JAKARTA, GRESNEWS.COM - Esprit de Corps alias semangat jiwa korsa hakim tampaknya masih dominan menjiwai Mahkamah Agung dalam menjatuhkan sanksi kepada hakim-hakim yang nakal. Buktinya, Ketua Pengadilan Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau, Erstanto Widiolelono, yang ketahuan "mengemis" tunjangan hari raya (THR) kepada pengusaha-pengusaha, hanya dihukum disipilin.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan, sanksi disiplin berat telah dijatuhkan kepada Erstanto oleh rapat tim promosi dan mutasi (TPM) Mahkamah Agung. TPM memutuskan untuk memutasi Erstanto menjadi hakim non palu di Pengadilan Tinggi Ambon, Maluku.

Erstanto sama sekali tak dipecat sebagai hakim, meski jenis pelanggarannya sudah terbilang keterlaluan. Namun, menurut Ridwan, sanksi tersebut sudah merupakan bentuk sanksi berat bagi seorang hakim. Wakil Erstanto, M Indarto ikut kena mutasi menjadi hakim non palu di PT Kendari, Sulawesi Tenggara.

Ridwan mengatakan, Erstanto dan Indarto memang terbukti mengedarkan surat permintaan THR kepada pengusaha. "Ya benar adanya surat edaran dari Erstanto kepada pengusaha, setelah hasil pemeriksaan badan pengawas MA dan verifikasi PN Tembilahan," kata Ridwan saat dikonfirmasi gresnews.com, Selasa (28/6).

Atas sanksi tersebut, kata Ridwan, Erstanto dan Indarto tidak bisa memimpin persidangan dan memeriksa perkara. Selain itu, dia tidak mendapatkan tunjangan sebagai hakim sehingga hanya menerima gaji pokok sesuai status sebagai pegawai negeri sipil (PNS). "Jadi Erstanto sudah mengakui perbuatannnya, dan yang bersangkutan harus diberikan sanksi berat," jelasnya.

MA juga sudah menunjuk pengganti Erstanto yaitu Arie Satrio Rantjoko selaku Ketua PN Tembilahan. Arie sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua PN Siak. Sementara, Wakil Ketua PN Tembilahan dijabat oleh Ridwan Sundariawan yang sebelumnya adalah hakim PN Kabupaten Kediri.

Sebelumnya diketahui, Erstanto mengedarkan surat permohonan THR ke pengusaha di Indragiri Hilir, Riau. Berikut isi suratnya:

Bahwa sehubungan dengan dekatnya hari raya Idul Fitri 1437 H tahun 2016, kami selaku pimpinan akan mengadakan pemberian bingkisan dan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada Karyawan/Karyawati Pengadilan Negeri Tembilahan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami mengharapkan bantuan dan partisipasi dari Bapak/Ibu/Saudara Pimpinan Perusahaan demi terlaksananya kegiatan dimaksud, mengingat kegiatan tersebut akan terlaksana dengan baik serta sukses apabila adanya bantuan dan partisipasi dari Bapak/Ibu/Saudara.

Demikian untuk dapat dipertimbangkan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Surat ini diteken dan distempel basah oleh Ketua PN Tembilahan Y Erstanto Windioleleno, SH, MH. Di bawah tanda tangan lengkap dengan nomor induk pegawai (NIP) 19731022 199903 1004.

Perbuatan Erstanto ini, sebenarnya terhitung pelanggaran berat karena jangankan meminta, menerima gratifikasi terkait jabatan saja, bisa dipidana penjara minimal 4 tahun dan paling lama 20 tahun dengan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar (Pasal 12B Ayat (2) UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Tapi toh, MA sepertinya masih belum lepas dari semangat korps sehingga pada banyak kasus, hakim paling berat dijatuhi hukuman non palu. Hukuman seperti ini banyak dikritik karena dinilai terlalu ringan sehingga tidak akan memberikan efek jera dan tidak memenuhi rasa keadilan publik.

Beberapa contoh misalnya, Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Mataram Pastra Joseph Ziraluo yang mengaku menerima uang senilai Rp20 juta dari Lina, pengusaha yang berperkara sengketa tanah pada tahun 2009 di tempatnya sebelumnya bertugas. Pastra oleh Majelis Kehormatan Hakim hanya divonis 6 bulan non palu.

Alasannya sang hakim mengembalikan duit itu beberapa hari kemudian. Perbuatan Pastra hanya dinilai sebagai sebuah kelalaian dan melanggar kode etik hakim, sehingga dinilai tak perlu dilakukan pemecatan.

Kemudian yang paling bikin heboh adalah kasus pertemuan antara Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Bidang Pengawasan Timur Manurung dengan Kwee Cahyadi Kumala dan pengacaranya di sebuah restoran mewah di Jakarta, tahun 2015 lalu. Saat itu Cahyadi tengah jadi target KPK karena anak buahnya tertangkap tangan KPK tengah menyuap Bupati Bogor dalam kasus alih fungsi hutan. Tidak lama setelah pertemuan itu, Cahyadi dimasukkan bui oleh KPK.

Toh, MA hanya menilai perbuatan Timur sebagai pelanggaran etik ringan semata dan Timur hanya diberikan teguran. Posisi Timur sebagai selaku Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) bidang Pengawasan dirotasi ke Ketua Kamar Militer MA.

Saat itu, komisioner Komisi Yudisial Imam Anshori Saleh juga "protes" atas sanksi MA kepada Timur. "Kami anggap ini terlalu ringan, apalagi dia seorang Ketua Muda MA Bidang Pengawasan yang sekarang menjadi Ketua Muda Kamar Militer," ujarnya, ketika itu.

REFORMASI MA GAGAL - Terungkapnya kasus-kasus memalukan di lingkungan para pengadil ini juga dinilai sebagian pihak sebagai kegagalan MA melakukan reformasi lembaga benteng terakhir keadilan itu. Pengamat hukum yang juga advokat anggota Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Chris Sam Siwu mengatakan, kasus hakim mengemis THR menunjukkan masih adanya mafia peradilan di Indonesia.

"Peradilan kita dan gagalnya sistem peradilan itu sendiri. Sehingga dapat menyebabkan kita akan kehilangan identitas bangsa sebagai negara hukum," kata Chris kepada gresnews.com, Selasa (28/6)

Menurutnya, dampak dari kasus seperti ini adalah hilangnya keadilan apabila suatu negara hukum dimana sebagian besar masyarakatnya sudah tidak percaya lagi terhadap hukum.

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono. Dia mengatakan, kasus Erstanto menunjukkan reformasi  MA tidak menyentuh sampai level pimpinan di tingkat bawah.

"Pertanyaannya apa yang direformasi di MA? Semua level dari kelas receh kayak panitera pengganti saja sampe level paling atas semua sudah terbiasa sama praktik-praktik jahat ini, ya jelaslah ini menunjukkan reformasinya gagal," katanya, di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jalan Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Selasa (28/6).

"Kita mau mendorong untuk perbaikan pun, ngeri ngeri sedap kalau sistem pengadilannya seperti ini," tandas Supriyadi.

Sementara itu, aktivis ICW Lalola Easter mengatakan, kasus Erstanto adalah sebuah ironi keadilan. "Orang-orang yang seharusnya mendeliver keadilan malah jadi yang melanggar. Kan jadi enggak mungkin orang yang melanggar hukum mengadili orang yang melanggar hukum," ujarnya.

Perilaku seperti ini, kata Lola, akan membuat dunia peradilan semakin tidak dipercaya. "Kalau ada perilaku-perilaku begini ya kita jadi bertanya-tanya apakah masih bisa dipercaya atau tidak. Ada kredibilitas lembaga yang dipertaruhkan di situ. Sangat tidak patutlah penegak hukum minta gratifikasi ke siapa pun atau ke yang berperkara," ujar Lola.

Guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Dr Hibnu Nugroho juga menyesalkan adanya permintaan THR oleh seorang hakim. Hal itu membuktikan reformasi hanya ada di luarnya saja tetapi tidak sampai ke level bawah. "Semangat integritas dari MA tidak menyentuh lavel bawah, harusnya satu kesatuan. Ini sungguh keterlaluan," ujar Hibnu.

LARANGAN TERIMA PARSEL - Pihak MA sendiri selain memecat Erstando dan wakilnya, juga menyebar ulang surat larangan menerima parsel bagi aparat pengadilan. Hal itu dilakukan agar peristiwa semacam itu tak terulang.

"Menindaklanjuti hasil Rapat Pimpinan MA dengan Ketua Pengadilan, maka kembali dikirimkan Surat Edaran MA tentang Larangan Memberi parsel kepada Pejabat MA dan pimpinan pengadilan," ujar Kepala Badan Pengawas MA hakim agung Sunarto sebagaimana dilansir website MA, Selasa (28/6).

Surat Edaran MA (SEMA) yang dimaksud adalah SEMA No 2 Tahun 2013 tentang Larangan Memberikan Parsel kepada Pejabat Mahkamah Agung dan Pimpinan Pengadilan yang ditandatangan Ketua MA Hatta Ali. Surat edaran yang diterbitkan pada 10 Juli 2013 ditujukan kepada pejabat eselon I dan II MA, Ketua Pengadilan tingkat banding dan Ketua Pengadilan tingkat pertama di seluruh Indonesia.

Dalam surat itu, disebutkan setiap warga dalam lingkungan MA dan pengadilan di bawahnya, dilarang memberi parsel kepada pejabat MA dan pimpinan pengadilan serta pimpinan unit kerja lainnya. Baik berupa karangan bunga, bingkisan makanan atau barang berharga lainnya.

MA akan mengenakan sanksi disiplin bagi pelanggar surat edaran ini, baik pemberi maupun penerima. SEMA Ini bukan surat edaran yang pertama kali melarang pemberian dan penerimaan parsel di lingkungan pengadilan. Sebelumnya, MA mengeluarkan SEMA No 9 Tahun 2010 yang berisi hal yang sama.

Sementara itu, terkait sanksi yang dijatuhkan MA Komisioner Komisi Yudisial Farid Wajdi, menegaskan apresiasinya. KY, kata Farid, mendukung pembinaan dan penegakkan sanksi bagi aparat pengadilan bermasalah yang dilakukan Mahkamah Agung (MA). Kedua aspek tersebut harus diterapkan secara objektif tanpa melihat jabatan atau kedudukan dari aparat pengadilan yang melakukan pelanggaran tersebut.

“Siapapun orangnya, baik hakim, panitera atau sekretariat tidak boleh ada pilih kasih atau keistimewaan tertentu,” kata Komisioner KY Farid Wajdi, Selasa (28/6).

Menurut Farid, langkah MA dalam memberikan sanksi tersebut patut diapresiasi. Sebab kebijakan itu memenuhi harapan publik, sehingga aparat peradilan nakal bisa dijatuhi hukuman secara cepat dan tidak berbelit-belit. "Bukan pembiaran yang cenderung permisif," katanya.

Dia menilai, hukuman yang dijatuhkan MA kepada Erstanto, bagian dari pembinaan guna mencegah terulangnya kasus serupa. "Untuk ke depan, harapannya MA lebih responsif terhadap publik, agar tetap mengupayakan pembinaan yang melekat dan tentu tidak  mereduksi sanksi yang seharusnya diberikan," katanya.

Dia juga respons cepat MA atas kasus ini diharapkan bisa menjadi model dalam menyelesaikan masalah dugaan pelanggaran kode etik. "Demi menjaga kehormatan lembaga peradilan," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: