JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konflik kepengurusan Partai Golongan Karya (Golkar) ternyata masih tersisa di tubuh organisasi sayap partai (underbow) Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO) 1957. Kosgoro kini dilanda prahara menyusul saling gugat antara dua kubu kepengurusan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.  

Kubu Agung Laksono melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas penerbitan Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengesahkan kepengurusan Kosgoro pimpinan Muhammad Aziz Syamsuddin. Dalam gugatan bernomor 116/G/2016/PTUN-JKT,  pihak Agung mengklaim hingga saat ini masih menjadi pengurus yang sah atas atas Kosgoro, berdasarkan hasil Musyawarah Besar III (Mubes III) di Jakarta tanggal 2 November 2013. Agung telah ditunjuk menjadi pengurus untuk periode 2013-2018.   

Akibat adanya Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengesahkan kepengurusan Kosgoro pimpinan Aziz, pihak Agung merasa dirugikan, karena tidak dapat memberikan suara pada Munaslub Partai Golkar pada pertengahan bulan Mei lalu.

Kuasa hukum Agung selaku penggugat, Ichwan Setiawan, menyatakan kliennya dirugikan dengan terbitnya objek gugatan sehingga menimbulkan gejolak di Kosgoro baik di tingkat pusat maupun daerah. Pasalnya, kliennya itu masih menjabat sebagai Ketua Umum PPK KOSGORO 1957 periode masa bakti 2013-2018. Konsekuensinya apa pun yang dilakukan Kosgoro yang dipimpin Aziz tidak sah (ilegal).

"Kosgoro 1957 seharusnya masih dipimpin oleh Pak Agung Laksono," kata Ichwan di PTUN Jakarta, Jalan Sentra Primer Baru Timur, Selasa (12/7).

Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-0022215.AH.01.07, Februari 2016, menyatakan mengesahkan pendirian badan hukum perkumpulan kesatuan organisasi serbaguna Gotong Royong 1957. Dalam SK tertanggal 25 Februari 2016 mengesahkan kepengurusan Kosgoro 1957 dengan Ketua Muhammad Aziz Syamsuddin dan Sekretaris Jenderal Bowo Sidik Pangarso.

Terbitnya SK Kemenkum HAM itu membuat pihak penggugat kehilangan hak suara pada Munaslub Partai Golkar pada pertengahan bulan Mei lalu, yang merupakan Musyarawarah Nasional Golkar untuk untuk islah dari konflik Golkar antara Kubu Munas Ancol yang diketuai Agung dan Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie.

Penggugat menilai seharusnya Kosgoro bisa memberikan suaranya pada Munaslub Golkar, karena Agung merupakan pengurusan yang sah. Namun karena adanya SK Menkum dan HAM, Kosgoro tidak bisa memberikan hak suaranya karena dianggap terdapat dualisme kepengurusan dalam tubuh Kosgoro 1957.

Kerugian lainnya, diungkap Ichwan, karena terjadi guncangan politik dalam kepengurusan pada tingkat daerah. Bahkan di beberapa daerah terjadi pergantian pengurus tanpa koordinasi dengan Kosgoro pusat.

"Kita dirugikan ada beberapa daerah yang di-plt-kan. Yang kita dapat sampel itu di Riau,"ungkapnya.

Untuk mengantisipasi gejolak di tingkat daerah itu, dan terkait adanya klaim pihak Aziz sebagai kepengurusan sah Kosgoro 1957, penggugat sudah mengajukan penundaan kepada majelis hakim. Dalam penundaan itu, penggugat meminta agar ditangguhkan SK Kemenkum dan HAM menjelang ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Namun dalam persidangan dengan agenda pembacaan jawaban tergugat, majelis hakim belum mengabulkan. Hakim berpandangan, sebelum memutuskan penundaan, majelis hakim harus mendengarkan tanggapan tergugat. Sejauh ini, tergugat sendiri belum pernah hadir dalam persidangan sejak objek sengketa mulai disidangkan.

DIPANGGIL LEWAT PRESIDEN - Terkait dengan ketidakhadiran pihak tergugat yakni Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan HAM), hakim akhirnya mengeluarkan penetapan pemanggilan terhadap tergugat melalui presiden. Ketua Majelis Hakim, Indaryadi, yang memimpin sidang tersebut membacakan penetapan pemanggilan kepada pihak tergugat untuk hadir dan menggunakan haknya untuk melakukan pembelaan.

Dalam pertimbangannya, hakim mendasarkan penetapannya pada Pasal 72 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.  Bunyi pasal tersebut diantaranya;

Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggujawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan.

Ada tiga putusan penetapan yang dibacakan hakim. Pertama, mewajibkan kepada presiden Republik Indonesia memerintahkan tergugat, Menkum HAM atau kuasanya untuk hadir dan menanggapi gugatan penggugat pada persidangan selanjutnya Selasa 9 Agustus 2016, pukul 10.00 WIB.

Kedua, memerintahkan kepada panitera untuk menyampaikan salinan penetapan ini kepada presiden untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Ketiga, menetapkan biaya yang timbul akan diperhitungkan pada putusan akhir.

BACA JUGA: