JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) terus membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jabatan Hakim. Salah satu pokok bahasan yang mengemuka adalah usulan pembatasan usia pensiun hakim agung dari 70 tahun menjadi 65 tahun.

Hakim Agung Gayus Lumbuun menyatakan persetujuannya dengan usulan Komisi III DPR tersebut. "Saya setuju RUU JH tersebut, judicial corruption harus dipangkas dari hakim agung yang selama ini terlalu lama menjabat," kata Gayus kepada gresnews.com saat ditemui di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Rabu (1/6).

Gayus mengungkapkan, dengan adanya pembatasan masa jabatan hakim agung dari usia 70 tahun menjadi 65 tahun itu akan memberikan kesempatan bagi hakim-hakim muda untuk menempati posisi tersebut. "Faktor usia adalah salah satu alasan hakim terlibat suap perkara dan masa jabatan terlalu lama membuat mereka tidak fokus dalam menangani perkara," jelasnya.

Karena itu, kata Gayus, perlu ada sinkronisasi antara MA dan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam standar untuk menentukan masa jabatan hakim. Dengan pembatasan usia dan masa jabatan, Gayus mengaku, secara pribadi selaku hakim agung dia bisa saja dirugikan. Namun hal itu harus bisa diterima demi kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan lembaga peradilan itu sendiri.

"Diharapkan dengan dibentuknya RUU Jabatan Hakim, profesional kerja hakim, khususnya hakim agung, bisa lebih baik lagi," ujarnya.

Sebelumnya, Gayus juga sempat menyatakan kekhawatirannya terkait semakin banyaknya terungkap praktik korupsi peradilan. Gayus menilai hal itu merupakan akibat dari sebuah lembaga peradilan yang salah urus.

Terakhir, kasus penangkapan hakim tindak pidana korupsi di Bengkulu semakin menunjukkan bukti rentetan dari akibat salah urus tersebut. Dan pangkal ketidakberesan dunia peradilan itu ada di MA sendiri.

"Karena pengadilan tinggi maupun pengadilan negeri di daerah merupakan lembaga di bawah langsung Mahkamah Agung," tegas Gayus.

Salah satu kekacauan yang terjadi adalah terkait sistem promosi dan pengangkatan hakim. Gayus mencontohkan, dalam UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung diatur seorang hakim dapat mencalonkan sebagai hakim agung ketika memenuhi beberapa persyaratan. Diantaranya minimal memiliki pengalaman 20 tahun, dan tiga tahun menjadi hakim pengadilan tinggi.

Nah, pada praktiknya, kriteria seperti ini sering dilanggar sendiri oleh MA. Banyak hakim yang baru berpengalaman setahun menjadi hakim pengadilan tinggi diloloskan mencalonkan diri menjadi hakim agung. "Ini sejak dulu saya khawatirkan, bagaimana mereka bisa menjadi pemimpin dan mengelola lembaga peradilan dengan baik, bila pada titik awalnya saja sudah dilanggar?" ujarnya.

Dia juga mengkritik tidak berjalannya sistem pengkaderan hakim. Seharusnya, kata Gayus, para hakim yang benar-benar memiliki kemampuan dalam segi keilmuan mendapatkan keuntungan untuk bisa meraih posisi lebih tinggi. Mereka harus ditempatkan pada kedudukan atau wilayah yang tepat.

Sayang yang terjadi saat ini sebaliknya. Mutasi maupun promosi berdasarkan suka dan tidaknya pemimpin. "Siapa yang kritis akan justru tersingkirkan dan mendapatkan jabatan tidak sesuai dengan kemampuannya," kata Gayus.

Untuk mengatasi sengkarut dunia peradilan ini, kata dia, Presiden bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) untuk merombak sumber daya manusia di lembaga MA. "Presiden bisa melakukan. Ini amanat undang-undang sebagai kepala negara. Jika itu merupakan satu-satunya jalan," tegasnya.

Sementara itu, di tempat terpisah, juru bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi mengatakan, RUU Jabatan Hakim harus mampu mendongkrak profesionalitas hakim, sekaligus mengefisienkan pengelolaan sumber daya hakim. Dalam konteks ini, kata dia, KY memiliki dua fokus.

Pertama, RUU JH harus membawa hal baru yang mampu memperbaiki beberapa kekurangan soal pengelolaan manajemen hakim, dan bukan mengulangi kesalahan yang sama. Farid menegaskan, beleid tersebut harus mengedepankan preseden pada instrumen hukum lainnya, yang ada kaitannya dengan pejabat negara dan kekuasaan kehakiman.

"Misalnya, rekrutmen hakim tingkat pertama dan tinggi, fokus harmonisasi adalah mekanisme seleksi terbuka pejabat negara," katanya kepada gresnews.com, Rabu (1/6).

Kedua, penyesuaian tingkatan hierarki kode etik dan pedoman perilaku hakim, yang mulanya berbentuk Peraturan Bersama ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah. Dia menilai, mencermati kondisi peradilan saat ini, ada keselarasan antara kebutuhan KY untuk terlibat dalam pengawasan terhadap hakim, termasuk hakim agung dan harapan publik maupun lembaga legislasi terkait penguatan kewenangan pengawasan eksternal hakim oleh KY. "KY harus diberi kewenangan eksekutorial," katanya.

Jika kewenangan itu diberikan, kata Farid, pihaknya menyatakan bersedia dan siap melaksanakan wewenang tersebut.

SUMBER MAFIA HUKUM - Soal usia pensiun hakim agung yang terlalu lama memang menjadi pertimbangan penting bagi Komisi III DPR dalam revisi UU Jabatan Hakim. Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa mengatakan, masa kerja yang sangat lama itu bisa membahayakan.

"Alasannya pertama, usia 70 tahun itu kita lihat tidak produktif, terlalu lama. Kalau orang jadi hakim agung dari usia 50 sampai 70 tahun justru menggurita," ujar Desmond.

Yang dimaksud menggurita adalah dia bisa saja membangun kekuasaan atau kartel mafia hukum bukan justru jadi penegakan hukum. "Nanti ditakutkan kayak orang sakti. Akar mafianya kan di situ juga. Nah, ini kita kan mengacu persoalan-persoalan sebelumnya. Idealnya itu harusnya 5 sampai 10 tahun agar tak terlalu lama dalam menghasilkan setelah 50 tahun. Jadi, 65 ya wajar," terang Desmond.

Pilihan lain yaitu masa jabatan hakim agung seperti masa jabatan hakim ad hoc, yaitu per lima tahun. Jika habis masa jabatannya maka diberikan opsi apakah akan diperpanjang atau tidak. Hal serupa juga berlaku hakim konstitusi.

"Ini yang dirancang, ada beberapa usulan, setiap 5 tahun sekali seperti sekarang. Kayak mereka. Ini kan supaya kita tidak main-main. Apakah perlu pihak ketiga, apakah dari pihak KY, atau Komisi III sendiri," ujar Desmond.

Selain merancang UU Jabatan Hakim, maka UU terkait juga akan ikut direvisi seperti UU Mahkamah Agung. Dalam aturan terkait itu, akan dielaborasi dan diharmonisasikan konsep yang jelas dan ideal dalam persoalan hakim tingkat pertama hingga hakim agung. Termasuk bagaimana mekanisme kontrol terhadap putusan hakim.

"Dalam konteks ini bisa berpengaruh atau tidak berpengaruh agar kesalahan-kesalahan tidak terulang lagi. Dalam kasus tertentu, ini kan ada sekadar eksaminasi karena perbedaan hakim," kata Desmond.

Toh, upaya memangkas mafia hukum lewat revisi UU Jabatan Hakim ini sepertinya tak akan berjalan mulus. Pasalnya, para hakim yang tergabung dalam Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) sendiri masih terus menyatakan dukungannya atas status quo.

Ikahi menilai kinerja hakim agung yang berusia 70 tahun juga masih bisa diandalkan. "Ketika dulu batas usia 67 tahun naik menjadi 70 tahun, ada kajian di DPR. Yang penting ada alasannya. Dari segi kinerja, MA putuskan 14 ribu sampai 15 ribu perkara. Ini lonjakan luar biasa. Yang menangani hakim-hakim yang pensiun 70 tahun. Jadi, tidak ada masalah," kata Ketua Komite Organisasi Ikahi Agung Sumanantha.

Sementara itu, anggota Ikahi Prof Abdul Gani mengungkapkan ada pemikiran soal periodesasi hakim agung setiap 5 tahun. Tetapi mekanismenya sebenarnya lebih ke pengecekan kompetensi dan kesehatan.

"Ada pemikiran mengenai itu. Seperti MK tiap 5 tahun. Hakim agung ada hakim nonkarier ada hakim karier. Hakim karier tidak mengenal periodical. Di UU sekarang belum ada itu. Ada keinginan tiap 5 tahun dicek," ujar Gani.

Selain menolak pembatasan usia hakim agung, Ikahi juga menyatakan keberatannya terkait perluasan kewenangan KY. Ikahi berdalih, harus ada pembagian tugas yang jelas antara Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA).

"Perlu diharmonisasikan, sampai mana KY dalam pengawaaan etik bersama-sama dengan MA. Itu harus dicermati karena dua-duanya punya kewenangan yang sama," kata Sekretaris I Ikahi Kadar Slamet saat rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (23/5).

Kadar menuturkan bahwa RUU Jabatan Hakim harus bisa mengharmonisasi kewenangan yang sama di dua lembaga ini. Dengan demikian, akan ada sinergitas. "RUU ini harus mengharmonisasikan kedua kewenangan yang sama yang harusnya sinergi," ujar Kadar.

Menurutnya, saat ini sinergitas tersebut belum ada. Ikahi menganggap seharusnya wewenang pengawasan etik hakim dipegang oleh MA. "Kami kritisi karena kami anggap KY punya kewenangan absolut dalam pengawasan etik, itu kan ada di internal MA," ucap Kadar. (dtc)

BACA JUGA: