JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hakim Pengadilan Tinggi Medan Lilik Mulyadi dan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar Gultom mempersoalkan status hakim agung non karier melalui uji materiil (judicial review) Pasal 6B Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka berdalih Pasal 6B ayat (2) UU MA yang memperbolehkan calon hakim agung dari jalur non karier, tidak tepat. Sebab hal yang menjadi tolak ukur dalam persyaratan profesi hakim bukan semata pendidikan akademisnya melainkan juga pengalaman dan kompetensi hakim dalam mengadili serta memutus perkara di persidangan.

Pemohon juga menilai ketentuan Pasal 7 huruf a angka 4 dan angka 6 UU MA yang mengatur syarat hakim karier menjadi hakim agung dari segi usia dan pengalaman bersifat diskriminatif. Hal itu  jika dibandingkan dengan syarat untuk hakim non karier. Ketentuan hakim karier, usia minimum hakim adalah 45 tahun dengan pengalaman menjadi hakim selama 20 tahun, termasuk pengalaman menjadi hakim tinggi minimal 3 tahun. Sedangkan, untuk syarat hakim non karier hanya menyatakan berpengalaman di bidang hukum selama 20 tahun tanpa dirinci secara tegas keahlian hukum di bidang hukum tertentu.

Tak hanya itu, dua hakim ini juga mengajukan gugatan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).  Pemohon ingin menguji materi tentang periodisasi hakim konstitusi dalam UU MK. Bahwa pembatasan masa jabatan bagi Ketua dan Wakil Ketua MK yang hanya 2 tahun 6 bulan, seperti tercantum pada Pasal 4 ayat (3) UU MK, bertentangan dengan UUD 1945 karena akan menghambat karier bagi hakim konstitusi yang berasal dari unsur Mahkamah Agung.

Alasan-alasan itulah yang mendorong dua hakim itu mengajukan gugatan. Gugatan dengan registrasi Nomor 53/PUU-XIV/2016 kemarin telah memasuki persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.

Namun gugatan yang dituding mengusik keberadaan hakim-hakim non karier pun menuai  kritik banyak pihak. Sebab sejauh ini keberadaan hakim non karier justru menunjukkan performa yang tak kalah, dibandingkan dengan hakim karier. Bahkan kasus mafia peradilan justru banyak ditemukan dari perilaku hakim karier.

Menanggapi gugatan ini, Juru Bicara  Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi menilai, seharusnya tidak perlu ada dikotomi Hakim Agung melalui jalur karier dan non karier atau dengan hakim ad hoc.

Mencermati gugatan kedua hakim tinggi Lilik Mulyadi dan hakim PN Jakpus Binsar Gultom, Farid menilai  hal itu untuk memperberat syarat hakim agung non karier.

Farid menegaskan bahwa kehadiran konsep hakim non karier merupakan amanah reformasi,  sekaligus kebutuhan dunia peradilan atas desakan publik terhadap kondisi rill hukum dan peradilan.

"Meskipun tidak ada motif personal, tetapi upaya untuk  mengusik eksistensi itu dapat ditafsirkan sebagai  menafikan perannya selama ini. Keahlian dan kekhususan pada bidang tertentu adalah fungsi utama adanya hakim nonkarier," kata Farid dalam keterangan tertulis kepada gresnews.com, Jumat (15/7).

Menurutnya, jika dilihat dari sisi mana pun rasio perbandingan hakim karier dengan non karier tetap lebih besar hakim karier. Sehingga alasan akan menutup peluang  hakim karier tidak rasional. KY justru melihat secara objektif kehadiran hakim non karier masih dibutuhkan publik.

"KY akan melihat dan mengikuti perkembangan gugatan oleh kedua hakim tersebut jika sudah diterima oleh MK," jelasnya.

Sementara itu, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Ridwan Mansyur  yang dimintai pendapat terkait gugatan dua hakim yang mempersoalkan keberadaan hakim non karier mengaku belum bisa berkomentar. Ia berdalih tak bisa mengomentari perkara tersebut, karena perkara sedang  diperiksa di MK.

"Saya tidak  menanggapi materinya, namun itu tentu saja hak pemohon sebagai warga negara. Semoga dari sana MK dapat mempertimbangkan dan memutus dengan pertimbangan yang komprehensif termasuk kepentingan pencari keadilan dan keberadaan MA  sebagai lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh politik dan kepentingan bertujuan mempengaruhi kemandiriannya," kata Ridwan dalam pesan singkat kepada gresnews.com, Jumat (15/7).

ANCAMAN TERHADAP HAKIM NON KARIER - Sementara itu pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, gugatan yang dilakukan hakim tinggi Lilik Mulyadi dan hakim Pengadilan Jakarta Pusat (PN) Jakpus Binsar Gultom akan menggusur hakim agung non karier.

"Kalau keinginan pemohon dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjadi ancaman bagi keberadaan hakim non karier yang selama ini sudah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat," kata Emrus kepada gresnews.com, Jumat (15/7).

Selain itu Emrus mengatakan pembentukan hakim non karier merupakan amanah reformasi  di tubuh MA pasca reformasi 1998. Emrus menyebutkan keberadaan hakim agung non karier telah berkontribusi banyak bagi masyarakat dalam mendapatkan keadilan. Bahkan adanya hakim agung non karier, karena adanya  ketidakpercayaan masyarakat terhadap hakim karier.

Emrus menilai hakim agung karier sering tersangkut kasus korupsi dalam praktik mafia peradilan. Hal ini karena jenjang karier yang lama,  sehingga mereka bisa bermain dalam menentukan perkara di pengadilan negeri dan tinggi.

"Saya menduga gugatan yang dilakukan oleh hakim tinggi Lilik Mulyadi dan hakim Pengadilan Jakarta Pusat (PN) Jakpus Binsar Gultom mempersoalkan status hakim agung non karier memiliki unsur kepentingan secara pribadi, karena selama ini banyak hakim agung karier bermain perkara demi memperkaya diri," tegasnya.

Menurutnya, permohonan ke MK untuk mengubah persyaratan hakim agung non karier merupakan tindakan yang kurang tepat. "Kalau tidak puas keberadaan hakim agung non karier mereka harusnya minta ke DPR dan Presiden. Dimana sesuai UU 1945 telah diberikan kewenangan sebagai pembentuk UU," ujarnya.

Dia berharap, masyarakat,  KY dan MA terus mencermati pengajuan gugatan oleh kedua hakim itu. Sebab hal ini menyangkut keadilan bagi masyarakat Indonesia. "Jangan sampai keberadaan hakim agung non karier yang selama ini telah membantu Keadilan bagi masyarakat menjadi terancam dan tergusur. Sebab masyarakat masih percaya dengan kinerja hakim non karier," ujarnya.

Seperti diketahui sejarah hakim agung non karier lahir pasca reformasi dan menjadi amanat reformasi 1998, karena kepercayaan masyarakat terhadap para hakim karier menurun. Pasalnya hakim agung selama orde baru dinilai berperilaku korup.

BACA JUGA: