JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengamen korban salah tangkap Kepolisian Daerah Metro Jaya, Andro Suprianto dan Nurdin Prianto, harus menanggung beban fisik dan psikis. Menjadi cacat dan kerap mendapat cercaan dari para tetangga membuat mereka mengajukan gugatan sebesar Rp1 miliar kepada Polda Metro Jaya atas kerugian materiil dan immateriil yang mereka dapat.

Dalam sidang permohonan praperadilan korban salah tangkap Andro dan Nurdin di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terungkap cerita adanya penyiksaan yang dilakukan penyidik untuk memperoleh pengakuan. Dalam sidang dengan agenda pembuktian dan pemeriksaan saksi, pihak pemohon yakni Andro dan Nurdin menghadirkan tiga saksi untuk memperkuat tuntutannya bahwa terdapat kerugian materiil dan immateriil bagi dua korban salah tangkap tersebut.

Handika Febrian selaku kuasa hukum pemohon menyatakan proses penyidikan di kepolisian dilakukan dengan cara tidak profesional sehingga menimbulkan kerugian terhadap korban tak bersalah.

Kasus ini, imbuhnya, bukan langkah untuk mengambil keuntungan semata dengan mengajukan gugatan angka Rp1 miliar melainkan juga kritik terhadap kinerja kepolisian yang bekerja tidak profesional. Akibatnya Andro dan Nurdin yang terbukti tidak bersalah melakukan tindakan yang dituduhkan juga mendapat imbas.

"Secara proses Andro dan Nurdin terbukti bukan pelaku sebenarnya dan mendapat kerugian dari proses penyidik dan kejaksaan," kata Handika kepada gresnews.com, di PN Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Kamis (4/8).

Andro dan Nurdin mempraperadilankan Polisi Daerah (Polda) Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi Jakarta dan Kementerian Keuangan (Menkeu) sebagai pihak termohon intervensi. Pada sidang yang lalu, kuasa hukum Andro meminta ganti rugi senilai Rp1 miliar terhadap kedua kliennya.

Andro dan Nurdin merupakan korban salah tangkap yang divonis bersalah pada pengadilan tingkat pertama yakni di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun di tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT) keduanya berhasil membuktikan tidak bersalah. Pada tingkat kasasi pun, Andro dan Nurdin terbukti bukanlah pembunuh seperti yang dituduhkan polisi hingga hakim Mahkamah Agung (MA) pun meloloskan keduanya pada 2014.

Sementera kuasa hukum Polda Metro Jaya, Syamsi, menilai tuntutan Rp1 miliar yang diajukan perkara 98/ Pid.Prap/2016/PN. Jkt. Selatan ini sangat tidak beralasan. Pasalnya sesuai dengan aturan yang terbaru menjelaskan nominal tuntutan maksimal Rp300 juta. "PP Nomor 92 tahun 2015 hanya maksimal Rp300 juta. Enggak realistis itu," kata Syamsi kepada gresnews.com.

PENGAKUAN SAKSI - Sidang dengan agenda bukti dan pemeriksaan saksi pihak pemohon menghadirkan tiga saksi. Mereka adalah Murni (Ibu Andro), Isep Febristanda (adik Andro), dan Fikri Pribadi. Selain itu, pihak Andro mengajukan bukti berupa putusan Andro Nurdin tingkat pertama sampai pada putusan kasasi, pernyataan Andro dan Nurdin menjelaskan tidak bersalah dan ada pula surat perintah penangkapan Andro dan Nurdin dari Polda Metro Jaya.

Dengan dasar alat bukti tersebut, Handika optimistis majelis hakim akan memberikan putusan yang objektif. Alat bukti yang diajukan sangat kuat dijadikan hakim menerima gugatan tersebut.

"Dari bukti yang diajukan cukup untuk membuktikan bahwa telah terjadi kerugian material dan immaterial dan sepantasnya majelis hakim memutus untuk menerima permohonan ini dan memberikan ganti rugi," kata Handika.

Isep Febristanda saksi yang dihadirkan pemohon juga menerangkan ada perubahan sikap Andro setelah menjadi korban salah tangkap. Saat ditanya oleh kuasa hukum pemohon, apakah ada implikasi yang diterima Andro sepengetahuan anda?

"Setahu saya pandangan masyarakat setahu saya buruk Pak. Andro jadi kayak orang tertekan begitu," jawab Isep saat menjadi saksi dalam persidangan tersebut.

Saksi yang diajukan pemohon, Fikri Pribadi, mengaku sempat melihat penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian terhadap Andro dan Nurdin. Fikri menambahkan mereka disiksa dan disuruh mengakui sebagai pembunuh dalam kasus kematian Dicky Maulana, seorang pengamen di daerah Cipulir pada 2013 lalu.

"Waktu di kolong tidak ada Andro dan Nurdin tapi ketemu di Polda. Mereka (Andro dan Nurdin-red) dipaksa ngaku saya lihat sendiri. Ditutup pakai solasi, ditendang," terang Fikri.

Andro yang menjadi korban salah tangkap itu, juga mengaku disiksa oleh kepolisian agar mengaku menjadi pembunuh Dicky. Perlakuan itu dialami hampir semalaman, setelah mengaku lalu korban di-BAP.

"Dipukul lalu ditendang dalam kondisi mata tertutup. Jadi panik juga kita. Disiksa sampai ngaku hampir semalaman," terangnya.

Murni sebagai saksi penggugat mengatakan kondisi anaknya mengalami keluhan menurunnya kesehatan Andro. Dia mengatakan, Andro mengalami luka pada bahu kanan yang menyebabkan bagian tersebut agak tinggi sebelah. Ia pun tak jarang merasa sakit dibagian dada ketika batuk. Luka di bahunya, didapat ketika pemeriksaan oleh tim dari Sub-Direktorat Kejahatan dan Kekerasan Polda Metro Jaya pada 2013. Namun Marni mengaku hanya mampu membawa anaknya berobat ke pengobatan alternatif karena tidak memiliki biaya untuk memeriksa kondisi kesehatan anaknya.

Selain itu, sejak anaknya dibebaskan oleh putusan kasasi di Mahkamah Agung (MA) tekanan sosial juga dia alami. "Pandangan orang jelek. Bahkan kakaknya sendiri pandangannya jelek. Biasa tetangga suka bilangnya anak enggak diurus. Akhirnya sampai pindah rumah ke kampung Gaga, Ciledug, sebelumnya di Poncol," ucapnya.

Suhartono, tim penyidik pembantu yang dihadirkan sebagai saksi oleh kuasa hukum Polda Metro Jaya, dalam pemeriksaan saksi membantah keterangan saksi dari pihak termohon, Fikri. Menurut Suhartono, tidak terjadi aksi kekerasan dalam pemeriksaan Andro.

"Tidak ada pemukulan, penyetruman dalam pemeriksaan saudara Andro," ujar Suhartono menjawab pertanyaan tim kuasa hukum Polda Metro Jaya. 

BACA JUGA: