi kepada kedua korban senilai Rp72 juta. Angka tersebut dihitung dari kerugian korban karena kehilangan penghasilan selama delapan bulan masa penahanan. Jika dihitung  Rp150,000/hari, keduanya masing-masing mendapat kerugian Rp36 juta selama delapan bulan penahanan.

Sedangkan permohonan ganti rugi lainnya seperti biaya besuk korban oleh orang tuanya, biaya makan selama penahanan yang diberikan orang tuanya, tidak dikabulkan hakim. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan biaya makan sudah menjadi tanggungan negara sedangkan pada biaya lainnya, pihak Andro cs tidak dapat membuktikannya sehingga tidak dikabulkan hakim.

Selain itu, hakim juga tidak bisa mengabulkan permohonan ganti rugi immateriil pemohon berupa sakit fisik, trauma psikologis, dan potensi kehilangan pekerjaan. Dalam pertimbangannya hakim menilai pemohon tidak dapat membuktikan kerugian immateriil yang diajukan tersebut.

EVALUASI PENEGAK HUKUM - Menanggapi dikabulkannya permohonan itu, kuasa hukum pemohon dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Bunga Siagian, menyatakan apresiasi terhadap putusan hakim. Dikabulkannya permohonan kedua pengamen, menurut Bunga, merupakan permohonan pertama sejak dikeluarkannya PP Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Bunga menilai ini momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap lembaga peradilan dan kepolisian. Dia berharap ke depan tidak terjadi lagi perlakuan yang sama oleh penyidik yang menjadi korban salah tangkap.

"Artinya, negara harus membayar karena ketidakseriusan baik penyidik maupun kejaksaan," ungkap Bunga.

Namun terkait dengan tidak dikabulkannya permohonan ganti rugi immateriil, Bunga mengaku kecewa. Padahal kerugian immateriil sangat besar dirasakan korban sejak dirinya ditangkap pada 2013 lalu.  Dia berharap hakim berani melihat lebih jauh terkait kerugian yang diderita korban walaupun tidak dapat dibuktikan.

Andro dan Nurdin merupakan korban salah tangkap oleh Polda Metro Jaya. Keduanya dan empat orang anak di bawah umur dituduh melakukan pembunuhan terhadap Dicky Maulana, seorang pengamen di daerah Ciledug, Jakarta Selatan pada 2013 lalu.

Namun Andro dan Nurdin berhasil lolos dari jeratan hukum yang didakwakan kepadanya. Pada pengadilan tingkat pertama, kedua pemuda yang juga berprofesi sebagai pengamen itu didakwa Pasal 338 Jo. 55 Ayat (1) KUHP. Namun pada tingkat banding, keduanya dibebaskan melalui Putusan Banding Nomor 50/PID/2014/PT.DKI yang membatalkan putusan PN Jakarta Selatan Nomor 1273/Pid.B/2013/PN.Jkt.Sel. Begitu pun pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), putusannya menguatkan putusan banding.

Dalam kasus tersebut, Andro dan Nurdin tidak terbukti melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum. Karena alasan itu, dalam proses penangkapan, penahanan dan penuntutan pihak Andro dan Nurdin dinilai mengalami kerugian baik materiil dan immateriil. Hal itu menjadi alasan keduanya mengajukan gugatan praperadilan terhadap Polda Metro Jaya dan Pengadilan Tinggi Jakarta serta turut termohon Kementerian Keuangan.

Atas kerugian yang dialaminya itu, Andro dan Nurdin mengajukan ganti rugi senilai Rp1 miliar kepada Polda Metro Jaya dan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. Bahkan pihak Andro juga menempatkan Kementerian Keuangan sebagai tergugat intervensi dalam perkara Nomor 98/ Pid.Prap/2016/PN. Jkt. Selatan.

Nurdin mengaku merasakan perlakuan yang berbeda terhadap dirinya lantaran terkait kasus yang dituduhkan. Padahal putusan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta justru menyatakan dirinya tidak terbukti melakukan pembunuhan terhadap Dicky Maulana. Namun kerugian immateriil tersebut tak dikabulkan majelis hakim.

Selain itu, Nurdin juga meminta pihak penyidik dan Kejaksaan meminta maaf atas perbuatan yang tidak dilakukannya. "Haruslah. Permintaan maaf dari Kejati," ungkap Nurdin.

Sementara itu, kuasa hukum Polda Metro Jaya, Syamsi, menanggapi santai putusan hakim. Terkait putusan itu, Syamsi mengapresiasi hakim yang mengabulkan permohonan Andro cs.

Namun demikian dia menolak disalahkan terkait proses penyidikan terhadap Andro oleh Polda Metro Jaya. Menurutnya, itu bukan kesalahan pada institusinya.

"Kalau menurut saya karena ini diputuskan tidak melibatkan atau bukan kesalahan kami, tapi itu haknya pemohon yang diatur PP Nomor 92 Tahun 2015," kilahnya. Menurutnya, masalah itu bukan lagi pada Polda Metro Jaya tapi sudah beralih ke Kementerian Keuangan.

BACA JUGA: